Kalau sering mampir ke toko buku, kerap mengalami pengalaman unik, yang bisa jadi itu resonansi atau jawabab atas keinginan tak sadar kita sendiri.
Resminya sih kita merasa menemukan hal yang tidak kita cari. Tapi apa memang betul begitu?
Selagi iseng-iseng melihat-lihat buku baru apa saja yang lagi tayang, tak sengaja terpaut pada judul buku rada aneh, novel karya Nina George, “The Little Paris Bookshop”. Mulanya saya kira berkisah tentang penjual buku kecil di kota Paris.
Ternyata tema ceritanya cukup unik. Monseur Perdu, resminya memang penjual buku-buku, khususnya yang berlingkup sastra atau cerita fiksi.
Namun lebih dari itu, rupanya sebagai penjual buku cuma kemasan luarnya aja. Sejatinya, dia ini kalau dianalogikan dalam dunia kesehatan, kayak Apoteker Buku. Khususnya Sastra.
Monseur Perdu, belakangan menyadari ada bakat khusus yang melekat dalam sifat bawaannya. Pintar dan jeli membaca kejiwaan seseorang.
Ada banyak gejala-gejala kejiwaan pada diri seseorang, entah itu stres, galau, putus asa, merasa tidak dihargai orang lain, tapi yang bersangkutan tidak menyadari problem kejiwaannya.
Uniknya, Pak Perdu ini tahu persis, bahwa buat mengobati aneka masalah kejiwaan yang dialami para calon pembeli buku yang datang ke tokonya, bisa diobati dengan membaca buku cerita yang pas.
Karena Pak Perdu ini lebih paham penyakit kejiwaan sang calon pembelinya ketimbang orang yang bersangkutan, maka tak jarang Pak Perdu dan calon pembelinya saling “eyel-eyelan” buku apa yang seharusnya pas dibaca buat mengobati masalah si calon pembeli bukunya.
“Buku itu dokter sekaligus obatnya,” begitu tutur Monseur Perdu kepada salah seorang pengarang muda yang lagi naik daun, dan kebetulan sedang bertandang ke toko bukunya, karena sedang mengalami stres akibat macet dan buntu ide dalam menggarap novelnya yang kedua.
Nina George, kalau menurut biodata singkat di novel ini, selain novelis, juga wartawan dan berbakat mendongeng. Ketika membaca novel ini meski baru enam bab, saya berpikir jangan-jangan ide cerita yang muncul di benak Nina George meski pada dasarnya fiksi, mengandung aspek nyata juga.
Sontak saya teringat pada beberapa tokoh nasional maupun luar negeri, berubah jalan hidupnya gegara membaca sebuah buku tertentu. Atau karena terpikat dan larut pada sebuah buku, yang mungkin tiba-tiba memantik sesuatu di dalam dirinya.
Sebuah buku bisa membuat seseorang yang semula patah semangat jadi bergairah dan antusias lagi. Orang yang tadinya “males-malesan” sontak seperti ditempeleng wajahnya, lalu bangkit berkegiatan sesuatu.
Tapi seperti penuturan Monseiur Perdu dalam novel ini, buku yang dibaca harus pas dengan suasana jiwa yang sedang dialami orang tersebut.
Kalau salah bacaan dan tidak sesuai dengan kejiwaan si pembaca saat itu, bisa-bisa malah “korslet” kata Pak Perdu.
Salah satu yang mengagetkan saya dari buku Nina George-yang meski kabarnya laris manis saat diterbitkan di Eropa itu-sejatinya bacaan ringan ini adalah resep Pak Perdu sebagai apoteker buku atau sastra buat para politisi yang biasanya akrab dengan nafsu, keserakahan dan kecurangan.
Bagi para politisi irasional model begini, kata Pak Perdu, justru harus dianjurkan membaca karya-karya sastra atau cerita yang juga sama irasionalnya. Maka Pak Perdu menganjurkan para politisi yang sedang mengalami keluhan kejiwaan meskipun tidak mau mengakui secara terbuka, lebih baik membaca karya-karya Franz Kafka dan George Orwell berjudul 1984, yang alur ceritanya gila-gilaan dan tidak masuk akal.
Jakarta, 01 September 2021
0 Comments