Cerita Nestapa Dayeuh Kolot

Sep 20, 2021 | Essai

Views: 0

Apa menariknya Dayeuh Kolot saat ini? Sebuah cluster cekungan replica-landscape Bandung Purba yang tak berbekas. Orang-orang Belanda di abad pertengahan memanggilnya Oude Negorij atau negeri lama. Kota penyangga yang menjadi jalur lintasan antar wilayah Selatan Bandung dengan pusat Kota Bandung ini, memiliki cerita getir perihal pupusnya sebuah norma, tata nilai, karakter, simbol-simbol, keunikan bahkan kepribadian. Alhasil, sebuah pluralisme terbangun di tengah pelbagai benturan budaya dan “kotak-katik” kebijakan yang menumbuhkan peradaban kompleks. Bagi saya, mengupas Dayeuh Kolot, bukan karena memiliki arti historis semata, melainkan ada sisi akuntabilitas biologis dan sosiologis yang merasuk dalam derajat sosial budaya yang layak dicermati. Ada semacam fenomena akulturasi dan penataan ruang yang menarik untuk ditelisik.

Di pusaran Dayeuh Kolot sekarang, ada sebuah monumen kecil yang mengkiaskan perjuangan heroik Mochamad Toha dan kawan-kawan tatkala meledakkan tangsi dan arsenal Belanda, 10 Juli 1946 lalu. Toha yang terlupakan dan tak pernah dianggap karena titi mangsa kepahlawanan hanya dalam durasi 2 jam. Dia bukan pahlawan secara formal kenegaraan. Kendati demikian, dia tetap di kalbu masyarakat Bandung. Dari Dayeuh Kolot pula kita dapat menyaksikan kenelangsaan sebagian warganya menerima luapan banjir Sungai Citarum sebagai sebuah tradisi laten yang tak berkesudahan. Bagi sebagian warganya, Citarum ibarat “panacea” yang tak berkesudahan. Kita tak bisa lagi menyaksikan lalu lalang perahu pencari pasir di seputaran Sungai Citarum. Dari Dayeuh Kolot pula permasalahan perencanaan tata ruang seakan tercerabut dari lingkungan ekologisnya. Kita tak bisa lagi menyaksikan jejeran Pohon Tanjung, Waru, Cangkring atau keangkeran Pohon Loa, yang konon buahnya kesukaan ular, di sepanjang alur yang dikenal sebagai jalan Mohhammad Toha saat ini.

Sebelum era 1980-an, kita masih mendapatkan ikan Beunteur, Balidra, kabogerang, Hampal, Lika, Arengan, Uceung, Paray, Lais, Lempuk, Sepat, Genggehek atau Haremis dari Kali Cikapundung atau kali Cigeude anak Sungai Citarum, yang merupakan spesies khas sungai ini (indigenous species). Kini, sebagian ikan-ikan tersebut telah punah. Dampak berkurangnya jenis ikan dan keanekaragaman hayati ini telah merubah ekosistem perairan dan mengurangi fungsi ekohidrologinya. Fungsi pemurnian air secara alami tidak berjalan semestinya, karena sebagian jenis ikan dan biota akuatik yang seharusnya ada dalam daur ekohidrologi telah hilang.

Saat bocah, dalam bahasa hiperbol, Abahku (Kakek) juga pernah mengingatkan untuk jangan pulang terlalu larut malam ketika melewati jalan Moh. Toha. “Ieu jalan sangeut paragi jin miceun budak” (ini jalan angker tempat jin buang anak) katanya, memperingatkanku bahwa tempat tersebut berbahaya. Tentu saja, dalam bahasa kebocahanku ungkapan tersebut mengandung makna peringatan tentang sebuah kengerian.

Namun, kengerian yang kurasakan saat ini jauh lebih mengigit ketimbang peringatan Abah-ku dulu. Dari atas jembatan Citarum, jauhku memandang sungai ini demikian merana. Ia yang dulu merupakan instrumen ekonomi, tempat berbaurnya norma dan simbol interaksi kehidupan sungai dengan penduduknya, kini seakan terkucilkan dalam derita penyakit yang semakin akut. Alih fungsi lahan pertanian ke Industri, bukan hanya telah mengurangi resapan air, tapi juga telah meningkatkan aliran permukaan. Citarum yang mengairi 420.000 hektar lahan pertanian, saat ini tidak berpenyakit, namun ia pun diduga telah menularkan vector penyakit seperti nyamuk, cacing dan tikus. Hasil penelitian di 2009 menunjukkan vector-vektor ini memiliki kemetakan/probabilitas yang tinggi sebagai sumber terjadinya outbreak pada manusia.

