Oleh: Adlea Deanta Namine- MTsN 41 Al-Azhar Asy-Syarif

Mari kuajak kalian untuk mundur ke belakang, mundur ke zaman dimana alam semesta belum tercipta. Saat itu, sebelum terjadinya big bang, ada berapa jumlah planet dan galaksi? Nol, nol besar, kekosongan yang hampa terjadi pada suatu ruangan yang baru tercipta. Hingga, BOOM! Big Bang terjadi, menyebarkan partikel-partikel berisi zat kehidupan. Itulah awal dan permulaan alam semesta ini ada. Dari kehampaan yang kosong, layaknya angka nol. Angka nol, mengawali ini semua. Meski di dalamnya terkandung kekosongan tak bertepi, ia adalah awal dan nanti akan menjadi akhir bagi setiap makhluk yang punya ruh di dalamnya. Nol akan mengakhiri semuanya, sekaligus menjadi awal permulaan suatu peristiwa. Titik balik, itu bahasa mudahnya untukku. Seperti jam yang menunjukkan angka 0.00 di hari Ahad. Angka 0.00 adalah akhir untuk hari Ahad dan awal untuk hari Senin.
Ribuan tahun berlalu, sekelompok demi sekelompok manusia berjalan di atas bumi. Beriringan hidup dengan berbagai hal, termasuk dengan angka nol. Namun, manusia sulit mendefinisikannya. Angka nol mengiringi hari-hari mereka, tapi seakan gaib jika dibicarakan. Sulit diartikan. Mungkin, seperti ketika suami mendengar kata “terserah” terucap dari mulut istri? Sulit diartikan dan didefinisikan, tapi punya makna yang universal. Hingga, kita melompat ke zaman kekhilafahan Abbasiyah. Kekhilafahan yang damai dan sejahtera, hingga berbagai ilmu pengetahuan betah menetap. Di zaman yang penuh ilmu itu, hiduplah Al Khawarizmi. Seorang Muslim, yang insya Allah taat pada Allah dan RasulNya, hadir bagai superhero di tengah kekalutan manusia yang sulit berhitung dengan angka romawi. Beliau adalah orang yang menemukan angka nol, begitu kata orang-orang. Menurutku, beliau bukan menemukan angka nol, hanya mendefinisikan dan mencontohkan bagaimana praktek dan fungsi angka nol dalam kehidupan, tentu saja tanpa mengurangi rasa hormat pada beliau yang namanya sulit dihapus oleh orang-orang barat yang licik.
Sampai sekarang, angka nol yang bulat tanpa sudut menemani hidup dan sejarah manusia. Dalam ilmu matematika, ilmu pemrograman, dan berbagai bidang ilmu lain memiliki arti angka nolnya masing-masing. Secara umum, kita mengenal angka 0 ini sebagai angka yang kosong, yah… setidaknya itu yang dunia katakan. Persis seperti melihat isi dompet di akhir bulan, kekosongan yang mencekam dan mengerikan bukan? Hihihi, aku bisa membayangkan bagaimana raut muka orang yang melihat saldo ATM-nya nol. Seperti tertohok oleh kehidupan.
Ah, hanya saja raut wajah itu tidak terlihat di muka manusia satu ini. Lihatlah, bagaimana teguh dan yakinnya ia berkata di hadapan manusia yang paling mulia itu. Ketika ditanya apa yang dia tinggalkan untuk keluarganya setelah SELURUH hartanya ia infakkan, dengan iman beliau berkata “Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya!! “
Abu Bakar, begitulah ia dikenal. Manusia yang tak peduli jika dunia menjauhinya, asal Allah dan RasulNya selalu bersamanya, itu sudah lebih dari cukup. Angka nol dalam hartanya tak sebanding dengan keesaan Allah, Tuhan yang satu. Tuhan yang namanya membangkitkan semangat dan ketenangan dalam hati hamba yang yakin. Setenang kalimat cinta Bilal ketika cambuk merusak tubuhnya, “Ahad… Ahad… “ katanya lirih. Dalam siksaannya ia lantunkan proklamasi tertinggi seorang manusia, yang senada dengan risalah para nabi. Ialah tauhid, pengakuan akan penghambaan pada Tuhan yang satu. Laa ilaaha illallah… Sebuah deklarasi yang diimpikan setiap hamba yang beriman di penghujung hari nanti, ketika nyawa akan meninggalkan jasad.
Jika dilihat dari sini, angka satu menceritakan tentang kekuatan serta keutamaan. Layaknya wahyu pertama yang turun di Gua Hiro. “Bacalah, dengan nama tuhanmu yang menciptakan. “ begitulah bunyi surah Al-Alaq ayat satu. Wahyu yang datang pertama, menandakan bahwa ialah tugas yang paling utama dan pertama harus dilaksanakan. Allah menyuruh manusia membaca dan belajar, agar manusia tahu tanda-tanda kebesaranNya di jagad raya. Dengan belajar, Sherlock Holmes bisa berkata “Jika kau telah menyingkirkan hal yang mustahil, apapun yang tersisa, betapapun mustahilnya, adalah sebuah kebenaran.” Katanya, satu kemungkinan yang tersisa dari segala kemungkinan yang tidak mungkin adalah kebenaran. Satu kemungkinan saja, meskipun mustahil. Disini, aku ingin menunjukkan bahwa “satu” bisa berarti kebenaran. Seperti firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 19, “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam… “. Lagi-lagi angka satu bercerita tentang apa itu kebenaran.
Dari keajaiban akan angka satu inilah, pendiri negara kita merumuskan satu sila yang ditempatkan di urutan pertama, yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa. “ Sebuah dasar dalam bernegara yang mengharuskan kita percaya dengan Tuhan yang satu. Karena dengan kepercayaan pada Tuhan yang satu inilah, tercipta manusia yang beradab, tercipta persatuan antar manusia, tercipta sikap kerakyatan yang dipimpin dengan kebijaksanaan, tercipta keadilan yang sesungguhnya bagi setiap manusia. Dengan kepercayaan terhadap Tuhan yang satu inilah, semua itu bisa terwujud. Angka satu, maknanya universal, tergantung kaca mata apa yang kamu pakai untuk melihatnya.
Sekarang, mari kita kembali ke masa kini. Setelah kuajak melintasi zaman dan peradaban, masihkah engkau berpikir sama tentang angka 0 dan 1? Jika ada yang bertanya, “Jadi, perjalanan lintas waktu ini terjadi hanya untuk mencari arti angka satu dan nol? “ Yah, itu terserah kalian mau berpikir seperti apa. Hanya saja, apakah sudut pandang kalian tentang angka masih sama seperti sebelumnya. Hanya itu pertanyaanku, jawabannya ada di dalam hati kalian masing-masing. Kita akhiri perjalanan ini, selamat berpikir dan mencari makna. Ingat, Allah menyebarkan kebesaranNya di seluruh penjuru bumi. Termasuk dalam dirimu, dan buku matematikamu.
Wallahu a’lam bisshawab…
Adlea… Ini tulisan yang sangat ber-daging. Luar biasa! Semangat dan terus berkarya!