Sembuh

Aug 14, 2021 | Cerpen

Berisiknya isi kepala kerap kali mendorongku untuk membenturkannya pada tembok kamar di hadapanku. Rasa lelah yang tak tak pernah hilang membawaku untuk kembali berbaring seraya menatap dinding-dinding kamar dengan tatapan kosong, detak jam dinding yang berbunyi membuat gaduh perasaanku seakan-akan aku membenci datangnya pagi. Aku mengantuk, aku ingin terlelap namun pikiranku menyudutkanku membayangkan hal-hal yang membahagiakan dalam hidup. Sampai aku merasa angan semu lebih membahagiakan dibanding kenyataan. Begitulah aku hidup saat ini.

Sudah seminggu berlalu paska perceraian kedua orangtuaku. Aku masih belum dapat menerima kenyataan yang terjadi, masalah yang menimpaku dan juga keluargaku. Aku hanya ingin bilang, “Tuhan, ini terlalu berat buatku. Sudahi, atau ganti dengan yang lebih mudah untuk kulalui”. Karena tak pernah ada yang menginginkan hidup sebagai anak broken home. Namun, hari demi hari telah berlalu dan kehidupan masih terus berlanjut. Aku hidup bukan untuk masa lalu. Tapi untuk masa kini dan masa yang akan datang. Maka setiap hari yang kulalui terpaksa kujalani dengan senyuman.

Aku merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Aku bernama Ayu. Ibuku sebagai Ibu rumah tangga dan Ayahku sebagai pengusaha. Dulu keluarga kami sangat harmonis, bahkan tak jarang membuat iri tetangga, membuat orang lain berusaha menjadi seperti kita. Namun setelah Ayahku berhubungan dekat dengan wanita lain, keluargaku hancur berantakan. Ayah meninggalkan Ibu, aku dan adik. Menyedihkan memang, seseorang yang tak pernah ku sangka akan menyakitiku dengan cara yang sangat tidak waras, sangat tidak bisa di toleransi.

Dulu aku pernah mendapati cerita kawanku bahwasanya Ayahnya berselingkuh dan Ibunya menjadi sering sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia tak lama setelah sang suami menikah lagi dengan selingkuhannya. Semenjak saat itu aku berjanji kepada diriku sendiri untuk bisa menjaga keutuhan keluarga kecilku, bisa bersama dengan mereka hingga waktu yang lama. Namun tragisnya hal itu terjadi padaku juga. Cerita lama kawanku yang menjadi bagian realita hidupku saat ini. Tetapi aku bisa memastikan Ibuku tidak berakhir sama seperti dalam cerita kawanku. Akan ku pastikan Ibuku dapat bahagia seperti sedia kala, seperti sebelum hatinya hancur menjadi kepingan yang tak bisa disatukan. Akan kuberikan seluruh hatiku jika bisa, untuk menggantikan kepingan yang telah hancur itu.

Aku harus tegar, aku harus menguatkan dan tidak tinggal diam. Ayahku pergi tanpa memberitahu keberadaannya sampai detik ini. Sebagai anak pertama aku harus mencari cara untuk bisa menghidupi Ibu dan adikku yang belum berpenghasilan. Langkah pertama yang aku ambil adalah menjual buras beserta gorengan pendampingnya. Aku berjualan di sekolahku, pada pagi hari banyak yang sudah menantikan daganganku di dalam kelas, tidak hanya dari kalangan teman sekelasku saja, bahkan dari kelas tetangga, kakak kelas pun ikut mengantri untuk membeli daganganku. Sehari aku bisa meraih keuntungan Rp85.000 – Rp105.000. Untuk sekelas dagangan sederhanaku, untung di nominal tersebut sangatlah berarti, aku bisa memberikan uang jajan untuk adik dan uang belanja untuk Ibuku dari hasil daganganku. Setidaknya, aku bisa bertanggungjawab untuk kehidupan mereka yang layak.

Seusai pulang sekolah aku memberanikan diri untuk menanyai toko-toko, rumah makan, butik yang kulalui apakah tersedia lowongan kerja untukku. Namun di setiap tempat yang kutanyai mereka menolakku karena aku masih terbilang belia. Sehingga aku tidak diperbolehkan bekerja. Rasanya sulit memastikan diriku untuk merasa baik-baik saja setelah ditolak di 21 tempat yang berbeda.
Aku pijakkan kakiku pada trotoar dan duduk di pinggir jalan sembari menyantap sebungkus roti yang aku beli. Aku menatap pemandangan sekitar yang sudah berasap akibat polusi kendaraan, pedagang sisi jalan yang berlalu-lalang dan penjual koran yang melambaikan barang dagangannya dan menawarkannya pada setiap orang yang melintas. Mataku tertuju pada si penjual koran tersebut, aku menghampirinya dan menanyainya, “Sore pak, Maaf mengganggu, aku maue tanya, apakah aku bisa ikut berjualan koran juga? Aku sedang butuh pekerjaan sampingan pak”.

