Oleh Achmad Nur Hidayat (Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)
Media pemberitaan sedang diramaikan oleh kasus pencabulan terhadap santriwati yang dilakukan oleh anak seorang kiai di Jombang. Hal ini tentu saja berita yang sangat memprihatinkan. Dan kasus semacam ini banyak terjadi dibanyak institusi pendidikan termasuk di sekolah negeri, universitas, sekolah teologi.
Untuk kasus di Jombang dimana tersangkanya merupakan anak dari pendiri pesantren. Yang menarik adalah MSA ini sudah dijadikan tersangka sejak tahun 2020. Tapi dugaannya sendiri sudah muncul sejak tahun 2017. Ada lima santri yang mengadukan perbuatan asusila yang dilakukan oleh tersangka di tahun 2017. Tahun 2020 sudah dilakukan proses pemanggilan tapi terus mangkir tapi polisi dinilai terlalu lamban. Sehingga kasus ini baru mendapatkan perhatian publik saat ini.
Tapi jangan sampai kasus-kasus seperti ini yang sebetulnya dilakukan oleh oknum tapi dijadikan bahan kriminalisasi kepada pesantren. Dan untuk kasus di Jombang ini pelakunya bukan pemilik atau pendiri pesantren melainkan anaknya. Dan hari diingat bahwa orang yang taat belum tentu mempunyai anak yang taat, hal ini juga terjadi seperti halnya kepada nabi Nuh yang anaknya tidak mau taat.
Dalam konteks pesantren harus ada pengawasan yang ketat yang memisahkan antara laki-laki dengan perempuan. Tenaga pengajar pun disediakan khusus ustazah untuk santriwati dan ustaz untuk santi laki-laki. Dengan demikian menghindari celah terjadinya pelecehan seksual seperti pada kasus di atas. Adapun interaksi dengan lawan jenis antara ustaz dengan santriwati hanya untuk kelas besar yang tidak dihadiri oleh banyak murid.
Berikutnya di institusi pendidikan harus dikembangkan semangat egaliter. Artinya harus ada pengawasan, baik kepada murid ataupun kepada guru. Harus ada mekanisme dilembaga pendidikan untuk melaporkan jika terjadi pelecehan seksual. Sistem pengawasan ini harus independen dimana korban harus dilindungi dan pelaku diberikan sangsi yang seberat-beratnya. Hal ini dapat meminimalisir kasus-kasus semacam ini.
Untuk kasus di Jombang ini jika ada unsur kelalaian dari pihak lembaga tentunya lembaga juga harus ikut bertanggungjawab karena tidak melakukan pengawasan sehingga terjadi kasus pencabulan ini. Artinya bukan hanya pelaku yang diberi tindakan tapi juga institusi harus juga bertanggungjawab sehingga terjadi lagi hal semacam ini karena ada efek jera. Jadi jika lembaga ini dicabut ijinnya adalah sebuah kewajaran.
Tapi bukan berarti kegiatan pendidikannya tidak bisa berjalan. Bisa menggunakan nama lain ataupun bekerja sama dengan institusi lain. Aset lembaga tetap bisa dipergunakan untuk lembaga pendidikan di bawah pengelola baru ataupun di bawah nama lembaga yang baru.
Dan masyarakat tidak boleh menstigma bahwa pesantren adalah tempat terjadinya pelecehan-pelecehan asusila semacam ini. Ini terjadi di berbagai lembaga pendidikan yang dilakukan oleh oknum.
0 Comments