Sebagai sosok yang lahir dan besar di kota Medan, Itock Van Diera menyadari betul kerasnya kehidupan di kota kelahirannya tersebut. Dalam pandangannya kemudian, jika kelak Ia berkeluarga maka untuk melanjutkan kehidupan berkebudayaan sambil membesarkan anak-anaknya kelak, akan lebih pas di kota yang kondusif untuk itu.
Hal itulah yang menyebabkan Itock Van Diera pada 1986 memutuskan untuk hijrah ke Yogyakarta, kota kebudayaan dan kota pelajar yang juga merupakan tempat kelahiran R. Soehardjo, ayahanda Itock, dan Rr. Rahmaniyah, ibundanya yang asli Solo.
Di Yogyakarta, Itock menikah dengan Lisa Damayanti yang kemudian menjadi ibu dari kedua buah hatinya, dan memang, Yogyakarta cocok sebagai tempat tumbuh kembang dan studi anak-anaknya. Juga, milieu kebudayaan kota Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa yang mengedepankan pendekatan budaya amat menarik minat, dan berharap bisa menjadi tempat berkembang segala kreativitasnya.
Benar saja, di Yogyakarta nama Itock Van Diera semakin berkibar. Sambil menekuni profesinya sebagai arsitek dan design interior, Itock juga terus mengembangkan minatnya di bidang kebudayaan, khususnya seni batik dan juga kemampuannya dalam olah vocal musik ber-genre Jazzy. Beberapa pameran seni batik tulis sempat digelar dan lumayan kerap manggung dalam pergelaran musik jazz. Bahkan dari karya-karya batik kontemporernya, Itock sempat pameran keliling dunia, antara lain di Norwegia, Canary Island, Madrid, dan kota-kota lain di dunia.
“Pameran keliling dunia mengenalkan batik karya Itock kala itu memang menjadi obsesi besar. Berbagai kota di dunia telah dikunjungi dalam pergelaran batik Indonesia,” kata Itock.
“Pendapatan dari profesi arsitek dan design interior sebagian disisihkan untuk pengembangan kegiatan kebudayaan, khususnya design motif etnik Nusantara yang diaplikasikan ke dalam motif batik trademark Itock Van Diera,” imbuh Itock lagi.
Itock memang “sepenuh jiwa” dalam menumpahkan kreativitasnya di bidang kebudayaan. Sayang, pandemi covid 19 harus menghentikan sejenak kreativitasnya. Berbagai cobaan dan ujian akibat pandemi juga dirasakan oleh Itock sebagai insan kebudayaan.
“Namun pandemi ini tidak boleh menghentikan total segala aktivitas berkebudayaan dan berkesenian kita. Bagi budayawan, kerja-kerja kebudayaan dan kesenian akan tetap berlangsung secara naluriah karena itu adalah panggilan jiwa. Berkebudayaan secara murni tidak akan kalah oleh situasi apapun, bahkan dalam perang,” papar Itock.
Karena prinsip jalan hidup berkebudayaan itulah, pada 2015 Itock Van Diera melontarkan gagasan untuk melaksanakan “Sarkem Fest”. Sebuah kegiatan kebudayaan yang berniat menampilkan masyarakat di sekitar di Pasar Kembang juga masyarakat luar “Sarkem” bahkan membolehkan kelompok ekspatriat (bule) untuk ikut tampil dalam sebuah gelar busana dan kesenian yang semua pesertanya diambil dari warga masyarakat,” kenang Itock sumringah.
Untuk memperlancar gagasan tersebut, tentu saja Itock perlu dukungan dari masyarakat sekitar Sarkem yang akan mendukung idenya. Itock lalu menghubungi salah seorang sahabatnya yang kebetulan pemilik salah satu hotel di kawasan Pasar Kembang. Melalui sahabat itulah yang kebetulan adalah orang asli Pasar Kembang, Itock mengemukakan gagasannya hendak menampilkan “Sarkem Fest” di Pasar Kembang Yogyakarta.
Gayung bersambut, sahabatnya amat mendukung ide “Sarkem Fest”. Sejak itu, segala persiapan mulai dari studi wilayah, wawancara dengan warga masyarakat, konsep kegiatan dan lobby-lobby mulai dilakukan. Bagi Itock, masyarakat di kawasan Pasar Kembang adalah juga manusia biasa yang mempunyai naluri berkebudayaan sama seperti manusia lainnya.
Setelah melalui berbagai macam aral rintangan, akhirnya pada Februari 2019 “Sarkem Fest” jadi dilaksanakan. Bahkan mendapat dukungan dari Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta dan mendapat sambutan luas dari masyarakat Yogyakarta.
Di bawah ini adalah rekaman video kegiatan “Sarkem Fest”, diantaranya ada Itock Van Diera sedang mendendangkan sebuah lagu di arena tersebut.
(Bersambung ke Seri 3) …
0 Comments