Membaca novel genre detektif karya JK Rowling yang disamarkan dengan nama Robert Galbraith – sosok pasangan detektif Cormoran Strike dan Robin – sama asyiknya dengan membaca karya Agatha Christie dan Conan Doyle.
Barusan tuntas membaca Troubled Blood yang mengisahkan upaya membuka kasus pembunuhan belum terpecahkah yang terjadi 40 tahun lalu. Membaca genre model begini, bagus untuk mengasah ketajaman analisis dan bukan saja dengan nalar, tetapi juga dengan rasa pikiran.
Di sini Rowling yang beken dengan serial novel Harry Poter-nya itu, bukan saja imajinatif, novelis biasanya memang berbakat seperti itu. Namun ia juga intuitif. Meskipun hampir semua kisahnya berpusat pada soal modus kejahatan, terutama pembunuhan, namun banyak hal berguna untuk pengalaman hidup.
Seperti dalam menilai perangai atau tabiat seseorang antara tampak luar dan tampak dalamnya yang seringkali menyesatkan. Bagaimana menangani gunungan informasi yang begitu melimpah ruah, namun seringkali gagal memilah mana yang harus dikesampingkan dan disingkirkan. Sehingga karena semua dianggap penting, jadinya malah hanyut dalam informasi.
Lebih dari itu, novel ini relevan dalam membaca aneka kejadian dan peristiwa di negeri kita yang seringkali rumit dan acak kadut. Seringkali yang terkesan tampak luar begitu rumit dan kompleks, sebenarnya sederhana dan tidak berbelit-belit, asal kita bisa menangkap polanya.
Di sinilah Rowling yang seperti juga Doyle dan Christie sebagai orang Inggris, cenderung berkemampuan secara deduktif. Menyimpulkan sesuatu terlebih dahulu ketika menangkap kilatan fakta atau petunjuk yang ganjil atau di luar kelaziman. Baru kemudian pembuktian.
Cormoran Strike yang berpengalaman sebagai mantan penyidik polisi militer, cenderung memulai dari rangkaian fakta-fakta telanjangnya dulu, baru dari setelah itu menyisir berbagai celah kosong yang memungkinkan adanya penyingkapan dari balik fakta kejadian. Jadi cenderung lebih induktif dalam pendekatannya. Meskipun ketika proses itu berhasil dilalui, kerap memantik sudut pandang baru dalam melihat sesuatu yang sebelumnya pun sudah nyata di depan mata dan diketahui.
Robin, drop out dari fakultas psikologi, yang punya passion pada psiko-analisis, mempunyai minat besar dalam menilai tabiat atau perangai orang, amat pas berkutat dalam kerja penyelidikan dan penyidikan. Kecenderungan kuat Robin untuk meminati hal-hal esoterik dan dunia dalam (inner world), nampaknya mewakili jiwa Rowling sendiri yang kalau kita baca serial novelnya Harry Poter, sepertinya menganut pandangan bahwa mitologi adalah ekspresi psikologi kolektif masyarakat pada zamannya. Semacam ekspresi alam bawah sadar masyarakat pada zamannya. Jadi tidak bijak kalau kita sebagai orang modern mengabaikannya sebagai omong kosong belaka.
Strike yang lebih senior daripada Robin, pada dasarnya skeptis dan sinis terhadap soal-soal mitologi yang menurutnya tak lebih dari sekadar dongeng belaka. Namun watak profesionalnya untuk selalu terbuka pada berbagai masukan dan pendekatan, termasuk terbuka pikiran dan hatinya menyelami cara pandang para penyidik yang menangani kasus yang sama 40 tahun silam lewat metode horoskop dan astrologi yang tentunya aneh dan nggak masuk akal. Justru dengan sikap terbuka seperti itulah kasus pembunuhan 40 tahun silam itu akhirnya terbongkar.
Memaknai sesuatu melalui serangkaian kebetulan-kebetulan yang muncul di hadapannya, hanya dimungkinkan ketika kita mau membuka diri pada suatu cara pandang dan cara berpikir yang menurut cara pandang kita yang lazim merupakan hal aneh dan tidak masuk akal atau nalar.
Pesan tersirat dari Troubled Blood cocok dengan yang selama ini menjadi pedoman saya. Pikiran yang tercerahkan mendorong inspirasi, perasaaan yang tercerahkan mendorong imajinasi, dan kehendak yang tercerahkan mendorong intuisi.
Dengan begitu, apa yang disampaikan Strike saya kira ini adalah sudut pandang Rowling yang pesannya coba ia tanamkan pada para pembacanya, bahwa menemukan makna dari sebuah kebetulan, sejatinya bukanlah sebuah kebetulan. Namun sebuah konsekuensi logis dari suatu cara pandang maupun keputusan yang diambil.
Tak heran ketika Rowling berpidato di depan para wisudawan Harvard, mengutip Seneca, penulis Klasik Yunani yang berkata:
“Apa yang diri kita telah capai, akan mengubah realitas di luar.”
Wow! waktu Rowling mengakhiri pidato dengan kutipan Seneca ini mengakui terkejut sendiri. Begitu juga saya. Dari sini saya sadar, siapa tahu apa yang kita perbuat sekecil apapun sekarang, bukan tidak mungkin akan membawa efek yang luas melampaui diri kita sendiri.
0 Comments