Oleh : Eros Sangaji
Kamis, Tanggal 24 Maret 2022 tepat pukul 03.08 pagi. Aku dan dua temanku tiba di basecamp Lawu Via Cetho Andika Rahayu. Aku memilih untuk mendaki lewat via Cetho, tidak ada alasan lain hanya waktu pendakianku selama tiga hari dua malam, dan via Cetho memiliki trek yang panjang membuatku memilih jalur Cetho. Berbeda dengan kedua temanku kata mereka dengan via Cetho kita akan bisa melihat hamparan sabana yang luas. Mendengar alasan tersebut, kataku kepada mereka berdua ; semua laut, danau, sungai dan gunung yang ada di alam semesta ini di ciptakan dengan kata cinta sudah semestinya punya keindahan dan keunikan tersendiri.
Jadi nikmati saja, baik sabana Lawu, bibir segara maupun gunung mereka semua punya sesuatu untuk di tunjukan kepada kita, baik itu keindahan atau sesuatu yang lain. Kita nikmati dan syukuri kepada alam semesta, Tuhan yang maha pencipta. Dan, kita manusia harus sadar akan tugas dan tanggung jawab bahwa menjaga dan merawatnya agar tetap indah dan cantik, itu sebanding merawat diri.
Dua kawanku, mereka bergegas masuk ke dalam basecamp untuk istirahat terlebih dahulu karena waktu sudah menunjukkan jam 03.20. Aku sempat mengingatkan mereka salat subuh dulu baru tidur. Tetap saja mereka mau tidur, karena perjalanan sekitar 4 jam dari Jogja menuju ke tempat basecamp membuat mereka kecapean dan lelah. Dalam hatiku selesai tanggung jawabku mengingatkan mereka untuk salat. Dan aku masih terjaga pada jam itu. Capek dan Lelah mungkin ada, tapi aku biasa saja dan belum merasa mengantuk. Dalam tas cherrir, kuambil kopi yang sudah kubuat dari Jogja kupanaskan lagi dengan kompor portable. Dari tas noken khas badui, kubuka cacatan dan satu buku untuk dibaca dan menulis.
Dalam kesendirian, dingin mencekam tubuh dan memperkosa diri. Suara hewan-hewan di kaki Gunung Lawu, Dewa Wukir Mahendra terdengar sampai di basecamp. Bulan yang terang nan indah berada di atas kepalaku, ada beberapa bintang bermunculan yang berkilau nan jauh di sana dan terlihat bersinar kelap kelip menyemangati seseorang yang sunyi dalam kesendirian.
Bersama dengan selena dan bintang menyinari kampung dan basecamp candi Cetho membuat desa itu terlihat terang. Dari bawah terlihat Wukir Mahendra yang agak samar tapi keindahan tidak terlepas dari ciptaan-Nya. Suara azan mulai berkumandang terdengar indah menusuk batin, aku bersyukur, pada diriku masih bergetar jiwaku ketika suara yang paling merdu penuh kasih dan sayang masih terdengar dan mengguncang dasar hatiku.
Kuletakan pena dan catatanku di atas meja, kopi yang sudah kupanasi sadari tadi sudah dingin karena diterpa angin dan hawa dingin kaki Gunung Lawu. Menyeruput kopi yang di ingin itu, kuambil sebatang rokok cerutu lodji dari bungkusan. Dalam hatiku kebahagiaan apalagi yang kamu dustakan wahai manusia fana. Bahwa alam, kopi, rokok, suara azan dan kesunyian ialah nikmat yang paling indah di waktu fajar ini.
Sebab dalam kenikmatan yang sunyi kesendirian itu, sempat terbayangkan bahwa harus ada cinta yang menemani diri ini, seorang kekasih. Melihat fajar pagi ini, bersamaan terpintas ucapan kata Khalil Gibran yang kubaca kala itu, ”cinta serupa anggur yang dihidangkan pengantin perempuan waktu fajar; yang menguatkan jiwa-jiwa teguh memungkinkannya menuruni bintang yang gemintang”. Baik kalau begitu, kutunaikan salat subuhku. Kan ku setia duduk menanti kedatangan syafak pada Hari ini, dengan segala kasih dan sayang Tuhan yang terpancar pada bumi pertiwi, Wukir Mahendra.
0 Comments