Shinta

Aug 21, 2021 | Cerpen

Visits: 0

Telah lama didengarnya dari penduduk kampung, tentang putri cantik yang maujud tengah malam di atas pentas gedung kesenian remaja di kampung Anjaikulon. Aroma harum menyengat kadang muncul, hingga penduduk tak berani lewat di depan bangunan yang telah 30 an tahun berdiri.

Arek, pemuda kelahiran Wadasasri, kampung tetangga Anjaikulon, setiap malam juga mencium aroma harum misterius yang muncul dari dalam gedung pertunjukan. Beberapa pemuda selewat minggu lalu pernah mencoba memasuki gedung, namun segera terbirit-birit begitu mendengar suara memanggil dari dalam. Suara wanita cantik berbusana kraton, yang segera digelari Shinta.

Tak menunggu lama, Arek yang mendengar cerita kawanan pemuda tersebut segera menyiapkan diri hendak pula mencari tahu apa gerangan sosok yang jadi perbincangan terkini. Beberapa rapal rajah warisan dari eyang guru di Batusangkar, segera dihapalkan kembali. Rajah Datuk, perlindungan diri dari makhluk halus dan jin. Bisa digunakan untuk hal-hal mendesak.

Hari menjelang tengah malam ketika Arek sampai di muka gedung remaja. Angin malam agak kencang mengibas wajah tirus Arek. Dingin disertai gerimis, terasa agak menusuk-nusuk nyali. Untung ada kain sarung melilit di pinggangnya. Dibacanya rajah anti jin dan setan, berkomat kamit seperti anak kecil tergigit cabe rawit. Perlahan didekatinya pintu gedung pertunjukan yang segera terbuka karena tidak dikunci. Bau wangi semerbak yang misterius segera menyeruak hidung. Irman si penjaga gedung, sudah lebih dulu “ngacir” minggu lalu.

“Hai setan bianglala segala jin, kubersumpah akan kuremukkan dirimu dengan rapal suci!” gumam Arek mencoba menguatkan batin. Namun tak pelak, terbersit kengerian mencekam. Sanubarinya terlanjur kering, Arek mulai menelan ludah, terus membaca rajah seribu langkah-seribu perisai Tuanku Misai. Biasanya rajah ini dulu di kampung ampuh mengusir segala biang jin.

Baru satu langkah ke depan dari pintu masuk teater remaja, langkah Arek terhenti. Lututnya terasa bergetar runtuh. Rapal rajah tak sanggup lagi diucap. Nun…di atas panggung teater berdiri tegak sesosok wanita cantik bermahkota, berbusana hijau mirip putri Raja Jawa atau Sunda. Anggun mempesona. Tetapi mata sosok itu menatap tajam ke arah Arek disertai semburat bau harum semerbak. Amat kontras di tengah panggung bernuansa gelap. Hanya ada setitik lampu kecil di atas layar background teater.

Kaki Arek serasa berat. Hendak balik kanan untuk “kabur”… aneh, tak bisa. Dalam kepanikan, Arek berteriak tergagap,”Assalamualaikum Shintaaaa…!”. Arek malah tanpa sadar mengucapkan salam disertai panggilan Shinta. Nama Shinta diketahuinya dari gosip kampung yang menyebut nama sosok wanita cantik di teater remaja. Legenda kampung Anjaikulon berbilang abad, tentang putri yang hilang pada abad Pajajaran.

Lebih aneh lagi, Arek merasa tertarik-terhisap untuk melangkah ke arah panggung. Seolah tangan halus Shinta menariknya mendekat. Tanpa dia sadari, kakinya ajaib melangkah perlahan meski berat, bergeser terus saja terseret ke arah depan panggung. Mata Arek menoleh kiri kanan teater. Luasnya area teater dan kursi penonton, tidak mampu membuat Arek menggapai kursi tuk sekadar bertahan dari hisapan magis Shinta. Arek terus saja melangkah berat ke depan. Mulutnya serasa terkunci. Rapal rajah Tuanku Misai, punah sudah.

Tiba di depan Shinta, tak sadar Arek naik ke panggung, Masya Allah, Arek bergumam dalam hati. “Cantik benar ini cewek!” celetuk Arek sempat-sempatnya membatin nakal. Wajah Shinta begitu anggun, campuran ras Eropa dan Asia Timur. Sungguh menawan. Mahkota berkilau, barangkali terdiri dari beberapa puluh berlian nan rancak. Busananya betul-betul busana masa lalu. Harumnya ya Tuhan, membatin lagi Arek. Belum pernah diciumya semerbak harum seperti itu seumur hidup. Berkulit putih dan berhidung bangir.

Arek tak kuasa menolak daya tarik luar biasa ratu masa lalu ini. Tak bisa lagi berpikir. Masih tak sadar, Arek malah mengelilingi tubuh sang ratu. Samping kiri, ke belakang, dengan bahu terbuka nan minta ampun mulusnya, lalu kembali lagi tiba ke hadapan wajah Shinta. Nafas Arek memburu cepat, dada bergemuruh amat takut. “Sampai di sini rupaya umurku,” pikir Arek. Teringat kisah-kisah film horor mandarin, tentang hantu yang dapat mencekik mati korban. Kaki Arek serasa tidak lagi menginjak bumi. Ringan melayang bak kapas.

Menanti apa yang akan dilakukan sang ratu, mata Arek dan mata Ratu saling bersitatap. Tajam menyengat, menusuk jantung. Belum pernah Arek merasa se “jireh” ini. Meski dia dikenal paling pemberani di kampung.

Lalu tiba-tiba mata Shinta mendadak ramah perlahan. Ada senyum tipis di bibirnya yang mungil dan merah. Tangan Shinta terlihat mengambil sesuatu dari balik kain emas yang melilit pinggang rampingnya. Rambut hitam terpelihara terurai, lurus jatuh ke punggung. Ada tusuk konde emas terpasang di kepala belakang.

“Kang Arek, punten. Abdi teu nyaho kumaha. Iyeuh aya Rheumason cap Macan hiji, tolong pijit belakang punggungku. Selama ini aku tuh mencari-cari siapa yang bisa memijit punggungku yang masuk angin, ceuk nah…!” Shinta berucap perlahan sambil menunduk di hadapan Arek.

Arek merasa kontan dunia seisinya gelap. Tak sadar tubuh Arek terhuyung rubuh ke samping Shinta. (017)

Baca Juga

1 Comment
  1. Hasan Ridwan

    Mantap Mas Pril. Terima kasih inspirasinya

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This