Pemimpin Santun

Oct 9, 2021 | Opini

Views: 0

Beberapa tahun lalu, “Pemimpin Pemarah” banyak diapresiasi. Alasannya “pemimpin pemarah” itu tegas, mampu mengubah keadaan yang jumud. Waktu itu pemimpin model temperamental seolah menjadi “trend”. Kehadirannya dapat diterima bahkan terkesan seolah itu hal yang “baik-baik saja”. Apalagi menghadapi situasi dan kondisi Indonesia yang pemimpinnya selama ini tidak marah-marah tetapi dibalik itu semua sarat dengan korupsi dan ketidakadilan. Dicontohkan, sejumlah pemimpin “berprestasi” saat ini seperti Ahok, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, dan Risma memiliki pengaruh positif atas sikap marah-marahnya itu. Para pemimpin ini terbukti mampu menguggat “status quo” dengan meredam korupsi dan ketidakadilan terutama di level birokrasi.

Pemimpin temperamental, oleh psikolog dikatakan positif – jika memang itu “genuine”. Sepenuhnya kemarahan itu dapat dimaklumi dan bahkan patut diapresiasi guna mendobrak “kejumudan” selama ini.
Santun Lebih Baik.

Tanpa pretensi berlebihan menyikapi pendapat yang mengakomodir para pemimpin temperamental itu, dalam beberapa hal penulis sepakat dengan substansi yang ditulis. Namun sebagai catatan, kita pun dapat belajar banyak dari sejumlah pemimpin yang berkarakter sebaliknya, tidak harus dengan mengumbar kemarahan, yaitu pemimpin yang lembut dan santun.

Memang pemimpin yang berkarakter tidak meledak-ledak atau cenderung kalem biasanya karena efek kedekatannya dengan agama. Pemimpin dengan latar belakang keagamaan yang kuat seperti Muhammad Natsir, Buya Hamka, Moh. Hatta, Jenderal Sudirman, Mahatma Gandhi, AR Fakhruddin, beberapa Paus (Vatikan), Budha, para Nabi pada umumnya adalah pemimpin yang tidak menunjukkan sikap “temperamen”. Bahkan penampilan mereka sehari-hari pun sangat sederhana. Sebagai contoh, M.Natsir seperti dipersaksikan George McTurnan Kahin, “Pakaiannya sungguh tidak menggambarkan ia seorang menteri dalam sebuah kabinet pemerintahan.” Namun, yang menarik dan layak diteladani dari Natsir adalah sikap berpolitiknya. Sikap berpolitiknya mencerminkan imperatif etiknya. Dari Natsir seharusnya para politisi sekarang dapat belajar, bagaimana hidup bersahaja, memasuki pengalaman kemajemukan, tidak menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Bagaimana semestinya kesetiakawanan itu dirawat tanpa melihat asal usul etnik, ideologi, dan agamanya (Asep Salahudin,2016).

Kalau kita mau belajar dari apa yang dicontohkan Natsir sesungguhnya kita benar-benar tertampar keras. Natsir senantiasa satu kata dalam perbuatan. Natsir pemimpin yang jauh dari kata-kata kasar, beliau sangat santun, bersahaja namun pengaruhnya masih terasa hingga kini.

Kita pun dapat mencontoh Jawaharlal Nehru dari India. Nehru dikenal menjadi pendorong pengembangan sains bangsa India. Di tangannya lahir pendirian lembaga strategis seperti Indian Institute of Management (IIM), dan All India Institute of Medical Science (IAIMS). Ide-ide Nehru ini menjadi tonggak kemajuan sains dan teknologi negara India kini. Yang tak kalah penting ia pun menggemari sastra dan mendalami mitologi India klasik dan karya Sansekerta yang kemudian menjadikannya seorang pemimpin yang santun.

Para pemimpin ini adalah beberapa contoh pemimpin yang lembut, santun, mengayomi walaupun tetap dengan prinsip yang sama dengan pemimpin pemarah di atas, yaitu menjaga kejujuran, membela kebenaran, inspiratif tanpa diskriminasi atau senantiasa berupaya bersikap adil. Jelaslah visi dan misi mereka umumnya lekat dengan nuansa moral, mengandung pendidikan, pengajaran dan menghimbau untuk tidak berdebat kusir berkepanjangan. Umumnya efek gaya kepemimpinan seperti ini adalah ingin adanya “kedamaian”, “harmoni” tetap menjaga “kepantasan” tanpa memancing permusuhan atau menyakiti pihak lain.

