Cermin di depanku lama kutatap. Tak berkedip. Menelusuri setiap lekukan wajahku yang terpantul sempurna. Cantik tak ada cela. Menurut Golden Ratio, aku memiliki ukuran wajah ideal. Sesempurna itulah wajahku tapi bukan hidupku. Tubuh yang menawan melengkapi identitas fisik diriku. Kutelusuri setiap lekuk tubuh yang terpantul dari cermin. Sempurna. Perasaan yang sama muncul setiap cermin mengirimkan pesan kepadaku. Pesan yang menyakitkan. Hal yang kurasakan berulang hampir tiga puluh tahun kehidupanku. Asing. Aneh. Penolakan diri yang memanaskan mataku dan menyesakkan dada. Rahasia terdalam kusimpan rapi hingga ku tak mampu lagi bernapas.
Undangan yang kuterima baru saja terlepas dari tanganku. Untuk kesekian kalinya berita menyakitkan datang. Cinta tak berbalas dan berubah arah mengacaukan kehidupanku. Aku terperangkap dalam tubuh yang salah. Andai aku memiliki keberanian mempertaruhkan seluruh hidupku, mungkin aku akan menemukan kebahagian.
“Izinkan aku bahagia walau hanya sesaat,” pintaku dalam hati.
Memandang wajah bening mendamaikan di depanku. Tampak merona kedua pipinya. Binar matanya selalu memukau sejak kumengenalnya lima tahun yang lalu. Kebersamaan dengannya adalah pertarungan tanpa akhir. Kelembutannya menyentuh sisi lain jiwaku. Entahlah, harus kusebut apa emosi ini. Tak sedetikpun waktu kulewatkan tanpa kehadirannya. Ketulusan yang aku berikan bukan kepalsuan. Pertemanan kami sungguh luar biasa. Hingga tanpa dia sadari aku menipunya. Atas nama pertemanan kuhalangi setiap kebahagian yang menghampirinya.
“Dia terlalu egois dan tidak pantas untukmu,” aku memberikan pendapat tentang Doni.
“Jangan kau lanjutkan, kau tak akan bahagia dengannya,” aku tatap mata Dinar dengan rasa yang membuncah. Aku tahu persis seperti apa lelaki bernama Doni.
Dinar hanya diam menatapku penuh ragu. Sakit rasanya harus membohonginya. Kupegang tangannya berusaha meyakinkan. Ditarik tangannya dari genggamanku. Berdiri. Menjauh.
“Apakah aku tak pantas bahagia, Ren?” lirih suaranya sedikit bergetar. Bulir air matanya mengalir perlahan. Menyakitkan. Seandainya aku memiliki keberanian untuk mengatakan semuanya.
“Maafkan aku, Din,” bisikku lirih. Kau pantas bahagia. Bukan dengan orang lain tapi denganku. Cinta tak pernah salah. Cinta terlarang yang kumiliki telah membakar jiwaku. Hidup bagai neraka saat kehilangan jati diri. Cantikku menghancurkan. Senyumku melilit kaum Adam dan membuatnya sulit bernapas tak berdaya. Tujuanku hanya satu, hanya agar memiliki Hawa untuk diriku. Termasuk dirimu. Kupikat Doni dengan mantraku dan kelihaianku membius. Menjauhkan Doni dari mu bukan hal yang sulit.
Aku jadi candu bagi Doni dan lelaki lain yang mencoba mendekati bungaku. Walau aku harus menahan muak. Benci dan jijik setiap kali mereka melukis jejak birahi mereka di tubuhku. Kukunci jiwaku rapat dalam kotak pengkhianatan. Tak pernah kuizinkan sekalipun hasratku bermain dengan mereka para lelaki. Topeng kepalsuan kuciptakan tanpa rasa iba. Tak ada yang tulus pada sosok pemuja kemolekan dan kenikmatan. Semua pengkhianat adalah lelaki lemah yang menjijikan.
Berapa kali sudah diriku kalah. Berbagai cara telah kulakukan agar hilang dari skenario Tuhan. Memohon untuk lenyap atau dilenyapkan. Sakit. Sangat menyakitkan. Andai ku harus meninggalkan jejak dalam kehidupan ini, aku ingin meninggalkan jejak di hatimu, Dinar. Andai hal ini pun sulit aku dapatkan, biarlah aku yang menapaki rasa cinta ini sendiri. Cinta yang salah bagi dunia tapi tidak bagiku. Kelam menjadi kawan perjalananku. Mendamba cintamu dalam kesepian sungguh perjuangan yang melelahkan.
Sebuah pesan singkat kuterima sesaat setelah kuterima undangannya.
Renata, Aku berharap engkau hadir di hari bahagiaku. (Dinar dan Doni)
Bogor, 10 September 2021
0 Comments