Tingginya Biaya Kuliah dan Anomali Politik Pendidikan: Perguruan Tinggi Negeri Merana, Konstitusi Terlupakan

Jun 23, 2024 | Pendidikan

Views: 7

TEN – Tingginya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri menjadi topik hangat. Menurut Prof. Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, fenomena tersebut terjadi karena alokasi anggaran pendidikan tinggi yang minim dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Hanya 1,1% (7 triliun rupiah) dari total anggaran pendidikan 20% yang disalurkan untuk perguruan tinggi negeri (PTN) seperti UI, UGM, ITB, UNDIP, dan UB.

“PTN dipaksa mencari dana sendiri, mengandalkan uang dari mahasiswa. Akibatnya, pendidikan tinggi berubah menjadi pasar dengan konsep ‘ada uang ada barang’,” ujar Prof. Didik.

Prof. Didik menambahkan, kondisi ini membuat PTN fokus mengejar uang ketimbang meningkatkan kualitas dan inovasi. Dampaknya, 10-20 universitas utama di Indonesia menjadi underdog di Asia. Bahkan, dibandingkan dengan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), PTN Indonesia tertinggal jauh.

“Alokasi anggaran pendidikan tinggi tidak memadai dan tidak memenuhi amanat konstitusi yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang baik (pasal 31 UUD 1945),” tegasnya.

Perguruan tinggi swasta juga mengalami diskriminasi, dengan minimnya dukungan dana dari negara. Mereka hanya mendapat secuil anggaran untuk pengabdian masyarakat atau penelitian yang tidak pasti.

Kritikan juga disampaikan terhadap alokasi anggaran pendidikan tinggi di kementerian lain yang mencapai 32 triliun rupiah. Empat kali lebih besar daripada anggaran untuk PTN di bawah Kemendikbud. Prof. Didik menyebutkan adanya indikasi mark up anggaran yang tidak wajar, dengan rasio biaya APBN per mahasiswa di kementerian-kementerian ini mencapai 60 juta rupiah, jauh lebih tinggi dibandingkan 10-15 juta rupiah per mahasiswa di PTN di bawah Kemendikbud.

“PTN di bawah Kemendikbud harus mencari uang dari mahasiswa, sementara PTN di kementerian lain tinggal menerima dana APBN dan foya-foya dengan mark up tersebut,” ungkap Prof. Didik.

Beliau mengusulkan agar PTN di luar Kemendikbud pada jurusan umum dibubarkan atau digabungkan dengan Kemendikbud untuk menghindari keistimewaan anggaran yang berlebihan.

“Kementerian lain fokus saja pada tugas pokok mereka yang kebanyakan juga bermasalah,” tambahnya.

Masalah alokasi anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran ini menurutnya merupakan bentuk penyimpangan politik pendidikan. Dari 665 triliun rupiah dana pendidikan, lebih dari separuh tersebar ke daerah dan desa dengan alokasi yang tidak jelas dan tidak terkait pendidikan. Bahkan, ada dana sebesar 47,3 triliun rupiah yang tidak digunakan.

“Sesuai amanat pasal 31 UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran politik pendidikan yang bisa menjadi pintu masuk pemakzulan di kala pemerintah lemah,” jelas Prof. Didik.

Prof. Didik mengimbau pemerintah baru untuk memperhatikan carut marut politik pendidikan tinggi saat ini dan memperbaiki arah alokasi dana yang menyimpang.

Red/Nau

Baca Juga

0 Comments
Submit a Comment
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This