Jika mereka tak menganggapku sebagai bangkai busuk, hanya tercium segala kebusukan dan menjijikkan, maka aku pun tak akan menganggap mereka serigala. Serigala pemakan bangkai saudara. Hingga akhirat pun akan terus ia bawa baunya.
“Dasar, Omnivora! Bahkan kalian mampu melumat habis hati beserta ampelaku!”
Kalian menyeringai buas bersama muncratan darah dari mulut biadab dan keji. Tak lupa kalian minum darahku hingga kering tubuh ini tinggal tulang belulang. Kupastikan bahwa tak akan ada sisa dari anggota tubuh ini jika telah kau lumat nikmat hingga sari-sarinya.
“Sudah kubilang, bukan, tak akan kubiarkan kau hidup jika segala bentuk keindahan ada padamu,” terkekeh salah satu diantara kalian berlanjut membuang ludah penuh darah dari mulut iblisnya.
“Kenapa kalian begitu benci keindahan?”
Kucoba bertanya meskipun mulutku hampir habis dibuat kalian sepenuh kekejian dan kebiadaban.
“Bedebah!”
Seorang tinggi besar mengataiku seolah tiada bedebah dirinya.
“Hampir mati masih saja bicara kau ini!” lanjutnya santai sambil meneguk segar darah yang mengalir dari selangkanganku.
“Sungguh menjijikkan, Sungguh Iblis!” suaraku masih terdengar meskipun tinggal kakiku saja yang tersisa.
Salah satu dari mereka pun menelan begitu saja kakiku hingga ragaku tak berbekas.
“Hahaha!”
Bahana tawa dari mulut binatang berwujud manusia. Masih jelas terdengar suara buas mereka dalam kemenangan berbau anyir dan menjijikkan.
Apalah daya bagiku yang hanya sebuah kata. Kata penghias di beberapa slogan. Dan di zaman yang sedang menuju penghujung terbenamnya mentari ini tak ada manusia yang benar-benar menyukaiku dengan tulus. Kebanyakan mereka hanya menggunakanku sebagai media pengumpul dana. Dana haram bagi para bedebah bangsa.
Namaku hanyalah simbolis bahwasanya Negeri ini masih ada sekelumit norma dan nurani. Itu saja. Namun pada dasarnya jiwa ragaku telah tercampakkan tanpa rahasia.
Aku kejujuran. Dalam istilah lain aku ketulusan. Ada juga yang menyebutku hati nurani.
0 Comments