Memperingati Hari Sumpah Pemuda 1928. Dahulu ketika sumpah itu dicetuskan para pemuda, pastilah dipenuhi prakonsepsi di kepala masing-masing tentang kepeloporan, kesejarahan dan idealisme yang menggelora bahwa bangsa majemuk ini wajib dipersatukan dalam ikatan sumpah bersama atas perasaan satu nation yang sama, Bahasa dan bertanah air yang sama. Para pemuda juga yakin bangsa Indonesia akan segera memperoleh kemerdekaannya, cepat atau lambat. Sumpah bersama tersebut memang dibutuhkan sebagai panduan dasar bagi keterikatan tekad dan kesamaan nasib sebagai anak bangsa yang masih terjajah.
Sebagai sebuah cikal bakal dari maujudnya satu bangsa besar, tentulah disadari bahwa soalan kualitas SDM untuk memimpin bangsa yang kelak merdeka akan menjadi satu masalah tersendiri. Hanya beberapa gelintir saja dari tokoh-tokoh pemuda yang mempunyai latar intelektual memadai seperti halnya pemuda Moh. Yamin yang sempat memberikan pandangannya pada forum Kongres Pemuda III saat Sumpah Pemuda diikrarkan. Selain ada beberapa orang lagi intelektual dari tokoh-tokoh SI seperti HOS Tjokroaminoto, beserta teman-teman dari Boedi Oetomo dan para alumni sekolah di negeri Belanda semisal Hatta dan Soekarno sendiri. Tetapi beberapa dari mereka juga berprofesi sebagai guru seperti Ki Hadjar Dewantara, sebuah modal amat penting bagi satu bangsa yang kelak merdeka. Sungguh tak terbayangkan bagaimana kelak bangsa yang baru merdeka itu akan mengorganisasi dirinya dengan SDM amat terbatas, dengan keluasan wilayah Nusantara.
Tapi toh sejarah tetap berjalan seperti seharusnya bahwa bangsa itu memang merdeka pada 1945. Meski pengakuan kemerdekaan dari Belanda baru dinyatakan pada 1949, namun proses jalannya pemerintahan dari negara yang baru merdeka tetap berlangsung dengan susunan kabinet silih berganti sampai setelah pengakuan kemerdekaan dan semasa era 1950an – dan 1960an. Para pemuda yang rata-rata berusia 25 – 45 tahun ternyata sanggup memimpin jalannya organisasi pemerintahan sebuah negara. Meski banyak sekali hambatan, namun sekali lagi sejarah membuktikan bahwa kepeloporan pemuda di tiap zaman amat menentukan jalannya sejarah sebuah bangsa. Sebuah hal yang amat wajar karena pemuda adalah intisari dari populasi sebuah bangsa. Hitam putihnya perjalanan bangsa ditentukan oleh peran strategis para pemudanya.
Kepeloporan pemuda dalam pergulatan intelektual jauh sebelum kemerdekaan dengan gejolak ide ide revolusioner menuntut kemerdekaan, pertarungan berdarah dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, masa revolusi orde lama ke orde baru dan era pergantian kekuasaan orde baru ke orde reformasi juga menasbihkan peran pemuda di dalamnya yang tidak bisa tidak, harus diakui. Kekuatan sipil paling berpengaruh disamping kekuatan militer adalah pemuda itu sendiri. Karenanya, pemuda selalu menjadi incaran untuk dijadikan komoditas, kawan sinergi oleh kekuatan hitam pebisnis curang ataupun kekuatan vested interest lain, agar dapat dikendalikan. Maupun oleh kekuatan sipil dan militer yang menginginkan peran pemuda agar sejalan dengan arah kepentingan masing-masing.
Lalu setelah menyadari peran strategis dan amat mementukan kekuatan pemuda kemarin dan hari ini, di mana kita meletakkan peran kesejarahan pemuda terkini di tengah posisi 100 jutaan kaum muda, bonus demografi yang tempo hari sempat digaungkan sebagai generasi emas?’
