Apakah hal yang paling tolol dan dikerjakan secara massal oleh bangsa ini? adalah Pemilu, pemilihan umum. Baik itu memilih parlemen maupun presiden, gubernur, bupati atau walikota sampai pemilihan ketua Rukun Tetangga (RT).
Bagaimana tidak, kita memilih orang yang diharapkan akan dapat menjadi pelayan kita, tapi motivasi mereka yang akan kita pilih dengan terang benderang bertujuan untuk menguasai kita. Cara memilihnya juga sudah posisikan mereka yang dipilih akan menjadi merasa lebih superior, lebih hebat daripada yang memilih, yaitu bukan berdasarkan rekam jejak mereka dalam berikan pelayanan dan karya sosial di masyarakat.
Bagaimana mungkin seseorang yang akan melayani kita tapi mereka telah melakukan tindakan manipulatif untuk mendapatkan posisi sebagai parlemen dan eksekutif?.
Mereka begitu mau pemilu menjadi begitu gencar jualan diri, jualan kecap busuk, pasang baliho besar besar dengan katakan diri mereka adalah orang orang yang merakyat, yang telah berbuat banyak bagi kepentingan rakyat, padahal gombal semua!!!. Mereka itu sesungguhnya kebanyakan lahir dari orang orang yang hanya pentingkan perut dan dirinya sendiri. Manusia jahat berwajah sok jadi malaekat!!!.
Mereka dari awal sebelum terpilih adalah hanya orang orang yang bermodalkan popularitas seperti selebritis, uang berlimpah seperti konglomerat, dan mereka yang bermodal privilege feodalisme seperti garis keturunan, agama dan lain lain. Bukan orang-orang yang memiliki karya sosial melayani masyarakat dengan tulus dan penuh pengorbanan.
Jadi jangan heran, jika kita harap mereka jadi pelayan akhirnya justru merasa lebih berkuasa dan kemudian menjadi sewenang wenang dan menindas kita.
Lihatlah setelah jadi, sebutlah peristiwa pembuatan peraturan yang disebut Undang Undang (UU) Ciptakerja oleh Presiden dan DPR yang jelas dan terang mendapat protes keras rakyat, tapi rakyat bukan diajak bicara melainkan digencet dan diberangus suaranya. Jangankan bicara isinya, prosedur pembuatannya saja sudah dinyatakan melanggar Undang Undang Dasar (UUD), inkonstitusional.
Itu baru sepenggal, lihatlah dalam keseharian kita. Dari peristiwa penggusuran di kota-kota, penyerobotan tanah rakyat secara paksa untuk tambang dan perkebunan milik asing di berbagai daerah. Rakyat yang harusnya mereka layani justru digebuki. Mereka berkongkalikong dengan kepentingan pemilik modal besar dan bukan membela kepentingan dan melayani rakyat.
Sebutlah satu peristiwa Gunung Kendeng yang dikeruk untuk pabrik Semen. Secara dramatis mereka menggencet Sedulur Sikep, orang orang Samin yang terkenal sahaja, mandiri, dan hidup dengan cara yang benar bertani itu. Mereka bertindak sewenang-wenang menggebuki perempuan-perempuan hebat di garda depan memprotes kesewenangan mereka. Bahkan Yu Patmi sampai harus meregang nyawa hanya demi pertahankan tanah pertanian mereka.
Padahal orang-orang Samin, orang-orang bersahaja itu yang hanya butuh kita semua mau menjaga Ibu Bumi dengan cara bertani, buat makanan kita sendiri, untuk juga menjaga hidup dan kepentingan kita bersama agar selamat karena Gunung Kendeng adalah Karst yang berfungsi menjaga persediaan air di tanah Jawa terakhir.
Putusan pengadilan yang menyatakan mereka menang di pengadilan secara inkracht-pun tetap tak digubris dan pabrik Semen itu terus beroperasi hancurkan Karst tersebut. Dari Presiden, Menteri, Gubernur dan bupati dan Parlemen yang kita pilih itu semua bungkam dan tetap gencet Sedulur Sikep! Secara serampangan bahkan sebagian kita yang tak tahu apa apa, malah ikut menghujat mereka!.
Peristiwa yang baru saja terjadi lainnya misalnya perlawanan rakyat Wadas, lalu penyerobotan tambang asing milik pengusaha dari Canada yang diberikan izin untuk menambang emas dari separo lebih pulau Sangihe yang dihuni orang Sangir yang berperadaban tua dan masyur itu. Padahal pejabat lokal dan masyarakat tidak ada yang mengizinkan pulau itu untuk ditambang.
Itu baru sepenggal kekerasan yang nyata secara fisik. Belum lagi bentuk kekerasan massal lain yang membiarkan perusahaan perusahaan perkebunan dan tambang merangsek masuk babat hutan untuk diganti Sawit di mana-mana, seperti Sumatra, Kalimantan dan Papua.
Pemerasan rakyat secara halus juga dilakukan melalui pembiaran secara biadab perusahaan-perusahaan bisnis berbasis platform itu mengekspoitasi para pekerja outsourcing seperti para supir dsn penggojek dimana-mana. Eksploitasi ekstraksi data pribadi para pelanggan oleh perusahaan asing dan lain lain. Mereka bahkan kita bangga-banggakan di awal sebagai perusahaan yang dianggap pembawa berkah.
Jutaan rakyat dalam posisi bukan lagi dilayani. Apalagi dilindungi. Rakyat digencet dan dieksploitasi dimana-mana. Demokrasi bukan lagi memiliki arti Demos Kratos, kepentingan rakyat, kedaulatan dan kuasa di tangan rakyat. Tapi berubah ke tangan elit politik yang berkongkalikong dengan elit kaya. Bahkan hari ini elit kaya itu telah merebut kursi di parlemen dan eksekutif di mana mana. Anggota DPR separuh lebihnya adalah orang kaya dan sisanya adalah mereka yang menjadi agen mereka.
Kondisi ini terjadi karena kita sebetulnya telah terjebak dalam hegemoni teori kuasa yang sesungguhnya banal, kasar dan feodal. Mereka yang kita pilih itu kita anggap bukan sebagai pelayan kita tapi sebagai pemimpin, sebagai raja-raja feodalisme dalam wajah baru. Ini jelas bukan demokrasi. Tapi plutogarkhi, rezim yang anti demokrasi!
Anggota parlemen dan eksekutif itu kita bentuk dalam teori kuasa, bukan teori pelayanan. Kita mengandai bahwa orang yang kita pilih itu akan menjadi penguasa bukan pelayan kita. Kita anggap mereka lebih superior dari kita, sebagai pemilihnya. Kita anggap mereka adalah sebagai pemimpin feodal baru yang kita pilih dengan istilah Pemilu!
Jadi jangan lagi menyesal, jangan sakit hati. Kita ini memang hanya sekumpulan mahkluk tolol yang tidak mampu!
Jakarta, 28 Desember 2021
0 Comments