Jarum jam yang menempel di dinding saat ini telah melaju ke angka 08.10, masih berharap kabar dari Leman, pemuda desa yang aktif di masjid dan punya jiwa wirausaha yang lebih dibanding pemuda desa lainnya. Seperti biasa, tiap Sabtu pagi kami selalu memiliki jadwal seruput kopi sambil bersilaturahmi dengan teman-teman sekadar saling sapa atau bahkan juga tak jarang tampak serius berbincang tentang perkembangan desa kami.
Gampong (Desa) Lamkaru, itu desa kami. Sebuah desa di Aceh, ujung Pulau Sumatra. Banyak warga dari luar daerah kerap singgah di gampong kami, terutama para pelancong yang hendak berwisata ke Sabang, titik Nol Kilometer Indonesia. Gampong kami tak jauh berbeda dengan daerah lain terutama di perkotaan. Penduduk yang heterogen menumbuhkan sikap demokrasi dan kebebasan dalam menyatakan pendapat serta melakukan usaha-usaha yang tidak dilarang oleh agama dan negara.
Pagi Sabtu ini Leman, teman yang baru saja dipercaya sebagai ketua pengelola BUMDes Gampong Lamkaru oleh kepala desa atau “Keuchik” dalam bahasa Aceh, mengundang untuk hadir ke tempatnya. Undangan lisan disampaikan Leman yang secara kebetulan bertemu di teras masjid selepas shalat shubuh di Masjid Al-Anshar Gampong Lamkaru.
“Assalamualaikum bang,” ucap leman yang muncul dari arah tempat wudhu dan langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Waalaikumsalam Leman, apa kabar?”
“Baik bang, semoga abang baik juga, ngopi dimana pagi ini?” tanya Leman yang sudah hafal aktivitas saya dan beberapa kali juga ikut ngopi bersama di akhir pekan.
“Belum tau, Man. Nunggu ada yang mengajak ke warung kopi mana saja,”
“Syukurlah bang, masih bisa saya ajak ngopi pagi ini, sekalian saya mau minta pendapat abang nanti,” Leman melanjutkan obrolan.
“Boleh Man, ngopi dimana?”
“Nanti saya WA ya bang,”
“Oke, siap kawan,”
Kami pun perlahan berpisah sambil mencari-cari sandal di teras masjid dan beranjak pulang.
Setelah melakukan bersih-bersih halaman rumah sambil bermain dengan anak-anak, aaya membuka WA dan melihat-lihat percakapan beberapa WAG sambil menunggu pesan dari Leman yang berjanji akan mengabarkan lokasi kongkow ngopi. Lama ditunggu, namun belum juga ada pesan dari Leman.
Sekira pukul 08.25 Leman menghentikan motornya di depan rumah dan mengajak saya untuk ikut naik ke motornya.
“Dah siap kan bang? Yuk!”
“Dah dari tadi Man, nunggu WA kamu,” jawabku agak ketus.
“Maaf bang, paket pulsanya habis jadi saya langsung jemput saja,” Jawab Leman sambil tersenyum dan menaikkan sedikit alis kanannya.
Kami pun berboncengan menuju ke sebuah warung kopi yang tidak jauh dari rumah. Sampai di lokasi, saya melihat Leman langsung menuju ke dapur kopi, tempat barista menarik saringan kopi untuk menghasilkan racikan kopi yang khas. Saya yang sudah duduk di salah satu meja sedikit heran dengan Leman dan mengalihkan perhatian ke sekitar warkop yang masih banyak kursi kosong di dalamnya.
Tengah asik melirik-lirik sekitar meja, tiba-tiba leman datang dan mengajak pergi. Rupanya dia pesan kopi dibungkus, bukan untuk diseruput di sana.
“Kanapa Man?”
“Tidak bang, kita tek ewei aja, minum di warkop saya”
“Eh, kamu punya warkop?”
“Ya bang,” jawab Leman.
