Sehari Bersama Mbak Wa

Feb 5, 2023 | Cerpen

Visits: 0

Oleh: Bevi

Akhirnya sampai juga di tempat pertemuan. Entah apa yang membuat aku hari ini ingin sekali bertemu dengan teman-teman yang dulunya adalah aktivis. Tak terasa sudah sekian lama tidak pernah lagi bertemu dengan mereka. Banyak cerita dan kisah yang kami bicarakan. Dan kami juga membicarakan tentang kondisi negeri sekarang ini.

Di tempat pertemuan tersebut, aku bertemu sahabat lamaku, Mbak Wa. Dulu beliau aktif dalam pergerakan. Di sela acara, aku mengajak Mbak Wa mengobrol.

“Mbak, aku besok ikut Mbak, dong?” Tanyaku pada Mbak Wa.

“Aku pingin tahu bagaimana kegiatan, Mbak.”

“Ayo,” jawab Mbak Wa.

“Tapi maaf ya, kegiatanku ini bukan sesuatu yang dapat dibanggakan. Karena aku sekolah nggak tinggi dan tidak punya keahlian lain, seperti Mbak. Ya, kalau menurutku ini adalah yang terbaik yang bisa aku lakukan, daripada minta sama saudara,” tambah Mbak Wa memberikan bayangan kegiatannya.

“Baiklah, Mbak,” jawabku singkat.

Tak terasa acara pun selesai. Kami mulai beranjak membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing. Dari tempat acara ke rumahku memakan waktu sekitar 45 menit perjalanan naik kereta. Dan kebetulan Mbak Wa pulangnya juga searah denganku. Singkat cerita aku pun pergi ke stasiun bersama Mbak Wa menuju Depok.

Ketika dalam kereta, aku melirik Mbak Wa yang duduk di sebelahku. Aku semakin penasaran dengan kegiatan Mbak satu ini. Usianya sudah tidak muda lagi, 60 tahun, single parent. Suaminya sudah meninggal, mempunyai tanggungan satu orang anak yang baru saja wisuda S1.

“Oh ya, selamat ya Mbak atas kelulusan anaknya. Semangatnya itu loh luar biasa, yang usia 40 tahun pun kalah sama Mbak,” kataku pada Mbak Wa.

Dalam perjalanan kami mengobrol ringan mengisi waktu. Tak terasa akhirnya kami sampai di Stasiun Depok. Sambil turun dari kereta, Mbak Wa berpesan kepadaku, “Kalau mau ikut, besok jam empat pagi, ya. Aku tunggu paling lama jam empat lewat lima menit.”

“Hehehe, lumayan pagi ya Mbak,” kataku menimpali.

Kami pun berpisah. Aku melanjutkan perjalanan ke Pancoran Mas.

“Hm, kalau jam empat pagi, dari rumah harus berangkat jam berapa ya?” aku mengira-ngira dalam hati.

“Aah, sudahlah, kalau Mbak Wa bisa, kenapa aku nggak bisa. Aku kan lebih muda walau hanya beberapa tahun saja, hehehe,” ujarku menyemangati diri sendiri.

Sesampainya di rumah aku pun langsung membersihkan badan, beres-beres, dan langsung beranjak tidur. Karena keinginan yang kuat untuk ikut Mbak Wa, sampai-sampai tidurku pun nggak pulas, sebentar-sebentar terbangun. Jam satu terbangun, aku lanjut tidur lagi. Jam dua juga terbangun dan kembali tidur. Akhirnya jam tiga subuh, aku benar-benar bangun.

Setelah mandi, salat dan mempersiapkan semua yang akan dibawa, aku pun berangkat ke stasiun. Hore, akhirnya aku bisa mengalahkan rasa malas keluar pagi dari rumah dan mengikuti perjalanan Mbak Wa.

Pukul 03.45 WIB, aku sampai di Stasiun Depok lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Terlihat satu, dua orang penumpang datang. Tepat pukul 04.00 WIB, Mbak Wa datang dengan wajah semringah.

“Assalamualaikum,” sapa Mbak Wa padaku.

“Waalaikumsalam,” aku pun menjawab salam Mbak Wa.

“Waduh ada yang ketinggalan,” ucap Mbak Wa tiba-tiba ketika dia mau duduk di sebelahku. Langsung ia berjalan cepat keluar stasiun meninggalkanku yang terbengong-bengong melihatnya. Sepuluh menit kemudian aku melihat Mbak Wa di seberang stasiun berjalan ke arahku sambil membawa kantong plastik. Sementara di kejauhan sudah terdengar suara kereta mendekat.

