Solilokui Minimi

Oct 24, 2021 | Puisi

Ketika kembara selewat pagi mengajakku berdialog tentang zaman dan adab yang membujur kaku sudah
Dawai gitarku menjawab pelan dan hening, dentingnya terdengar sampai ke istana yang muak.

Lengkingan melodiku masih beruntung agaknya
Tak tercemar sampah dusta berbungkus kembang setaman
Apa yang kau bawa ke arah sana kawan, hingga aromanya jadi amis tak karuan.
Maunya harap jadi gagap, maunya tawa jadi duka

Tapi dawai gitarku masih juga menyanyikan lagu cinta
Cinta dalam hati, merana dalam diri, mati dalam sunyi
Demikian syair syair lagu bujang tua…
Dan tak lupa bernyanyi tentang mereka yang kekenyangan
Tentang makanan Jepang…
China, Arab atau India

Atau sambalado khas Minang di mana kita saling menyantap penuh nafsu dan angkara lalu santapan kita dihabisi oleh liur orang orang lapar dari sudut jalan menyeringai kalut memandang hidangan nikmat dari surga.
Surga orang orang calon penghuni siksa

Aku pun menemani gitarku bernyanyi teriakkan lagu rossa rossa
Tentang dosaku pada Sissi dan Ismutia, juga Ruth
Terjengkang tertawa laknat sana sini menabur petaka
Mana lagi mangsa yang kurampok semasa muda

Aiiiiiihh…., ada makhluk aneh di sudut utara
Menatapku penuh sorot mesra
Dan anggun…
Entah darimana datangnya sorot itu, apakah pancaran bola mata serigala
Atau hewan buas piranha …
Siap melumat tulang dan dagingku, tulangmu kawan, juga tulang-tulang yang bertualang di gedung angkuh paripurna.

Konyol sekali kisah cinta kita yang disenandungkan dawai dawai putus ini…
Bergurindam dua belas tambah dua puluh empat stanza
Genit melenggak lenggok bagai putri salju
Mampuslah mereka yang tertipu oleh malam malam jahanam pembawa robeknya jiwa
Karena mereka tak mampu berlaku ucap jujur bagai para nabi.

Zeth, Mari sini kita berbincang tentang perut yang telah maju menuju pusara.
Monumen keserakahan kecil bukti kita tak mampu berbicara dengan diri kita sendiri.
Ironis, padahal setiap saat, menit, waktu, kita berbincang dalam bisu dengan gawai dan surat kabar yang hampir mati.
Tapi kebanyakan kita tak lagi pandai memelihara kesantunan peradaban lisan.
Kita jadi makhluk makhluk aneh dengan kepala tertunduk, berjalan ke sana kemari atau duduk, atau berdiri mematung tetapi tetap dengan kepala tertunduk.
Kita jadi spesies paling aneh di semesta alam ini, sementara hewan pun masih bebas meraung, menerkam-mengejar dan berkomunikasi dengan sesamanya dalam Bahasa yang tidak kita mengerti.
Tapi hewan tidak duduk, tegak mematung atau Ngariung berkeliling dengan kepala tetap tunduk di tengah kebisuan.
Sementara kita kehilangan strategi kebudayaan untuk mengembalikan kehidupan.

Ruth, kamu yang paling tenang ketika kuajak berdiskusi
Tidak seperti Sissi yang maunya bergelinjangan, atau Ismutia yang rada gila.
Ruth, jawab aku. Zaman apa ini. Dirimu paling suka menerangkan dengan sedikit berfilsafat ala sekolah minggu.
Zaman ini, zaman Kala katamu, Kadangkala gila kadangkala waras. Tapi yang mampu menerangkan selanjutnya adalah orang lupa ingatan selewat tadi. Karena diapun tetap sejuk, tak soal bumi mau pecah sekalipun. Aku ingin sejuk seperti dia, katamu.
Lalu kuberi engkau Ruth, sekuntum mawar merah, tanda kasihku…
Agar drama ini segera berakhir, sudah barang tentu…

Yogyakarta, 24 Oktober 2021

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This