Tidak mudah untuk menjawab, namun peta permasalahan bangsa yang berusia 76 tahun ini tersaji sudah. Berbagai persoalan pertumbuhan ekonomi, pandemi, kemiskinan yang semakin parah semasa pandemi, kesenjangan pendidikan dan fasilitas pendidikan antar pusat-daerah, pemerataan pendapatan, disparitas wilayah dan konvergensi pertumbuhan antar wilayah, redistribusi lahan dan redistribusi kekayaan, kesehatan, peran partai politik, politik luar negeri, energi terbarukan dan pemanfaatan sisa energi fosil, serta persoalan religiusitas dan keterbelahan bangsa akibat politik kekuasaan yang semberono dan mengancam persatuan. Tetapi kiranya yang perlu sekali pemuda sadari adalah : Bagaimana mengupayakan agar kedaulatan negara-bangsa di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan tetap terjaga. Hal itu yang harus terus disadari dan diperjuangkan para pemuda masa kini, disamping meningkatkan kualitas dirinya menghadapi persaingan baru di era teknologi digital (4.0 – 5.0, dan seterusnya).
Tanpa mengesampingkan arti penting kedaulatan politik dan ekonomi, tema kedaulatan kebudayaan agaknya menjadi hal yang tak kalah penting, bahkan jauh lebih penting untuk menjaga agar bangsa ini tidak menjadi bangsa yang kalah oleh dominasi kebudayaan asing yang tak sadar perlahan menjajah anak bangsa. Bangsa berdaulat ini harus dijaga jangan sampai terjadi seperti sejarah bangsa Ceko di Eropa sana yang pada tahun 1600-an sempat dijajah secara kebudayaan oleh bangsa lain, dan anak bangsa itu harus menggunakan Bahasa Jerman dalam percakapan sehari-hari. Luarbiasa tragisnya peristiwa yang dialami bangsa Ceko ketika itu. Anak bangsa yang berusaha dihilangkan identitas kebangsaannya lewat penghapusan Bahasa nasional Ceko dengan Bahasa Jerman. Namun, hal unik kemudian terjadi ketika justru Bahasa bangsa Ceko diselamatkan oleh sisi Kebudayaan!
Penggunaan Bahasa Ceko dalam pertunjukan boneka yang diciptakan oleh para kreator bangsa Ceko telah menyelamat Bahasa Ceko. Penciptaan boneka-boneka (kayu) yang telah menjadi kebudayaan Ceko hingga saat ini, menjadi penyelamat identitas sebuah bangsa.
Guru Besar Universitas Paramadina Jakarta Prof Abdul Hadi WM dalam satu diskusi Space twitter Didik J Rachbini juga menyatakan, kita telah kehilangan elan vital kebudayaan sebagai sebuah bangsa besar. Semua hal saat ini selalu dipandang dari kacamata ekonomi dan politik. Kebudayaan menjadi terpinggirkan, juga perjuangan literasi baca-tulis dan Bahasa.
“Mumpung” peringatan hari Sumpah Pemuda 1928, ada baiknya semua menyadari warning dari Prof Abdul Hadi WM di atas. Sejarah perjuangan kebudayaan dan Bahasa dari bangsa Jepang disarankan menjadikan pelajaran. Bangsa Jepang sejak era restorasi Meiji telah sadar dan mencanangkan perjuangan untuk menjaga identitas kebudayaan Jepang dari serangan budaya global yang mulai melanda Jepang terutama dari bangsa-bangsa Barat di masa lalu. Walhasil, bangsa Jepang hingga kini selamat dalam menjaga marwah identitas kebudayaannya.
Sumpah Pemuda 1928 dan perjuangan menjaga marwah Bahasa Indonesia terkait penjuangan literasi dan kebudayaan, agaknya harus juga menjadi fokus para pemuda sekarang. Disamping hal lainnya yakni perjuangan menjaga kedaulatan bangsa di bidang politik dan ekonomi, demi kemajuan dan kesejahateraan seluruh anak bangsa. (017)
0 Comments