Teruntuk Papa di Hari Ayah

by | Nov 12, 2021 | Pojok

Menjelang Hari Ayah 12 November 2021, entah ada angin apa yang membawaku harus kembali teringat dengan semua kenangan manis yang pernah ada bersamamu. Saat-saat yang tidak mungkin kulupakan sepanjang hidupku. Walau tidak banyak yang mengerti diamku, namun semua karena sayangku untukmu teramat mendalam. Sebagai anak perempuan, dirimu adalah cinta pertamaku dan tidak akan ada yang mampu menggantikan.

Masih kuingat lelahmu ketika harus bolak balik Bandung-Jakarta setiap hari hanya untuk menjengukku di rumah sakit. Kala itu, aku masih kelas 1 SD, dan sakit typhus dan harus dirawat di rumah sakit. Dirimu memaksakan diri untuk selalu hadir meski harus bekerja dan kuliah dari pagi hingga sore. Malam dirimu sudah berada lagi di sampingku, memeluk dan menciumi diriku, hingga pagi menjelang.
Tidak kulupakan juga ketika kita “berantem” begitu dahsyat hingga aku memotong pendek rambutku. Waktu itu aku baru lulus SD dan diriku memilih untuk sekolah biasa, menolak sekolah di sekolah swasta mahal dan bergengsi. Diriku ingin merasakan hidup seperti anak-anak lain, jalan kaki ke sekolah, bisa jajan, camping, naik gunung, dan bermain.

Kutahu dirimu benci sekali, dirimu selalu suka dengan rambutku yang lurus, hitam, dan tebal panjang sepinggang. Kutahu juga dirimu ingin memberikan semua yang terbaik dan memiliki banyak mimpi dan harapan besar terhadapku. Hingga beberapa bulan kita tidak bicara, dan sama-sama bersikukuh. Walau sesungguhnya hatiku begitu pedih, apalagi kita tidak pernah bersama. Dirimu selalu jauh dan bagus bila kita bisa berjumpa setahun sekali.

Bagimu, diriku tetap anak perempuan kecil yang masih ingin selalu dipangku dan dimanja. Jemariku pun selalu kau cium dengan gemas, bahkan setelah diriku memiliki anak. Tiap malam dirimu masih ingin dipeluk, dicium, diusap, dan dipijat hingga tertidur. Diriku pun merasa begitu nyaman berada di sampingmu. Kulupakan semua bila berada di dekatmu, tidur di pelukmu.

Aku juga yang menghantarkanmu pulang, Papa. Setelah sekian tahun sakit keras dan terbaring, hingga diriku tidak sanggup melihatmu, akhirnya kuberanikan diri memasuki ruang ICU itu. Aku takut sekali kehilanganmu, namun harus kulakukan. Aku ingin memberimu minum dari tanganku sendiri, setalah sekian lama dirimu dilarang bahkan meneguk setetes air. Bisa kubayangkan betapa keringnya tenggorokanmu, walau dirimu tidak sadarkan diri.

Kuingat dirimu seperti terbangun ketika kuusapkan air di bibirmu dengan jemariku, apalagi ketika kuteteskan air ke mulutmu. Aku bisa melihat dirimu begitu bahagia dan senang. Kepalamu dan tanganmu bergerak, seperti ingin bicara. Namun kusadar, dirimu tidak bisa bertahan lagi, lebih baik dirimu pulang daripada terus menderita. Kunyanyikan lagu kesayanganmu dan pujian terhadap Yang Maha Kuasa. ‘Berlayarlah Papa, pulanglah ke pemilikmu. Aku ikhlas. Kita akan berjumpa lagi nanti di surga sana,” ucapku waktu itu.

Tak lama dirimu pun berpulang dan aku bersikukuh lagi, tidak mau menangis. Aku harus ikhlas untukmu. Dirimu tidak pergi, dirimu pulang!

Dan, setelah beberapa hari berlalu sejak kepulanganmu, kubuka dompetmu. Aku menangis! Ternyata di dalam sana, selama ini, dirimu masih menyimpan puisi yang kutulis untukmu saat aku masih berusia 9 tahun bersama surat yang aku kirimkan untukmu waktu itu. Ya, kita selalu berkirim surat dan panjang berlembar-lembar. Aku sendiri di Bandung dan dirimu jauh di Amerika sana, menuntut ilmu.

Aku menangis papa, mungkin sepertinya tidak berarti tetapi bagiku sangat berarti. Surat dan puisi yang kau simpan dan bawa selalu, menjadi bukti cinta dan sayangmu untukku. Kau bawa diriku ke mana pun pergi meski kita jauh dan sering berdebat.
“Papa, kuingin dunia ini melihat bagaimana peran ayah begitu berarti bagi semua anak. Di saat kini peran ayah banyak dikucilkan dan para lelaki banyak yang terhina dan dihinakan hanya karena ego dunia, aku ingin buktikan bahwa tanpa didikan keras dirimu, aku tidak akan seperti ini. Dirimulah yang sudah mengajarkanku bagaimana berani mengambil sikap, keputusan, dan bertanggung jawab meski harus melawan dunia. Terima kasih Papa! Doaku untukmu”.

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This