Berlari di tengah-tengah hutan tanpa seekor kuda sama saja dengan bunuh diri, sedari tadi pangeran tersebut hanya berlari menjauh menghindari sekelompok prajurit istana yang sedang mengejarnya. Bohong jika ia tidak merasakan lelah, dadanya terasa sangat sesak. Kuda kesayangannya mati terpanah di hadapannya. Ayahandanya, sang Kaisar dari Kerajaan Regendstat tewas terpenggal kepalanya di tangan musuh. Sang Pangeran sangat marah kepada dirinya sendiri, kerajaannya hancur di depan matanya. Keluarga satu-satunya yang ia miliki tewas di hadapannya. Ia merasa sangat bodoh. Apa gunanya memiliki gelar sebagai lulusan akademi militer terbaik di negaranya apabila tidak bisa menyelamatkan nyawa ayahnya sendiri.
Ketika sudah cukup jauh lari menembus dalam hutan disertai hujan yang lebat, akhirnya ia memutuskan untuk mengistirahatkan pikiran serta tenaganya sejenak di pohon tua yang lumayan besar untuk berteduh. Ia menyandarkan tubuhnya pada batang kokoh di pohon tersebut. Berusaha membersihkan noda-noda merah dan coklat yang menempel di bajunya. Tanpa sadar, ia mengenang kilas balik saat Ayahandanya meninggalkan pesan agar selalu memperjuangkan kerajaan Regendstat, tempat kelahirannya.
Tak sanggup lagi menahan rasa pening di kepalanya dan secara tiba tiba genangan air mata meluncur deras dari matanya, pangeran menelungkupkan kepalanya di antara kedua kakinya dan menangis terisak-isak di tengah lebatnya hujan. Ia merasa tak berdaya, bodoh, lemah, tak berguna. Surai biru langit yang awalnya ia sembunyikan dalam tudung lusuh miliknya mulai menampakkan wujudnya helai demi helai.
Pikiran sang pangeran terlalu kalut sehingga tak menyadari kehadiran makhluk kecil bercahaya putih tengah menyisir helaian rambut biru langit miliknya. Hangat rasanya. Hangat sekali hingga berangsur pikiran-pikiran yang sebelumnya tengah menghantui sang pangeran mulai menghilang, dan ia bisa kembali lagi kedalam realita kehidupannya. Sang peri sedikit terkejut ia mendengar dengkuran lembut sosok bersurai biru langit itu. Sang peri memutuskan untuk mengubah struktur bentuk pohon yang digunakan pangeran menjadi sebuah igloo yang terbuat dari kayu-kayu dahan pohon tersebut untuk melindunginya dari hujan dan hewan buas. Tanpa pangeran sadari, igloo itu mampu melindunginya dari kejaran musuh.
Pagi menyapa saat sang pangeran terbangun dari posisi tidurnya dan ia terkejut ketika melihat seorang peri tengah mengamatinya. Peri tersebut tersenyum dan menyapa pangeran,
“Halo, Selamat Pagi Tuan,” sapa makhluk kecil tersebut dengan riang.
“Selamat Pagi Nona Peri,” balas pangeran tersebut dengan sedikit canggung.
“Mmm, apakah anda pangeran dari negeri ini Tuan? Kalau saya amati lebih dalam jubah coklat dan setelan baju putih yang Anda pakai sangat menawan!” cerocos peri tersebut sembari mengitari pangeran. Pangeran yang masih kelelahan hanya bisa membalasnya dengan senyuman tipis.
“Hei, Tuan kalau ada yang bertanya harus dijawab! Tak menghiraukan pertanyaan seseorang itu tidak sopan!” omel peri tersebut sembari menarik hidung pangeran dengan perlahan.
“Baiklah, baiklah, mohon maafkan saya. Benar, saya adalah pangeran negeri ini tapi untuk hari ini anggap saja saya hanyalah seorang buronan,” jawab pangeran sembari merenggangkan tubuhnya yang kaku karena tidur dengan posisi duduk. “Maksudnya Tuan?” tanya peri tersebut dengan raut kebingungan, “Apakah Anda diusir dari kerajaan Anda sendiri?” tanya peri itu dengan khawatir.
Melihat reaksi peri, pangeran hanya bisa tertawa lirih dan saat ia merasa siap membagikan ceritanya, ia menjelaskan asal muasal ia bisa sampai masuk dalam hutan lebat ini. sang peri yang mendengar cerita tersebut hanya bisa menutup mulutnya dengan kedua tangan mungilnya untuk menunjukkan keterkejutannya tentang cerita memilukan itu. Seusai mendengar kisah pilu pangeran peri pun menghampiri pemuda bersurai biru langit itu dan memeluknya untuk menyampaikan rasa simpati.
“Saya lemah ya, tak bisa bertarung melawan musuh bersenjata. Saya hanya memiliki otak, tidak dengan kekuatan bertempur,” ujar sang pangeran lirih.
Peri yang tidak terima dengan penuturan tersebut, langsung menatap kesal pada pangeran. “Siapa bilang Anda hanya bisa bertarung dengan menggunakan otot Anda Tuan?! Asal Anda tahu hal-hal yang ada dalam pikiran dan hati Anda itu lebih menyeramkan dibandingkan dengan seribu tentara yang akan Anda hadapi nanti,” sang pangeran terkejut dengan penuturan sang peri, seakan-akan mendapat pencerahan, pangeran langsung keluar dari igloo kayu sambil menoleh kepada sang peri.
“Benar yang Anda katakan! Manusia akan melakukan apa saja untuk memenuhi nafsu mereka. Aku bisa saja merebut kembali kerajaanku, dan yang saya perlukan sekarang hanyalah teman yang mau berjuang bersamaku! Bersama-sama, kami bisa merebut kembali semua yang seharusnya menjadi milik kami!” ujar pangeran sambil menjentikkan jarinya dan tersenyum riang kearah sang peri.
Peri paham dengan maksud senyuman itu. Ia pergi sejenak dan tak lama kembali kehadapan sang pangeran dengan membawa peta dan belati. “Setidaknya ini akan membantu Tuan agar bisa menuju desa terdekat dengan selamat dan menemukan orang-orang yang akan berjuang bersama Anda nanti. Namun maafkan Saya hanya bisa membantu Tuan sampai sini saja untuk saat ini. Apabila Tuan memerlukan Saya, maka Saya akan selalu hadir untuk Tuan.”
“Terimakasih,” gumam pangeran dengan raut muka yang mulai bersemangat, lalu ia bangkit dan memberi salam perpisahan kepada sang peri, dan pangeran pun melanjutkan perjalanannya menuju desa yang tertera di peta tersebut.
Seiring menjauhnya sang pangeran melangkah, sang peri mengubah wujudnya menjadi seorang roh wanita berparas ayu dengan surai biru langit yang tergerai indah sedang tersenyum melihat kepergian pangeran dari kejauhan.
“Semoga kau bisa merebut kembali kerajaan kita, anakku. Lanjutkan perjuangan mendiang ayahmu! Teruslah berjuang, kisahmu masih panjang.” Lalu roh tersebut perlahan melebur dengan udara setelah sang pangeran tak tampak di hadapannya.
“Ibu akan selalu ada untuk membantumu setiap saat, dalam suka maupun duka. Jangan patah semangat Anakku! Kamu pasti bisa.”
0 Comments