Sambil keheran-heranan saya ikut saya dengan ajakan Leman. Berjarak sekitar 200 meter dari warkop sebelumnya, kami tiba di sebuah rumah kosong yang tengah diperbaiki oleh beberapa orang pekerja. Seketika saja saya terbayang kalau kopi yang tadi dibeli adalah untuk kami dan beberapa pekerja yang sedang memperbaiki beberapa sudut rumah untuk dijadikan warkop.
Lokasinya lumayan strategis, sekitar 75 meter arah barat ada kantor desa dan juga pasar tradisional tempat berbelanja kebutuhan sehari-hari masyarakat. Di sebelah timur, tak seberapa jauh dari Al-Anshar, memang sangat potensial untuk jadi tempat ngopi para jamaah Shubuh. Rumah ini sebelumnya dijadikan rumah singgah oleh pemerintah desa untuk warga yang baru pulang dari luar daerah, namun karena dirasa kurang terpakai maka diambil alih oleh BUMDes untuk dijadikan unit usaha.
“Leman, ini warkop kamu?” saya penasaran.
“Iya bang, tapi bukan punya saya sepenuhnya, hanya kelola saja,”
“Oh begitu, jadi…?”
“Iya bang, setelah dipercaya jadi ketua BUMDes saya berencana untuk buat unit usaha warkop bang, biar ada tempat ngobrol dan diskusi santai,”
“Apa tidak aneh man? Sekarang kan banyak warkop tutup akibat PPKM, jam ngopi dibatasi, ditambah harus jaga jarak lagi. Dendanya gede loh bagi yang melanggar,”
Leman terdiam sejenak sambil menarik nafas, tarikan nafas yang sepertinya dilakukan untuk mereda semangat akan ide usahanya.
“Iya bang, tapi menurut saya beda. Minum kopi itu semangat kita bang, jika kita semangat bisa memperkuat imun bang, bisa tahan menghadapi serangan corona,” Leman coba berargumen.
“Dapat ilmu darimana kamu man, abang tak bego bego amat lho,”
“Bagi Leman bang, kopi itu adalah vaksin. Jadi seruput kopi sama dengan divaksin! Sepakat ga bang?!”
“Bang maaf, tak bego-bego amat itu berarti masih ada begonya,” kelakar Leman.
Saya tertegun mendengarnya, harus saya akui pernyataan tak bego-bego amat tetap ada begonya. Setelah menyadari itu, saya sepakat dengan pernyataan Leman bahwa “Kopi adalah Vaksin” yang mampu menjaga daya tahan tubuh.
Obrolan kami berlanjut seadanya, obrolan santai namun serius untuk persiapan pembukaan unit usaha ini.
“Nah, bang. Kira-kira ada saran tidak untuk nama warkop kita nanti?”
“Kamu belum punya namanya Man?”
“Belum bang, justru saya ajak abang untuk minta saran untuk nama warkop ini nanti,”
Sejenak saya berfikir, mengingat kebiasan di warung kopi adalah diskusi dan banyak janji janji bahwa, “Saya akan, saya akan….,” maka saya berikan ide lama saya untuk dijadikan warkop ini.
“Saran abang man, kasih nama warkop ini Kumatsugata,”
“Bahasa Jepang bang? Artinya apa?”
“Bukan bahasa Jepang Man, itu Bahasa Aceh,”
“Maksudnya?”
“Kumatsugata artinya saya pegang suara (janji) mu,”
“Aha, benar juga bang. Hehehe… saya sepakat dan akan pakai nama itu untuk warkop ini!”
Ya, kumatsugata. Itulah nama yang saya berikan untuk warkop ini dan akan jadi tempat rutin saya untuk ngopi dan berdiskusi tentang Desa Lamkaru (Lamkaru = dalam keributan). Di Aceh banyak nama desa diawali dengan kata “Lam” yang artinya sama seperti “rawa” di Jakarta dan “Ci” di Jawa Barat.
Banda Aceh, 25 Agustus 2021
0 Comments