Presiden Bukan Pilihan

by | Nov 2, 2023 | Pojok

Views: 5

Presiden Ford adalah Presiden Amerika Serikat yang diangkat dan disahkan menjadi Presiden tanpa proses pemilihan umum. Donald Trump, George W. Bush, Benjamin Harrison, Rutherford B. Hayes, dan John Q. Adams disahkan menjadi Presiden meskipun jumlah pemilih mereka lebih sedikit dibandingkan dengan lawan mereka. Lantas, untuk apa ada pemilihan umum bila Presiden bisa diangkat menjadi Presiden meskipun bukan pilihan mayoritas rakyat?!

—-

Banyak yang protes bila saya bilang, “Saya tidak mau memilih selama calon presiden, calon gubernur, walikota, bupati, anggota dewan masih merupakan anggota partai dan diusung oleh partai.” Alasan protes mereka macam-macam, mulai dari dianggap tidak peduli, dianggap bodoh, bahkan ada pula yang bilang saya sakit jiwa. Saya tidak marah, wajar saja bila terjadi, sebab kita tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat, apalagi untuk dijadikan bahan pemikiran agar mendapatkan solusi yang lebih baik ke depan. Kalau berdebat lain lagi ceritanya, meski tanpa solusi, tetap dianggap seru dan wajib dilakukan.

Hingga saat ini, saya tidak mengerti dengan konsep demokrasi yang diterapkan dalam setiap pemilihan. Disebutkan dalam Undang-Undang No.7 Pasal 348-350 tahun 2017, pemilih adalah WNI yang sudah genap berusia 17 tahun atau lebih, baik sudah kawin atau belum dan pernah kawin. Sementara hasil pemilu adalah hasil jumlah suara pencoblos, yaitu sebagian dari pemilih yang mencoblos. Jika kemudian dikatakan bahwa hasil pemilu adalah hasil pilihan rakyat pemilih, tentunya menjadi salah kaprah.

Sebagai ilustrasi: Anggap ada lima puluh persen (50%) pencoblos, dan Si A menang suara enam puluh persen (60%). Bila dilihat dari hasil pencoblosan, Si A menang telak, tetapi bila dianggap pilihan terbanyak dari total rakyat pemilih, tentu tidak. Sebab hanya tiga puluh persen (30%) saja rakyat pemilih yang memilih Si A (50% dari 60%). Dengan kata lain, tujuh puluh persen (70%) rakyat pemilih, tidak memilih Si A. Lantas bagaimana bisa dilegitimasi menjadi pemenang? Undang-Undang dan Komisi Pemilihan Umum yang menentukan, toh?! Protes kecurangan saja sulit, apalagi untuk mempertanyakan hal ini?! Padahal, bagaimana pemimpin dan yang mengatasnamakan wakil rakyat bisa bekerja dengan baik, bila lebih banyak rakyat tidak mendukung mereka?! Di mana posisi rakyat kemudian?!

Bila ada yang menganggap bahwa tidak masalah suara saya hanya satu, coba pikirkan lebih mendalam lagi. Sebenarnya suara rakyat mana yang diperhitungkan? Semua diabaikan, kok! Sudah takdir? Memang semua ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, saya meyakini demikian, tetapi tentunya tidak bisa juga mengabaikan soal konspirasi politik yang terjadi. Di Amerika Serikat yang konon sangat demokratis saja, bisa terjadi konspirasi yang membuat seseorang terpilih menjadi Presiden meskipun total suara pemilih tidak memilih dia. Aneh?! Tentu tidak! Sudah biasa!!!

Konspirasi itu tetap ada, dan bagi saya, ini penting sekali untuk dicermati. Bagaimana Bill Clinton yang merupakan Gubernur Arkansas, wilayah yang tidak populer di Amerika Serikat, bisa tiba-tiba naik ke permukaan dengan gaya berbeda dari para calon presiden sebelumnya, sangat menarik. Clinton rajin “blusukan”, nampak lebih sederhana dan ramah, dan didukung oleh banyak artis. “Rock to Vote” membuat Clinton menjadi populer dan digemari, memberikan harapan baru bagi rakyat Amerika yang menginginkan perubahan. Apakah semua ini terjadi begitu saja? Tentu tidak! Ada banyak konspirasi dan kesepakatan yang terjadi, yang melenggangkan Clinton menjadi seorang Presiden. Mirip siapa, ya, kalau di Indonesia?!

Menjelang pemilu 2024, terjadi banyak hal “tidak logis” dalam menentukan pasangan calon peserta Pemilu, begitu pula dengan partai-partai pendukungnya. Sangat naif bila dikatakan bahwa ini terjadi karena kepentingan masa depan rakyat Indonesia, dan apalagi bila dianggap “bersih” dari sentuhan tangan-tangan rakus dan tamak. Biaya untuk mencalonkan diri saja sudah fantastis, dari mana mereka mendapatkan sponsor?! Yakin uangnya diberikan tulus ikhlas begitu saja tanpa ada perjanjian timbal balik?!

Lantas, siapa yang pantas untuk naik menjadi Presiden RI 2024-2029? Yang jelas dan nyata bagi saya, siapapun itu, bukanlah presiden pilihan mayoritas rakyat Indonesia. Sistem pencalonan sampai keputusan hasil pemilu-nya saja sudah tidak demokratis, sama sekali tidak transparan. Yang tahu hanya para aktor utama politik di partai masing-masing, rakyat hanya dibuat bodoh dengan euforia mendukung salah satu dengan alasannya masing-masing. Tinggal diadu domba saja, saling serang karena fanatisme berlebihan. Yang menang bukan rakyat pada akhirnya, tetapi kembali lagi kepada para penguasa yang berkonspirasi.

Saya ikut memilih atau tidak, tidak akan berpengaruh sebab Presiden tetap akan ada dan merupakan hasil dari konspirasi politik, bukan dari pilihan mayoritas rakyat Indonesia.

Bandung, 31 Oktober 2023

Mariska Lubis

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This