Citarum yang dulu memiliki hubungan mutualisme simbiosis dengan masyarakat petani sekitarnya, kini demikian merana. Sedimentasi dan pencemaran limbah industri telah memutus mata rantai kehidupan petani dangan Citarum. Hampir 100.000 hektar area pertanian nyaris tak produktif karena ketergantungannya terhadap irigasi Sungai Citarum telah terputus. Dalam nilai nominal, rakyat Jawa Barat kehilangan potensi 16 trilyun per tahun atas kondisi ini. Belum lagi, sekitar 2,4 trilyun per tahun potensi kehilangan dari sektor pertambakan di kawasan hilir Citarum.

Nestapa Citarum paralel dengan pergeseran karakter sosio-kulturalnya. Sejak booming minyak dan maraknya industrialisasi di awal 1980-an, telah terjadi degradasi peran dan pola hidup masyarakatnya. Industrialisasi tidak hanya telah mengubah fungsi dan strukturlahan, tetapi juga telah mengabaikan aspek perencanaan komunitas dan tata ruang. Dalam kurun 25 tahun terakhir telah terjadi penyusutan hutan dan kebun campuran hingga mencapai 29.372 hektar. Sementara, lahan industri meluas hingga mencapai 38.620 hektar. Transisi masyarakat agraris ke industri telah menggusur masyarakat pribumi yang agraris mengungsi lebih ke arah Selatan Dayeuh Kolot, ke wilayah Banjaran, Ciparay, bahkan lebih ke atas ke daerah Pangalengan dan sekitarnya. Di sisi-sisi kawasan industri tumbuh bangunan-bangunan seadanya berbentuk miniblock-miniblock pemukiman pekerja yang menjamur seiring tumbuhnya industrialisasi. Mereka menyebutnya “kontrakan”.

Pada 1985, jumlah pekerja industri di Dayeuh Kolot dan sekitarnya mencapai 369.000 pekerja dengan tingkat turn-over mencapai 17,52 persen. Pola pergerakan pekerja industri telah membangun matarantai urbanisasi parsial yang menumbuhkan klas sosial baru. Pada gilirannya, klas masyarakat ini tidak hanya membawa permasalahan baru ditinjau dari aspek perencanaan komunitas, namun membawa dampak sosiologis terhadap keterpaduan sistem perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan tata ruang. Artinya, mobilisasi pemukiman pekerja yang terbatas sekitar kawasan pabrik, mendorong kompleksitas (encourage) penataan kawasan. Keberadaan pemukiman ini tidak hanya telah mengabaikan desain ruang wilayah, tetapi juga telah meminggirkan aspek etika dan estetika penataan kota. Pada titik ini, pemerintah daerah seakan kurang siap menerima pertumbuhan pemukiman yang bergerak spontan ini. Kontrol dan pantauan terhadap kondisi ini sangat longgar, sehingga pemukiman yang merupakan ekspresi individual dan kelompok tumbuh apa adanya.

Industri tekstil dan produk tekstil (garment) merupakan penyumbang terbesar populasi pekerja. Tuntutan competitive advantage telah mendorong skala upah murah pekerja sebagai pilihan. Alhasil, taraf hidup kaum pekerja (buruh) boleh dikata bertahan untuk sekedar survive. Celakanya, keberadaan Dayeuh Kolot sebagai pusat aktivitas tidak mampu sepenuhnya merespons pertumbuhan kaum urban ini. Kota Kecamatan Dayeuh Kolot tumbuh menjadi tidak terarah. Penataan kota menjadi amburadul. Di jalanan pusat kota Dayeuh Kolot, terlihat tumpang tindih antara wilayah publik dengan akses niaga.Wajah Dayeuh Kolot menjadi carut marut dan kumuh. Persoalan penataan pedagang kaki lima seakan berjalan di tempat. Telah beberapa periode pergantian kepala daerah di Kabupaten Bandung, kondisi terabaikan (ignored) terus berlangsung. Sepertinya, tidak ada keberanian Pemda tatkala dituntut menata kawasan ini. Sesuatu yang janggal dalam konteks otoritas dan intervensi pemerintah. Alhasil, penataan Dayeuh Kolot dan sekitarnya semakin kompleks.

Kondisi Dayeuh kolot seperti ini, seakan diperparah dengan menjamurnya komplek-komplek perumahan di sekitarnya. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan di daerah-daerah resapan air dan lumbung padi sekitar kawasan Bojongsoang, Ciganitri, Bale Endah, Rancamanyar, Katapang, dan Sukamenak telah menghilangkan segi geologis dan humanis daerah. Pertanyaannya adalah sejauh mana grand design penataan ruang di kawasan ini (Kabupaten Bandung) menjawab pertumbuhan perumahan-perumahan yang terkesan sporadis. Lantas, apakah Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTK) dan Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK) telah mengakomodir perkembangan ini?

Dayeuh Kolot sejak dulu memang banyak menyisakan cerita getir. Namun, seperti penggalan terakhir syair lagu Ismail Marzuki, Bandung Selatan di Waktu malam, ehmm…akupun termenung, duduk menanti datang kekasih.

Penulis tinggal di Dayeuh Kolot.

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This