Aroma laut mencengkeram kuat tanpa kusadari. Kemana pun kucoba menjauh kau menghampiriku masuk jauh ke alam bawah sadarku. Aku selalu jatuh cinta pada laut. Tempat pelarian yang sempurna. Asinnya air laut membasuh luka yang perih semakin perih tapi menyembuhkan. Ajaib kurasa. Dan air mata yang menetes akan cepat mengering terbawa angin laut bercampur dengan asinnya air laut. Bukan hanya air mataku tapi juga air mata orang-orang yang sengaja datang menemui laut. Mereka mengatakan menyukai sunset yang dipeluk lautan.
Indah.Menakjubkan. Padahal, hanya pelarian untuk menutupi lubang yang bersemayam di hati mereka. Takut ? Ya. Kebanyakan mereka takut mengakui kekalahan, keterpurukan, atau hancurnya hidup mereka. Mereka berusaha mencari kekuatan pada tegarnya lautan. Seperti diriku dan perempuan ini.
Di tepian pantai aku bersua dengan sepasang mata indah yang kesepian entah oleh apa. Dia duduk memandang laut hingga batas cakrawala. Jika bisa menetap lebih jauh lagi Ia akan diam di sana menulis segala sepi yang Ia tanggung. Aku hanya melihat selintas dari papan seluncur yang mengapung di tengah laut menopang tubuhku. Aku berada di dunia kebebasanku. Perempuan itu masih di sana. Bertahan dengan pikiran kosongnya yang tak berudara dan tak bersuara. Kosong.
Kukayuh papan selanjar menuju tepian. Matanya masih tak berubah. Kosong. Entahlah, lukisan apa yang dia buat dalam ruang hampa tak berjendela di labirin hati yang berlipat. Tiba-tiba ia berteriak panik, sembari berlari berjingkat mengejar sesuatu.
“sepatuku.. sepatu kesayanganku.”
Kakinya menari-nari di atas pasir pantai berusaha menghindari ombak yang datang. Kulihat sebuah sepatu berwarna perak dengan hiasan beraneka batu cantik berkilauan terombang ambing dibawa ombak menuju ke tengah laut. Reflek aku menceburkan diri menembus ombak menyelamatkan sepatu yang sendirian berjuang. Kuraih dengan satu tangan dan segera kubawa kepada gadis bermata indah yang kesepian.
“Terimakasih sudah menyelamatkannya.”
Bergetar tangannya menerima satu buah sepatu yang aku beri.
“Di mana pasangannya?” tanyanya pada diri sendiri sekaligus kepada diriku.
“Entahlah, mungkin dia sedang mencari pasangan yang lain,” jawabku sekenanya. Berlalu sambil membawa papan selancar menuju cafe yang berada tepat di pinggir pantai.
“Dia tidak seperti itu. Dia yang paling setia,” berteriak kepadaku dengan emosi. Kulihat ia berjalan ke pinggir pantai berlari tak tentu arah. Mencari sebuah sepatu yang hilang. Pasangan sepatu yang hanyut dan terselamatkan.
Hingga senja datang aku masih melihatnya berjalan pelan. Sangat pelan, seperti gerakan terpatah-patah. Dia mulai meliukkan badannya. Kedua tangannya menari di udara. Matanya terpejam. Kakinya bergerak berputar-putar mengimbangi liukkan tubuh mungilnya. Iramanya mengikuti deburan ombak. Rambutnya hitam terurai menari tertiup angin. Selama sekian detik aku terpesona. Lukisan indah yang bergerak emosional. Kucoba terjemahkan apa yang Ia luapkan. Seperti membaca sebuah novel, begitu runtut cerita yang ia sampaikan, walau hanya dengan tarian yang terbata-bata. Genap sudah ku terjemahkan apa yang kulihat dan kurasakan. Benarlah adanya. Ada ikatan yang teramat kuat dengan sepatu yang Ia cari. Kesetiaan yang tiada bernama telah menemani perempuan itu melewati masa terang dan gelap.
Tiba-tiba terasa ada yang menusuk dan merobek hatiku. Nyeri. Panas menjalar di kedua mataku. Apa yang terjadi denganku? Suara hatiku berdenting memecah gumpalan kegamangan. Saat aku sibuk dengan hatiku, kulihat tubuhnya semakin mengabur. Hanya siluet tubuhnya yang meliuk-liuk menari bersama penopang jiwanya. Dan aku hanya terpaku melihat lambaian tangannya yang timbul tenggelam dalam rengkuhan lautan. Menjemput pasangan jiwanya.
0 Comments