Secangkir Kopi Pagi dan Memoar di Basecamp Cetho

by | Jul 11, 2022 | Cerpen

Oleh : Eros Sangaji

Selamat pagi Wukir Mahendra Selamat pagi bumi pertiwi. Selamat pagi senja. Selamat pagi cinta, saharaku. Apa gerangan dan apa kabar wahai Sahara? Perempuan yang aku cinta dalam diam. Perempuan yang membuat anak segara dalam kesunyian. Mengubah pola tidurku. Mendobrak tabir hatiku. Mengetuk jiwa yang amat rapuh dan rindu, aku dalam cinta yang kumiliki.

Ingatkah ketika di atas puncak mangir, batara sriten. Bahwa alam sriten dan keindahannya adalah rasa cintaku yang paling tulus. Tapi dari ketinggian 949 MDPL itu aku sadar bahwa alam sriten, senja dan kamu adalah sesuatu keindahan yang unik yang diciptakan Tuhan untuk rasa cintaku yang tulus.

Engkau mengajarkan aku pahitnya kopi. Engkau mengajarkanku bahwa kebaikan ialah satu tubuh dengan rasa cinta. Engkau mengajarkanku apa itu lelah, sakit dan luka. Engkau mengetuk pola pikir dan prinsip, aku dalam cinta yang kumiliki

Ingatkah engkau ketika di kafe lembayung, waktu itu kau datang dengan raut wajah yang masam, mimik muka tanpa ekspresi senyum di wajah cantikmu. Aku mencoba membacamu dari muka dan mata indahmu tapi kau berpaling mengalihkan wajah. Sempat bertanya apa yang terjadi dan kenapa kau begini, jawabmu hanya, ”Tidak apa-apa”.

Aku tahu kamu punya masalah, tanpa kau menceritakan dengan pahamku mungkin aku bisa menebak. Aku mencoba memberanikan diri untuk merangkulmu, bahumu. Agar engkau merasa tenang dan damai, akan tetapi yang kudapat ialah keberanianku ditepis olehmu. Hanya tersenyum pahit dan meresapi kopi irengmu tanpa gula. Dari situ aku sadar bahwa kopi esensinya pahit dan hawa ampuh untuk meredakan pilu lara di hati manusia.

Waktu terus berjalan tanpa disadari dua sahabatku, dan kamu berpamitan pulang. Aku hanya berkata “Baliklah aku masih duduk di sini.” Dengan alasan kopiku belum habis dan masih terjaga. Dua kawanku balik pulang duluan, hanya tersisa kamu dan aku pada waktu itu.

“Kenapa masih di sini baliklah, pulanglah bersama mereka. Aku masih lama, masih menikmati pahitnya kopi dan indahnya malam”. Engkau bersikeras tidak mau balik, dengan alasan aku masih di kafe kalau aku balik engkau pun juga akan ikut balik pulang.

Aku hanya menjawab, “Oh baiklah, kalau begitu beberapa menit lagi kita balik pulang.” Setelah itu aku hanya mendiamimu dan serius malam itu terasa sunyi hanya kopi, rokok, dan kamu. Tapi, bagiku kalian bertiga ialah kesunyian terbesarku.

“Hey, aku minta maaf atas kelakuanku barusan”. Engkau memulai percakapan memecahkan kesunyian dengan minta maaf. “Maaf, aku kalau ada masalah seperti itu”, sambungmu.

Aku sempat bingung ketika mendengar perkataanmu apa yang salah, ada apa dengan kata maaf. tapi setelah itu aku paham, bahwa permintaan maafmu ialah masalah yang sedang menghantui pikiranku sekitar dua jam yang lalu ketika engkau menepis tanganku. “Oh tidak apa-apa, aku yang salah, yang minta maaf seharusnya aku.”

Tapi engkau menganggap tindakanmu itu adalah salahmu, akan tetapi begitu pun aku tindakan kepekaanku ialah sesuatu berlebihan atau salah di matamu dan aku sadar akan hal itu ketika engkau tidak menerima sentuhan kasih sayang tanganku. Entahlah, yang pasti engkau mengajarkan bahwa pahitnya kopi, rasa cinta, lelah, sakit, dan luka semua itu ialah aliran darah yang mendobrak imajinasi dan tindakanku dikemudian hari.

Engkau membuat aku mengubah cara pandangku terhadap seorang perempuan. Engkau mencuci dan menelanjangi diriku bahwa perempuan juga kuat, sekuat ayah dan secinta ibu. Engkau mengajarkanku bahwa perempuan punya hak untuk menentukan. Engkau mencoba memahamkan bahwa perempuan harus dihormati  

Pikirku seperti itu ketika melihat tingkah lakumu, baik sikap atau tindakan bahwa kau seperti itu yang kupelajari. Hanya bayangmu menari dan menemani dalam pikiranku. Kala itu masih di kafe lembayung, setelah engkau meminta maaf. Aku pikir kita sudah tidak punya hutang lagi di dalam hati. Akan tetapi ada pembicaraan lain lagi dikala kita berdua memutuskan untuk balik sebelum bergegas pulang.

Ingatkah ketika engkau berkata, “Hey, gimana kalau kita buat kesepakatan ketika ada aku dimana pun itu selama ada tubuhku, ada diriku bersamamu. kamu tidak boleh merokok di depanku. Bagaimana?

Aku terdiam cukup lama, bukan aku merasa berat ketika tidak merokok atau ragu. Bagiku merokok itu pilihan, jadi tidak masalah kalau merokok ataupun tidak, itu tergantungku. Hanya saja, apa gerang sampai kita harus buat kesepakatan yang di luar yang kita miliki. Aku dan kamu ialah sesuatu yang belum memasuki portal dunia yang sama. Tapi aku punya pikiran sendiri untuk diriku terhadap orang lain. “Baik…! aku gak akan merokok di depanmu, selama ada dirimu aku tidak merokok.”

“Nah gitu dong, sudah janji ya” kamu berkata sambil tersenyum kepadaku, aku melihat itu dan tanpa kau sadari aku tersenyum balik dalam kegelapan malam “Aku seorang laki memegang omongannya jadi tenang saja, Ayo mari kita balik pulang cantik.”

Jikalau, seandainya, engkau sahara. Wahai yang terhormat perempuanku, rumah cinta bagi anak-anak adam, entahlah. Maafkan aku, dalam pikiranku memperkosa kecantikan wajahmu, harum rambutmu, dan keindahan kelopak matamu. Wahai perempuan yang tak bisa kusentuh dalam genggaman tanganku, Nayanika Arun Zayyana.

Selamat pagi semua.

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This