Bapak si penjual koran menatapku seperti mengasihaniku dan ia pun mengangguk dan menjawab, “ohhh bisa dek, tapi kerjaannya panas-panasan, nanti kamu item, ga apa-apa?”.
“Wahhh..itu tak masalah pak untuk pekerja keras seperti kita”.

Mulai saat itu aku berjualan koran untuk mengisi waktuku setelah pulang sekolah. Aku mengganti seragam putih abu-abuku dan memakai rompi yang disediakan. Semua yang kulakukan yang tak lain adalah untuk Ibu dan adikku.

Sepulang bekerja aku menghampiri Ibuku di dalam kamar, Ibu sedang menatap foto dibalik bingkai yang masih terus dikenangnya. Foto keluarga yang diabadikan menjadi kenangan yang tak bisa terulang. Layaknya nasi sudah menjadi bubur, segala yang sudah terjadi tak bisa diubah sekalipun memohon sembari menangis darah. Aku memeluk Ibu sembari berkata, “Bu, yang tegar ya jalani semuanya. Jalan kita masih panjang, jangan terhenti hanya karena luka ini”.

Air mata Ibu mengenai pundakku. Mutiara bening itu jatuh dari mata orang yang sangat aku cintai, “Yang sabar juga buat kamu ya nak, maafin Ibu ngerepotin kamu, sekarang yang Ibu punya cuma kamu dan adik”. Aku semakin erat memeluk Ibu dan mulai bercerita tentang yang terjadi hari ini bahwasannya aku bekerja berjualan koran. Awalnya ibu tidak menyetujuinya, namun aku terus meyakinkan Ibu bahwa aku bisa mengerjakan pekerjaan ini dan sangat menyukai pekerjaan ini. Akhirnya Ibu mulai mengizinkanku.

Hari-hari berlalu, Aku dan Ibu mulai disibukkan dengan orderan buras dan gorengan yang saat ini peminatnya hampir semua teman sekolahku, bahkan guru-guruku juga ikut memesan dalam jumlah porsi yang cukup banyak. Ini menjadikan kegiatan bermanfaat untuk Ibu sembari membuatnya lupa akan luka di hatinya dengan menyibukkan diri.

Aku merasa bahwa hari-hari terasa lebih mudah untuk dilalui, karena sejatinya kita hanya perlu berdamai dengan keadaan dan diri sendiri, mampu menerima dan merelakan suatu hal yang sudah tak lagi layak dipertahankan. Aku melihat Ibu sudah mulai bangkit dari keterpurukannya di masa lalu. Ibu memutuskan untuk berjualan buras dan gorengan di depan rumah, rencananya Ibu ingin menambahkan jualannya berupa nasi uduk yang di gemari orang-orang untuk santapan pagi hari. Allhamdulilah atas izin Allah setelah dua minggu berlalu dagangan Ibu sudah mulai ramai, bahkan orang-orang ikut mengantri dengan antrian yang sangat panjang demi menyantap nasi uduk buatan Ibu.

Seusai jam pelajaran berakhir aku bergegas untuk pulang menaruh barang daganganku dan langsung berangkat bekerja berjualan koran di lampu merah simpang empat Matraman, Jakarta Timur. Tak jarang aku juga berjualan di halte busway di mana banyak orang berlalu-lalang untuk naik busway yang melintas dengan arah tujuan tertentu.

Butuh kesabaran ekstra untuk menjual berlembar-lembar kertas berita ini, karena nampaknya semua orang sudah beralih ke teknologi informasi yang lebih canggih lagi. Namun hal ini sama sekali tidak menyurutkan semangatku. Dan ternyata hari ini koranku terjual habis diborong oleh beberapa mahasiswa untuk memenuhi tugas kuliah. Memang benar bahwa rezeki tidak akan kemana selagi kita mampu berusaha dan berdoa. Aku pun bergegas untuk pulang, di perjalanan aku melihat seorang bapak sedang berbaring di jalanan trotoar beralaskan kardus-kardus bekas, wajah yang ditutupi handuk kecil seakan-akan tidak ingin menampaki kesedihannya kepada orang-orang yang melintas. Namun seberapa keras disembunyikannya kesedihan itu, aku tetap bisa merasakan penderitaan bapak ini. Tanpa berfikir panjang aku menghampirinya .

“Permisi pak…,” ucapku, namun bapak ini hanya terdiam.
“Selamat sore pak,” Bapak itu masih belum menjawab.
“Assalamualaikum pak,” masih dengan diamnya sang Bapak, aku langsung menepuk bahu Bapak ini. Namun masih tidak ada jawaban. Sang bapak masih berbaring tak bergerak.
Aku membuka handuk kecil di atas wajah bapak ini, “plakkkk!” suara handuk ku kibaskan ke atas.

