Pandangan Soekarno tentang Kedaulatan Perempuan

Dec 22, 2021 | Essai

Views: 0

“Wanita adalah tiang negara, apabila dia baik maka baiklah negara, dan apabila dia rusak maka rusaklah negara itu.” Demikian sepenggal goresan Soekarno dalam bukunya berjudul “Sarinah : Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia”. Melalui Sarinah inilah, Soekarno membicarakan kedaulatan perempuan secara khusus, mulai dari kehidupan dan nasib perempuan, posisi perempuan, gerakan perempuan di dunia, feminisme, hingga harapan Soekarno bagaimana semestinya posisi perempuan di Republik ini bisa ditempatkan sesempurna mungkin.

Soekarno dikenal sangat mengagumi dan menghargai perempuan sehingga diidentikkan beristri lebih dari satu. Terlepas dari opini tersebut, tujuan tulisan ini untuk memberikan sisi berbeda dari pandangan Soekarno yang menaruh harapan besar terhadap perempuan, sehingga di zaman pemerintahan, peran perempuan berkembang pesat.

Terkait dengan gerakan perempuan Indonesia, Soekarno menunjukkan pemimpin yang tidak semata-mata berpikir tentang politik saja tetapi juga memperhatikan kaum perempuan.

Soekarno menaruh harapan besar atas peran perempuan untuk bahu-membahu bersama kaum laki-laki menuju dunia baru. Dunia baru ini adalah istilah yang dipakai Soekarno untuk menggambarkan masyarakat yang adil dan sejahtera, tidak ada eksploitasi antar manusia dan antar negara, tidak ada kemiskinan dan kapitalisme, tidak ada perbudakan, serta tidak ada lagi perempuan yang menderita. Dengan kata lain suatu tatanan masyarakat yang penuh keadilan dan kesejahteraan. Laki – laki dan perempuan sama – sama merdeka.

Perhatian Soekarno terhadap perempuan ternyata tidak sebatas pandangan dan pemikiran saja karena dalam kehidupan pribadinya penuh dengan kontroversi seputar hubungannya dengan perempuan. Semenjak kecil hingga jiwa terjemput untuk kembali, beberapa perempuan mempengaruhinya. Sebut saja Nyoman Rai, Sarinah, Utari Cokroaminoto, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger dan Heldy Djafar. Mereka ikut mempengaruhi pandangan dan sikap pribadi Soekarno terhadap sosok perempuan yang juga mempengaruhi kehidupan pribadi dan politiknya.

Dalam konteks pentingnya para perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan sebuah negara yang saat itu masih belia. Masalah perempuan adalah masalah masyarakat. Revolusi harus segera berakhir. Karena baru setelah revolusi tuntas negara bisa dibangun. Dan agar revolusi segera kelar, semua golongan-termasuk kaum perempuan, haruslah dapat bersatu. Soekarno sadar betul betapa fatalnya kedudukan perempuan Indonesia bila dianggap ‘tidak ada’ peran lain selain peran pendamping laki-laki.

Lantas impian apa yang ingin digapai Soekarno? Berulang-kali ia menyebut ‘kesejahteraan sosial’. Tentunya yang terakhir ini yang kerap ‘dipelesetkan’ rezim penguasa sesudahnya sebagai ‘bukti’ Putra Sang Fajar itu cenderung pro-sosialisme dan kekiri-kirian. Namun, kalau kita kembali mencoba mendalami pemikiran Soekarno, sebetulnya apa yang diperdebatkannya adalah masalah kesetaraan manusia, penolakan terhadap penindasan, dan perilaku eksklusif. Warisan terbesarnya yang membuat kita masih ‘punya muka’ sampai hari ini yaitu kemerdekaan untuk berpikir. Karena ia yakin bangsa Indonesia sanggup berdikari.

Ucapan Soekarno yang perlu menjadi perenungan adalah bahwa kaum perempuan Indonesia saat ini adalah ”Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak di dalam usaha menyelamatkan Republik, jika nanti Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak di dalam usaha menyusun Negara Nasional. Jangan ketinggalan di dalam revolusi Nasional ini dari awal sampai akhir, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi perempuan yang bahagia, perempuan yang merdeka.”

Soekarno merupakan satu-satunya pemimpin di dunia yang peduli dan bersedia meluangkan waktunya untuk memikirkan soal perempuan. Persoalan perempuan di sini lebih pada pembebasan perempuan dari belenggu budaya yang mendiskriminasi perempuan-perempuan Indonesia. Memang sebelum masa kemerdekaan Indonesia sudah banyak perempuan Indonesia yang peduli terhadap nasib kaumnya. Diantaranya RA. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien dan lain-lainnya yang turut membantu melawan penjajah.

Pembebasan (emansipasi) di Indonesia masih sangat minim, khususnya dalam pembebasan perempuan. Soekarno telah membangun tahta kedaulatan perempuan yang pada awalnya kurang begitu berperan.

Virus “Perempuan Begerak” bermunculan di berbagai daerah. Dalam kongres organisasi “Istri Sedar “, dalam pidatonya Soekarno menyampaikan “Gerakan politik dan Emansipasi Perempuan” sudah harus dilakukan. Peran heroik perempuan pada saat memperjuangkan kemerdekaan tidak terlepas dari perhatian besar Soekarno terhadap kedaulatan perempuan. Melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 ditetapkan secara resmi tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Dasar penetapannya yakni pelaksanan Kongres Perempuan Indonesia pertama.

Kini perempuan hidup di era milineal, wajib memahami jiwa zaman untuk menyiapkan generasi milenial yang tangguh dan berkarakter. Perempuan bukan hanya ibu dari anaknya namun juga Ibu Masyarakat dan Ibu Peradaban !!!

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This