Tanpamu, Aku Koma

Aug 25, 2021 | Cerpen

Kuputuskan berada di dimensi ini untuk beberapa waktu. Bukan lelah, aku hanya ingin tahu masihkah kau menyimpan cinta untukku. Hanya ingin memastikan masih adakah secuil komitmen dalam dirimu untuk hubungan kita. Hubungan yang tak pernah bertemu selama sekian dasawarsa.

“Bang, biarkan anak-anak lulus SMA dulu baru aku pulang,” katamu saat itu. Saat dimana kau telah genap lima belas tahun di negeri orang.

Aku sabar dengan harapan penuh kelak kau pulang dengan kebahagiaan kita dan anak-anak.

“Baiklah!”

Kuiyakan saja apa yang kau kata. Sebab aku hanya punya itu untukmu, menuruti segala keinginanmu. Meskipun aku telah keliru menuruti tekadmu menjadi budak di negeri padang pasir itu. Memang bukan kebahagiaan melepasmu, akan tetapi bukankah tawamu adalah hidupku.

Dan sekarang saatnya aku ingin mengetahui segala aktifitasmu di negeri orang sana. Di antara riuhnya isak tangis anak juga menantu yang belum pernah kau bertemu, aku asyik berkelana mengawasi gerak-gerikmu.

Dan demi Tuhan yang telah menciptakan masa, mungkin aku lebih memilih mati seketika ini daripada aku harus bertemu denganmu lagi. Aku merutuki nasib sendiri dalam kesunyian tak terjangkau.

Kulihat kau bersama seorang anak kecil dengan raut wajah sangat mirip dengan anak-anakku semasa kecil, bedanya anak kecil itu berambut ikal dengan warna kulit sedikit lebih gelap dari anak-anakku.

Kau menimangnya penuh sayang bersama beberapa perempuan berpenampilan sama denganmu.

“Sayang, sayang, anakku sayang!”

Entah lagu apa yang kau nyanyikan, yang jelas aku heran bukan kepalang menemukan diriku bisa memahami bahasa Timur Tengah itu.

“Hubby, apa kabarmu hari ini? Aku sangat merindukanmu!”

Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar datang tanpa salam dan langsung mendekatimu. Semua kawananmu yang tak kulihat satu pun dari Negara yang sama membawa anak yang sedari tadi kau gendong. Dan aku menyaksikan untuk pertama kalinya pemandangan memuakkan yang benar-benar kau lakukan.

“Aku suamimu, Ningsih. Sedangkan dia, siapa?”

Suaraku sudah jelas tak dapat didengar oleh makhluk bernama manusia. Tapi beberapa cicak di dinding rumah yang lebih pantas sebagai istana itu semua memahami posisiku.

Laki-laki itu merangkul tubuhmu dan mengiring dirimu menuju sebuah ruangan lainnya. Bukan hendak menguntit, hanya saja aku ingin memastikan benarkan ruangan bernama kamar yang kalian tuju.

“Dasar, lelaki biadab!”

Aku sempat menyumpahi lelaki itu meskipun percuma kulakukan. Dia benar-benar telah merenggut kau dariku. Dan dirimu pun terlihat sangat menyukai apa yang lelaki itu lakukan padamu. Dimana seharusnya hanya akulah yang berhak sepenuhnya atasmu.

“Kau telah mengkhianatiku, Ningsih!”

Entah sudah berapa anak yang telah lahir dari rahimmu. Sedangkan kau tak pernah mengabariku akan ini semua. Siapa yang salah, Ningsih? Aku yang membiarkanmu pergi ataukah kau yang terlanjur menikmati pekerjaanmu. Pekerjaan yang sangat tidak kuharapkan.

Aku tergugu dalam keheningan maha sepi. Tak ada seorang pun tahu bahwa aku telah menyelinap ke negeri tempatmu mengabdi. Ya, kau telah mengabdi pada orang selain aku.

Dalam tangisku tampak kulihat sebuah gua. Letaknya dan ciri-cirinya sama dengan yang biasa kulihat di media sosial. Gua Hira’ tempat Nabiku berkhalwat.

Tangisku kian pecah melihat gua gemerlapan itu. Aku merasa harus segera bertaubat atas semua kehidupan yang Tuhan berikan padaku. Terutama kegagalanku menjadi imam keluarga.

Ok, aku berhasil mendidik anak-anakku menjadi orang berhasil. Haikal, sulungku kini telah menjadi Sekretaris Desa. Baru saja menikah dan sebentar lagi akan lahir cucuku. Haikal sangat taat agama dan amanah dalam tugasnya. Bachtiar, bungsuku telah mengajar di sebuah sekolah swasta. Budi pekertinya sangat pantas diacungi jempol.

“Semoga Tuhan Semesta Alam memberkahi kalian semua, Putra-putraku”.

Kembali pada kegagalanku. Seharusnya aku yang bekerja banting tulang atau harus bertaruh nyawa sekalipun. Menjadi buruh tani memang tak akan mampu membahagiakan istriku. Tapi setidaknya pengambilalihan hak atasnya tak akan terjadi.

“Jika saat itu aku melarangmu, tentu tak perlu kau mengalami ini semua, Ningsih!”

Tepung sudah menjadi kue, dan nasi telah menjadi bubur. Penyesalanku tak akan mampu mengembalikan keadaan. Kemarahanku pada lelaki itu juga tak memberikan pengaruh pada kenyamananmu bersamanya. Sebab memang lelaki itulah yang telah menafkahimu, bahkan menafkahi anak-anakku. Pastinya dengan imbalan dirimu.

Aku berteriak histeris kepada alam berharap mereka mendukungku dalam taubat. Sebab aku sudah merasakan kedekatan dengan hawa murni Tuhanku. Kusebut beberapa kalimat taubat yang kubisa.

Pada sebuah tahapan dimana aku sudah tak mampu lagi mendengar dan hanya mampu melihat, kutengok sejenak dirimu yang bangun dari pembaringan bersama lelaki itu. Aku tersenyum melihatmu bahagia bersama orang lain. Tak peduli kau telah menjual komitmen kita di hadapan Tuhan. Aku bahagia melihatmu bahagia.

Lalu kurasakan sinar mentari negeriku menghangatkan tubuh tak kasat mata ini. Aku lega telah kembali melihat anak-anakku berkerumun di samping jasadku yang tak berdaya. Tak terasa sudah tiga kali dua puluh empat jam aku meninggalkannya berkelana.

Kulihat anak-anakku menangis dan salah satunya sibuk menelepon. Masih sempat kudengar dia memarahimu. Ingin kucegah anakku memarahimu sebab kau sedang berbahagia bersama orang lain, hingga kau masih mampu tertawa saat aku sekarat.

Tapi bagaimanapun, aku telah memaafkanmu. Biarlah luka ini kubawa mati bersama komitmen yang masih kugenggam erat bahwa selamanya aku adalah pasanganmu.

Hanya berkisar sekian menit setelah anakku menutup teleponmu. Aku dinyatakan telah meninggalkan dunia ini. Dunia yang penuh tipu daya, namun juga penuh kesempatan untuk mendulang kemuliaan.

“Selamat tinggal, Ningsih!”

Maylan Duan

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This