Sontak aku berteriak saat melihat wajahnya. Wajah yang sangat familiar, wajah yang sangat tak asing saat kupandang, ternyata dia adalah Ayahku!. Wajahnya pucat seperti kelelahan dan kelaparan.
Ayah nampaknya tak sadarkan diri. Tanpa berfikir panjang aku meminta bantuan kepada orang-orang sekitar untuk membawa Ayahku ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di RSUD Matraman yang tak jauh dari lokasi Ayah ditemukan, Ayah dirujuk ke ruangan IGD untuk mendapatkan pertolongan pertama, Ayah masih belum sadarkan diri. Aku sangat khawatir kepada sosok yang beberapa waktu lalu menjadi alasan patah hati terbesarku. Aku harus mengesampingkan rasa kecewaku demi berharap kesembuhannya. Sampai malam pukul 21.00 WIB, Ayah masih belum sadarkan diri, lalu salah satu suster berjalan ke arahku dan berkata, “Kamu masih disini?”

“Iya Sus, saya menunggu Ayah saya bangun”
“Pasti sebentar lagi Ayah kamu bangun, saran saya kamu bisa pulang dulu buat ganti baju. Nanti boleh kesini lagi,” ucap suster.
“Baik sus, terimakasih,” jawabku.

Sedari tadi aku memang tak terfikirkan rumah. Rasa panik menguasaiku. Tanpa berfikir panjang akupun bergegas pulang. Sampai di rumah, aku sangat gugup untuk memberitahu Ibu bahwasannya Ayah aku temukan sore tadi dalam keadaan tak sadarkan diri di pinggir jalan. Namun Ibu tetap bisa membaca gerak-gerikku.
“Ada apa nak? Kelihatannya kamu gelisah sekali, kenapa? cerita sama ibu,” tutur Ibuku.
“Bu, sore tadi Ayu ketemu…..” aku berhenti berbicara.
“siapa yu? Lanjutin aja ceritanya,”
“Ayu ketemu Ayah, di pinggir jalan,” lanjut ucapku.
“Ya, bagus dong, kamu bisa temu kangen sama Ayahmu”
“Tapi Ayah bu…”
“Iya dia Ayahmu yu”
“Ayah Ayu temui dalam keadaan pingsan bu, dia tergeletak di pinggir jalan beralaskan kardus. Kelihataannya Ayah kelelahan bu, mukanya pucat. Sekarang dia lagi di RSUD Matraman bu”.

Tanpa basa-basi Ibu langsung bergegas pergi ke lokasi Ayah di rawat. Aku mengejar Ibu yang kelihatannya sangat panik dan tak menghiraukan apapun disekitarnya. Sesampai di rumah sakit, Ibu meneteskan air mata dan berdiri di samping Ayah. Aku tahu bahwa Ibu sangat terpukul dan sakit hati. Tapi rasa sakit itu tidak jauh lebih besar dari kasih sayangnya terhadap Ayah, walau talak dan perceraian sudah dijatuhkan. Sudah satu setengah jam berlalu, Ibu masih setia di samping Ayah. Tak lama Ayah mulai sadarkan diri, membuka matanya perlahan dan melihat keadaan sekitar. Saat menoleh ke arah samping Ayah terdiam membisu, terpaku seolah batu besar sedang menghantamnya. Ayah menangis saat melihat Ibu. Aku rasakan mereka sama-sama rindu dan ingin kembali bersatu.

“Maafkan aku ya bu, maafkan aku. Aku memang brengsek, aku salah,” ucap Ayah sambal menatap mata Ibu.
“Sudah aku maafkan, Ayah cepat sembuh, jangan terbaring lemah seperti ini. Kasihan anak-anakmu,” jawab Ibu berlinang air mata. Tampaknya kata maaf saling tersampaikan, damai rasanya melihat kebersamaan itu. Aku tinggalkan mereka berdua di ruangan rawat inap, agar mereka lebih leluasa untuk berbicara segala hal yang ingin diutarakan.

Sembuh tidak datang secara instant, kita tetap harus lalui pemulihannya. Berdasarkan sakit, pilu yang tidak bisa tertahan menjadi obat dari segala rasa sakit yang di rasakan. Terciptanya obat karena ada rasa sakit, terciptanya orang hebat karena pernah melalui masa-masa sulit.

Jakarta, 28 Juli 2021
Widya Ismiriadi

Baca Juga

1 Comment
  1. Rissa

    Alur ceritanya menarik,karena alur cerita ini seperti apa yang pernah aku rasakan.Semangat terus penulis tetap berkarya. Jaya jaya jaya !!!!

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This