Hetty, Sang Panglima Dayak

Jun 20, 2024 | Narasi

Views: 17

Kisah kepahlawanan seorang panglima biasanya didominasi oleh pria. Mereka biasanya tampil gagah perkasa dengan berbagai pernak-pernik perang, seperti pedang, tombak, tameng, dan lain sebagainya. Tetapi tidak untuk tokoh yang satu ini, namanya Hetty Kus Endang (34 tahun), dipanggil Hetty. Mirip dengan nama penyanyi terkenal di era 80-an.

Ibu dua anak ini bertubuh mungil, tapi apa yang dilakukan sungguh sangat besar artinya bagi orang Dayak, penghuni Pulau Kalimantan. Dia tak hanya telah turut menyelamatkan warisan budaya nenek moyangnya, seperti tenun Dayak yang terkenal dengan nama kain Pantang dan karya seni kriya lainya yang bernilai artistik dan spiritual tinggi. Namun, juga telah memberi nilai manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat Dayak.

Beberapa waktu lalu, di bawah supervisinya, kain tenun Pantang bahkan telah dibuatnya mengguncang dunia dengan masuk sebagai pakaian resmi yang dipakai pemimpin-pemimpin seluruh negara dalam acara World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali. Dengan seluruh daya, Hetty mengerahkan ratusan perempuan Dayak untuk hasilkan kain tenun untuk penuhi permintaan pemerintah dalam forum pertemuan WWF tersebut.

“Saya tidak menduga sebelumnya kalau tenun Pantang kami dipilih sebagai pakaian resmi yang dipakai presiden dan pemimpin-pemimpin dunia itu. Bahkan saya sangat kawatir tidak dapat memenuhi permintaan, mengingat standar kualitas, waktu yang sangat singkat itu dapat memenuhinya. Apalagi permintaannya sangat khusus dibuat lebih panjang dari yang biasanya dibuat oleh penenun kami,” ungkap Hetty mengenang saat-saat menegangkan itu.

Kecintaan Hetty pada tenun dan kriya Dayak warisan nenek moyangnya ini memang sudah sejak lama, namun usahanya untuk mengembalikan kebanggaan anak-anak muda pada hasil kriya Dayak dan sekaligus berdayakan ekonomi para artisannya terinspirasi saat bertugas di lapangan dalam program Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (PSP3) di Lasem, Pati, Jawa Tengah setelah lulus dari Universitas Satya Wacana, Salatiga.

“Saya terus terang terinspirasi dengan Batik Lasem, bagaimana industri rumahan yang jumlahnya terbatas itu bisa menghidupi keluarga dan ciptakan peminatnya,” kenangnya.

Hetty, yang berasal dari Sintang, Kalimantan Barat dan keturunan sub-suku Dayak Uud Danum ini setelah bekerja di Jawa terpaksa harus kembali ke Kalimantan karena harus merawat orang tuanya yang sakit. Setelah itu dia mulai dari nol lagi dengan bekerja di satu perusahaan karet. Di saat bekerja di perusahaan karet ini hatinya mulai terketuk melihat nasib anak-anak muda Dayak.

“Saya lihat anak-anak muda Dayak hanya bekerja jadi buruh di kebun karet dan sawit dengan gaji yang rendah. Tidak ada pekerjaan lainya, mereka susah mencari pekerjaan karena pendidikannya juga rendah. Saya ingin ada perubahan,” tukas Hetty.

Hetty kemudian keluar dari tempat kerja lamanya, dan melamar pekerjaan baru di bank dan Credit Union/CU (Koperasi Kredit). Namun Hetty menjatuhkan pilihan bekerja di CU Keling Kumang, karena informasi yang didapat dari seniornya di organisasi Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), menurutnya CU lebih tepat baginya karena ada kegiatan pemberdayaannya.

Di CU-lah Hetty merasa mendapatkan lembaga yang pas untuk mengembangkan idealisme pemberdayaan bagi masyarakat. Dari CU dia belajar banyak tentang manajemen, membangun jaringan kerja dan bahkan mendapatkan modal awal untuk memulai usaha.

Di CU dia bertemu banyak orang yang memiliki visi yang sama untuk pemberdayaan masyarakat. Sebut saja misalnya Yohanes RJ, CEO CU Keling Kumang yang telah banyak membimbingnya sebagai staf. Kemudian Munaldus Nerang, sebagai pendiri CU Keling Kumang.

“Pak Munal telah memberikan inspirasi bagi saya, bagaimana 32 tahun silam dia bangun gerakan CU Keling Kumang dan ciptakan banyak pekerjaan yang layak bagi orang Dayak. Saya anggap apa yang saya lakukan ini juga hal yang sama, sebagai gerakan, sebab tenun dan pelestarian budaya itu tidak dapat dikerjakan sendiri,” tegas Hetty.

Kecintaan Hetty pada wastra Dayak ini sesungguhnya sudah sejak lama. Dia sering menjualnya dengan bangga kepada teman-temannya untuk oleh-oleh dari Sintang. Dia berpikir jika dipasarkan dengan serius dia yakin akan dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi banyak keluarga. Lalu dengan modal yang terbatas dan juga karena kebetulan mertua perempuannya juga seorang penenun, maka dia mulai yakin bahwa dia bisa mengembangkan usahanya dengan aktif memasarkan di media sosial.

Mendapat dukungan dari lembaga seperti CU, mertua, dan juga suaminya, Hetty beranikan membeli rumah milik keluarganya pada waktu itu. Di rumah itu dia bangun galeri untuk pajang kain pantang, pakaian menjahit, penyewaan dan operasional yayasannya (Yayasan Rumah Belajar Kain Pantang) yang mengenalkan cara memproses kain pantang, teknik pewarnaan, dan kegiatan pelestarian budaya Dayak, terutama kepada anak-anak

Sepuluh tahun lalu menurut Hetty, anak-anak muda tidak ada yang tertarik lagi dengan tenun pewarnaan alami dan mereka menganggap kuno. Padahal pewarnaan alami itu menurutnya bukan hanya lebih ramah lingkungan, tapi aman untuk kulit, tapi juga penting untuk kegiatan pelestariannya. Sebut saja misalnya pohon Engkerebang yang multiguna, bisa juga sebagai obat tradisional. “Kalau diminum saja aman, tentu dipakai juga aman,” tuturnya.

Cita-cita Hetty yang sesungguhnya adalah ingin melestarikan budaya Dayak dan bagaimana usaha pelestarian budaya itu juga mampu mengangkat harkat dan martabat orang Dayak serta sekaligus selamatkan lingkungan.

“Sejak kebun sawit masuk, hidup orang Dayak kata almarhum ayah saya seperti bom teroris. Hanya saja sawit membunuh secara perlahan. Orang Dayak yang hidupnya dari kekayaan keanekaragaman hutan perlahan-lahan kehilangan tanah warisan karena iming-iming investor perusahaan sawit. Lalu dengan harga sawit yang dikendalikan oleh para pemilik perusahaan dari luar itu menciptakan kemiskinan di mana-mana. Lingkungan rusak dan bahkan air minum harus dibeli. Saya ingin anak-anak muda Dayak melihat Engkerebang, pohon lengkar, pohon mangga, dan lain-lain sebagai pohon uang, bukan sawit,” pungkasnya.

Sintang, 14 Juni 2024

Suroto

Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This