Stop Politik Dinasti, Sekarang Juga!

Oct 18, 2021 | Opini

Belum kering air liur kita membicarakan tertangkapnya Puput Tantriana Sari (Bupati Proboliggo) dan sembilan orang lainnya termasuk anggota DPR, camat, kepala desa dan ajudan oleh KPK (31/08/2021). Aksi tangkap tangan (OTT) KPK terulang dengan ditetapkannya Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Dodi Reza Alex Noerdin (15/10/2021).

Praktik kekuasaan dengan “memberi” posisi anggota keluarga dalam struktur kekuasaan sering disebut dengan dinasti politik. Dinasti politik adalah realitas yang tak terhindarkan dalam demokrasi, khususnya paska reformasi. Sistem politik dinasti terjadi untuk mengakomodasi hubungan yang lebih pribadi tanpa melihat kemampuan, sehingga merusak sistem demokrasi yang ingin kita bangun. Fenomena politik kekerabatan muncul sejatinya menggambarkan demokrasi tidak sehat. Dinasti politik yang hadir di Indonesia, sering kali menjadi hal yang harus di hindari. Mengingat banyak dampak negatif dari pada positifnya yang dihasilkan,di antaranya melahirkan korupsi “berjamaah”.

Larangan dinasti politik pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 pengganti atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang ini salah satu pasalnya mengatur, dengan mewajibkan jeda lima tahun bagi mereka yang terikat hubungan kekerabatan dengan petahana agar bisa maju Pilkada. Sayangnya, ketika UU tersebut di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi norma tersebut dibatalkan. Alasan MK, pasal itu mengandung muatan diskriminatif yang bertentangan dengan konstitusi. Pengaturan tentang dinasti politik pun berlaku kembali.

Dengan berulangnya kasus korupsi politik dinasti, apakah MK masih bersikukuh dengan argumen legal formalisitik yang terbukti lemah itu, kita tunggu.

Kembali ke Sistem Meritokrasi
Rekruitmen pemimpin, apakah itu di partai atau di pemerintahan, saatnya kembali memperhatikan sistem meritokrasi. Sistem meritokrasi dalam konteks pemerintahan lazimnya merupakan proses promosi dan rekrutmen pejabat pemerintahan berdasarkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas dilihat dari rekam jejak dan prestasi lainnya (Stephen J. McNamee dan Robert K.Miller, 2009), menyatakan bahwa meritokrasi adalah sistem yang menekankan kepantasan atau kelayakan seseorang dalam menduduki posisi atau jabatan tertentu. Di dalam perspektif Ilmu Pemerintahan sistem meritokrasi ini merupakan turunan dari kajian tata kelola pemerintahan khususnya dalam konsep Dynamic Governance yang menekankan aspek budaya dan kapabilitas. Dalam lokus yang lebih besar, sistem ini sepatutnya diterapkan dalam berbagai segmentasi kehidupan dan cukup kompetibel untuk diinternalisasi ke dalam sistem pemerintahan.

Substansi dari sistem meritokrasi adalah kebaikan, jasa, manfaat, terpuji dan kepantasan. Artinya spirit dalam mengelola pemerintahan khususnya dalam konteks menentukan cara atau mekanisme pemilihan sumberdaya manusia yang hendak menjadi agen atau pelaku pemerintahan terutama seorang pimpinan mesti berdasarkan kompetensi (rekam jejak seperti prestasi dan kinerja) yang dimilikinya. Hasil dari sistem meritokrasi ini adalah pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang yang layak. Bukan melanggengkan romantisme kebiasaan lama yang konservatif, seperti dinasti politik yang sering hanya bermodalkan warisan “orangtuanya”, syarat akan penyimpangan serta proses yang tidak objektif dan professional. Cara ini hanya akan melahirkan tirani kekuasaan yang semakin bertentangan dengan sistem demokrasi. Rekruitmen kepemimpinan dengan basis meritokrasi sebenarnya sudah lama diilhami sebagai sebuah formulasi tepat dalam menata sistem demokrasi. Namun, masih sedikit khalayak yang sudah mengenal sistem ini dengan terminologi meritokrasi.

Sistem meritokrasi dianggap sangat cocok dengan iklim politik Indonesia. Selain meningkatkan kualitas, kapasitas dan keterampilan seorang pemimpin, sistim meritrokasi ini juga dapat mengikis adanya sistem dinasti.

Terdapat sebuah adagium yang berbunyi “nasib suatu bangsa bergantung pada kualitas generasi penerus para pemimpinnya” (Aristoteles). Penjelasan di atas menyiratkan sebuah pesan moral kepada kita bahwa persoalan kualitas kepemimpinan bangsa memiliki implikasi yang amat fundamental terhadap maju-mundur suatu bangsa karena ditangan seorang pemimpinlah nasib suatu bangsa ditentukan.