Dari karakter itu, di mana pun pemimpin model ini hadir senantiasa ditunggu-tunggu oleh rakyat, murid atau siapapun karena dianggap mampu memberi kesejukan, inspiratif, etis, mencerdaskan, mengayomi, dan melindungi. Bahkan tak jarang mereka menjadi “tempat” berkeluhkesah mulai dari persoalan pribadi hingga persoalan negara.

Sejarah kepemimpinan, nampaknya memang dinamis sehingga sejarah selalu melahirkan “model dan karakter” yang berbeda di tiap masanya. Atau kalau mau agak pragmatis, pemimpin menyesuaikan dengan konteks dan persoalan yang dihadapi di mana ia memimpin saat itu. Atas dasar itu pula lahir pemimpin bermodel Juan Peron di Argentina atau Hugo Chaves di Venezuela yang revolusioner, atau yang “cool” seperti Anies Baswedan.

Menggugat Status Quo
Seorang pemimpin lahir memang sangat tergantung pada karakter dan masalah yang dihadapi. Risma leadershipnya sejatinya baik, akan tetapi wataknya yang meledak-ledak sebagai reaksi spontannya jutsru seringkali menjadi blunder buat dirinya. Lain lagi dengan Hugo Chavez di Venezuela (2013). Ia menjelma menjadi seorang pemimpin, politisi, pejuang dan menjelma menjadi tokoh mesianik, inkarnasi dari keinginan rakyat, dan personalitasnya mampu mengatasi institusi-institusi seperti partai politik dan menjawab kebutuhan rakyat (The Wall Street Journal, 21/3/15).

Konsep kepemimpinan dalam budaya Jawa memiliki beberapa ciri, yakni: (1) monocentrum, (2) metafisis, (3) etis, (4) pragmatis, dan (5) sinkretis. Monocentrum bermakna bahwa kepemimpinan berpusat pada figur yang tunggal. Ciri semacam ini dipengaruhi era kepemimpinan raja. Soekarno sedikit banyak dianggap mewakili konsep kepemimpinan model budaya Jawa ini. Berbeda dengan model kepemimpinan dalam diri Habib Rizieq Shihab. Semangatnya yang berapi-api mencerminkan pribadinya yang dinamis, mengusung amar ma’ruf, nahi munkar. Kendati demikian dia pribadi yang sangat penolong, terbukti FPI kepanjangan tangannya dikenal sebagai lembaga paling dini bila terjadi bencana apapun di Indonesia. Berbeda dengan karakter Natsir, HRS juga memimpin berdasar agama.

Chavismo model Chavez, menyandarkan pada hubungan kharismatik antara pemilih dan politisi, hubungan yang tidak berdimensi partai. Seperti ditulis Edmundo Bracho dari Westminster University, Chavismo memiliki elemen sosialis. Isu itu pula yang digunakan Chavez. Ia berjanji akan menyelamatkan rakyat miskin di negara kaya minyak itu. Rakyat miskin inilah yang tidak dipedulikan oleh partai-partai dan elit politik kala itu. Ketika Chavez muncul pada dekade 1990-an, Venezulea tengah dilanda skeptis terhadap partai bahkan semangat anti partai sangat kuat. Bisa jadi fenomena itu akan muncul di masa yang akan datang. Apa pun modelnya, satu hal yang penting dia memiliki komitmen pada rakyatnya untuk terbebas dari kebodohan dan kemiskinan. Sejahtera menjadi tujuan utamanya.

Penutup
Saya hanya berandai-andai. Jika saja ada pemimpin yang memang memiliki kemampuan manajemen yang teruji, pendobrak status quo, bermisi keadilan tetapi sadar akan makna “kepantasan” tentu itu kriteria yang diharapkan muncul melalui Pilkada atau Pemilu. Seorang pemimpin yang juga “teladan” bagi generasinya, bahkan memiliki “peradaban” (akhlaqul karimah) itulah pemimpin ideal yang ditunggu-tunggu kehadirannya.

Pemimpin yang berkarakter tegas, tidak harus meledak-ledak, membentak, marah-marah dengan mengeluarkan kata-kata serapah – apakah ditujukan kepada anak buahnya, pada rakyat, pada masalah “biang kerok” persoalan atau apa pun. Akan lebih baik jika kita memiliki pemimpin yang tetap “genuine”: santun, mengayomi, inspiratif, anti status quo, bersih namun juga dapat diteladani dan relijius (takut pada Tuhan Yang Maha Kuasa). Bukankah pemimpin tidak hanya bertanggungjawab pada yang ia pimpin (sesama manusia) tetapi juga dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai penciptanya kelak.
Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (FH UAD) Yogyakarta

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This