“Mudah-mudahan, Mbak Wa segera sampai. Biar tidak ketinggalan kereta,” gumamku dalam hati.

Alhamdulillah, Mbak Wa tiba tepat waktu, saat kereta sampai.

“Ayo ke sini dekat pintu,” kata Mbak Wa sambil menarik tanganku. Aku pun kaget dan langsung mengikuti ajakan Mbak Wa. Lebih kaget lagi ketika melihat Mbak Wa pegang pintu masuk kereta, rebutan dengan laki-laki. Aku jadi bingung sesaat, karena tidak pernah melihat kondisi seperti itu. Biasanya aku naik kereta teratur, tidak berdesak-desakan. Akhirnya aku pun mengikuti cara Mbak Wa.

Beberapa detik kemudian pintu kereta terbuka. Dengan gesit Mbak Wa langsung masuk dan duduk di kursi, sambil menyisihkan satu kursi lagi untukku di sampingnya dengan cara meletakkan telapak tangannya di kursi kosong tersebut.

Saat kami berdua sudah duduk bersebelahan, ada penumpang yang tadinya merasa disela oleh Mbak Wa ngedumel pada kami. Terjadilah argumentasi antara orang itu dengan Mbak Wa. Ketika saling berargumentasi tersebut, ada bapak-bapak ikut bicara, menasihati kami, “Jangan pegangan di pintu, nanti kalau jatuh bagaimana?” kata si bapak itu. Aku hanya diam saja dan berpikiran bahwa Mbak Wa bakal diam juga, nggak akan menjawab omongan si bapak. Eh, ternyata di luar dugaanku.

“Biarin saja jatuh. Bapak sih yang tadi menghadang aku,” balas Mbak Wa pada bapak tersebut.

Aku kaget mendengar celetuk Mbak Wa. Ternyata Mbak Wa memang terlatih untuk menghadapi siapa pun yang protes terhadap tindakannya. Karena saling jawab antara Mbak Wa dengan bapak tadi, keributan kecil pun terjadi. Untung saja teman si bapak yang duduk di sebelahnya menenangkan si bapak, agar tidak terus berargumen dengan Mbak Wa. Aku pun juga berusaha menenangkan Mbak Wa, dan suasana pun kembali kondusif.

Sesampainya di Stasiun Godangdia, kami langsung menuju musala untuk menunaikan salat subuh. Setelah itu kami melangkah ke luar stasiun untuk melanjutkan perjalanan.

“Nah, itu ada Bajaj,” kata Mbak Wa.

Dengan mempercepat langkah, kami berdua mendatangi Bajaj yang dimaksud. Si Mbak dengan “cerdik” langsung menawar ongkos ke Senen. Sekali tawar, Abang bajaj langsung setuju. Bajaj pun melaju ke tempat tujuan kami, yaitu Pasar Kue Subuh Senen. Di sana ada berbagai macam kue, mulai dari yang murah, sedang hingga yang mahal juga ada.

Dengan akrabnya Mbak Wa mendatangi salah satu lapak di sana. Dia mengambil satu bungkus kue dan melangkah ke lapak yang lain, mengambil satu bungkus kue lagi dan menyimpannya. Sampai ada beberapa lapak penjual kue yang kami datangi. Setiap lapak Mbak Wa selalu mengambil satu bungkus kue. Aku jadi heran, kenapa Mbak Wa tidak membayar kue yang diambilnya? Bagaimana sih prosedur jual beli di sini!?

Bahkan Mbak Wa juga sempat-sempatnya bilang ke penjual, ”Kalau yang ini aku nggak suka, karena kurang enak. Aku ingin yang satu lagi.”

Aku makin penasaran, banyak pertanyaan dalam hati, tapi ya sudahlah nanti saja aku tanyakan ke Mbak Wa. Setelah terkumpul beberapa jenis kue, aku dibawa Mbak Wa ke tempat pengumpul kue-kue yang diambil Mbak Wa tadi. Ternyata kue-kue yang diambil Mbak Wa dibungkus di tempat pengumpul, setelah itu baru terjadi transaksi (pembayaran).

Hebatnya lagi, para penjual kue percaya pada Mbak Wa yang mengambil kue-kue mereka dan dibayar belakangan. Dan kalau kuperhatikan, ternyata semua penjual kue kenal sama Mbak Wa. Bravo Mbak Wa.