Integritas Pemimpin
Integritas berasal dari bahasa Latin, integer, incorruptibility, firm adherence to a code of especially morala acristic values, adalah sikap yang teguh mempertahankan prinsip tidak mau korupsi, dan merupakan dasar yang melekat pada diri sendiri sebagai bentuk nilai-nilai moral. Integritas bukan hanya sekedar bicara, pemanis retorika, tetapi juga sebuah tindakan. Bila kita menelusuri karakter yang dibutuhkan para pemimpin saat ini dan selamanya mulai dari integritas, kredibilitas dan segudang karakter mulia yang lainnya pastilah akan bermuara pada sosok pribadi manusia yang sejak lahirnya telah menjadi pilihan Tuhan untuk menjadi pemimpin yang berguna, bermartabat dan memiliki integritas yang baik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata integritas mengandung pengertian yaitu mutu, sifat atau keadaan yang menunjukan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran. Pengertian Integritas nasional adalah suatu wujud keutuhan akan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara etika, integritas dapat diartikan juga sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah hipocrisy (hipokrit atau munafik). Seseorang dikatakan “mempunyai integritas” apabila tindakannya sesuai dengan nilai-nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya (https://dosenpintar.com/pengertian-integritas/).

Untuk dapat menilai karakternya, pemimpin yang berintegritas biasanya ditandai dengan satunya kata dan perbuatan bukan seorang yang kata-katanya tidak dapat dipegang. Seorang yang mempunyai integritas bukan tipe manusia dengan banyak wajah dan penampilan yang disesuaikan dengan motif dan kepentingan pribadinya. Integritas dan kepemimpinan mempunyai hubungan yang sangat erat satu sama lain (Stephen R Covey, 2006). Menyebutkan bahwa integrity is doing what we say will do. Seorang pemimpin harus dapat bertindak secara konsisten antara kata dan perbuatan. Integritas menjadi karakter kunci bagi seorang pemimpin dan seorang pemimpin yang mempunyai integritas akan mendapatkan kepercayaan (trust) dari siapa pun. Pimpinan yang berintegritas dipercayai karena apa yang diucapkannya juga menjadi tindakannya. Untuk mewujudkannya memerlukan kerja keras, dengan bermodalkan integritas dalam kepemimpinan, di mana seorang pimpinan harus menggabungkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya untuk menjadi suatu kesatuan yang saling mendukung satu sama lainnya. Potensi tersebuat antara lain kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan memiliki potensi ini akan menjadikan dirinya secara holistik sebagai seorang pemimpin.

Dari berbagai studi di Eropa yang mengangkat tema “kaitan antara sumber daya alam dan sumber daya manusia”, disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan pengelolaan SDA oleh SDM. Dibuktikan dalam penelitian itu, para imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju dan kaya di Eropa. Suku, agama, ras atau warna kulit juga bukan merupakan faktor penting. Lalu, apa perbedaannya? Perbedaannya adalah pada sikap atau perilaku masyarakatnya, yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat seperti di Jepang atau Swiss, sehari-harinya mengikuti dan mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan dimana salah satu dari prinsip dasar itu adalah integritas diri.

Di dalam integritas terkandung makna konsistensi antara tindakan dan nilai, sehingga integritas dari setiap pemimpin menjadi hal yang mutlak sebagai landasan yang profesional dalam melaksanakan tugas organisasi dan melayani masyarakat. Integritas perlu dimiliki oleh setiap pemimpin yang terlibat langsung di dalam organisasi, tanpa integritas organisasi tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien dalam mewujudkan visi dan misi pelayanannya, hal ini tentunya di dukung oleh seorang pemimpin yang memiliki jiwa integritas, tanpa adanya integritas dari pemimpin sebagai pengendali organisasi atau pengarah, maka pemimpin tersebut akan mudah kehilangan kepercayaan dari bawahan atau publik.

Kepemimpinan yang dibangun atas kekuatan berpikir dengan kebiasaan yang produktif yang dilandasai oleh kekuatan moral berarti ia memiliki “Integritas” untuk bersikap dan berperilaku sehingga ia mampu memberikan keteladanan untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan perubahan yang terkait dengan proses berpikir. Oleh karena itu seseorang yang memiliki kepemimpinan yang mampu menerapkan arti dan makna integritas berarti ia meyakini benar bahwa jika hanya orang yang kuat yang dapat bertahan dan keinginan menghambat kemajuan orang, menjadi kaum penjilat, bermuka dua, tidak akan menjadi orang yang mampu mengikuti perubahan.

Penutup: Stop Politik Dinasti
Melihat fenomena politik dinasti yang terbukti korup, masihkah kita membiarkan model seperti ini terus berlangsung. Tentu, demi kemajuan negara, good government dan clean governance saatnya politik dinasti dihentikan. Payung hukumnya putusan MK-lah yang tepat dengan meralat putusan sebelumnya.

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This