Dalam pikiranku, kue-kue yang sudah dibungkus itu akan dijual Mbak Wa lagi ke toko-toko di daerah pusat Jakarta.

Setelah semua kue selesai dibungkus, tiba-tiba ada seorang bapak yang mengambil kue-kue tadi.

“Mbak, kue-kue yang sudah di-packing tadi diambil si bapak itu,” kataku memberitahu Mbak Wa.

“Oh, nggak apa-apa. Itu sopir bajaj langganan, jadi dia sudah tahu barang-barang harus dibawa ke mana,” jawab Mbak Wa santai.

“Masya Allah, Mbak. Hebatnya dikau,” ujarku dengan penuh kagum.

Mbak Wa hanya tersenyum menimpali. Terlihat Mbak Wa memindah-mindahkan kue ke dalam tas-tas tertentu dan ada juga yang dimasukkan ke dalam ransel. Kembali aku keheranan, kenapa Mbak Wa tidak memasukkan kue yang sudah dibungkus ke dalam boks, kenapa ke dalam tas. Tapi ya sudahlah. Mungkin nanti aku akan tahu sendiri. Setelah semua kue dimasukkan dalam tas dan ransel, kami berdua pergi naik bajaj yang disopiri oleh bapak yang mengangkat kue tadi.

Tidak berapa lama kami pun sampai di salah satu rumah sakit. Setelah turun dari bajaj, aku menenteng satu tas berisi kue, sedangkan Mbak Wa membawa ransel dan satu tas dititipkan di luar. Kata Mbak Wa, security marah kalau ketahuan bawa barang ke dalam. Aku menurut saja apa yang diberi tahu Mbak Wa.

Setelah sampai di lingkungan rumah sakit, kami berjalan ke ruang tunggu. Sesampainya di sana, aku disuruh Mbak Wa menunggu, Mbak Wa sendiri kembali keluar mengambil tas yang ditinggalkannya tadi. Tidak berapa lama Mbak Wa pun kembali membawa tas berisi kue. Setelah semua kue terkumpul, barulah Mbak Wa memberitahu bahwa ia jualan kue di rumah sakit itu. Ia berjualan secara terselubung dengan menawari kue-kue tersebut kepada para pengunjung rumah sakit. Dia yang aktif mendatangi para pengunjung satu persatu.

Astagfirullah, aku terdiam melihat cara Mbak Wa berusaha. Sungguh luar biasa, jarang orang yang mau menjalankan usaha seperti itu. Hanya orang yang bernyali dan mempunyai keberanian yang luar biasa yang dapat melakukannya. Karena risikonya cukup tinggi, jika ketahuan sama security sudah pasti mendapatkan sanksi.

“Oh ya Mbak, Mbak kan punya kios di depan. Kenapa nggak jualan di kios Mbak saja?” tanyaku pada Mbak Wa .

“Sudah pernah aku jualan di kios, tapi jual beli sepi. Tidak ada yang mau keluar. Jualan seperti ini omsetnya lebih bagus dan lebih pasti,” jawab Mbak Wa.

“O, gitu ya Mbak. Terus kalau dagangan sebanyak ini, habisnya sampai jam berapa kira-kira, Mbak?” tanyaku lagi.

“Jam dualah,” jawab Mbak Wa singkat.

Waduh, ini baru jam sepuluh pagi aku sudah mulai keder. Bagaimana kalau sampai jam dua siang nanti. Mbak Wa melihat mukaku, tampaknya dia tahu kalau aku gelisah.

“Ya sudah, kalau mau pulang duluan nggak apa-apa kok. Aku nanti saja,,” kata Mbak Wa kepadaku.

“Benaran Mbak, nggak apa-apa?” tanyaku.

“Ya, benaran, pulanglah duluan,” jawab Mbak Wa meyakinkanku.

“Oh ya, nanti kalau ada pertemuan lagi di sekretariat info-info ya,” tambah Mbak Wa.

Mbak…Mbak… masih sempat-sempatnya mikirin buat kemaslahatan.

Mbak Wa, aku malu samamu Mbak. Engkau gigih dalam mencari rezeki yang halal, memiliki hati yang baik bak malaikat. Semoga suatu saat nanti engkau mendapatkan tempat usaha yang layak, yang mempunyai prospek. Agar engkau tidak terlalu capek dalam menjalankan usaha. Barakallah buat Mbak Wa, semoga engkau diberikan kesehatan dan rezeki yang berkah, amin.

Teruslah menjadi orang baik seperti sekarang, Mbak.

Love You Mbak …

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This