Sedari kecil penulis gemar membaca koran, terutama Jawa Pos, karena koran itu yang sering tersedia di rumah. Tentu juga ada bacaan-bacaan lainnya. Penulis berkeinginan di kampungnya ada budaya gemar menenteng literasi, entah itu buku, koran, komik, majalah, kitab dan lain-lain.
Kenapa perasaan ini muncul? Tak lain karena situasi di kampung yang tak mendukung situasi budaya literasi. Otomatis hal yang mestinya sederhana tersebut menjadi dambaan yang seolah mewah banget. Untuk mewujudkan hal sederhana itu ternyata butuh effort yang tak main-main, yakni gerakan. Bukan main.
“Apa pasal, cuma untuk itu saja kok pakai gerakan segala?”
Ya perlu gerakan! Contohnya, bikin Gertanisbuk alias Gerakan Tak Sinis Buku. Tak sinis lihat orang nenteng buku, koran, majalah dan sebagainya di warteg, pos kamling, kafe dan lain-lain.
Situasi di kampung-kampung sampai saat ini masih banyak yang memandang aneh bila ada orang nenteng koran, majalah apalagi buku yang tebal-tebal. Terlebih bila cuma nongkrong di warteg, pos kamling saja pakai nenteng buku segala.
“Sok gaya lu!” Aksioma ini yang berkecamuk di wajah-wajah warga kampung yang belum terbiasa melihat pemandangan tersebut. Bahkan untuk kampung-kampung di kota yang semetropolis Jakarta ini. Yang dulunya penulis kira situasi lota itu tak sama dengan kampung asal penulis, ternyata sama. Ndeso hehehe…
Sampai saat ini penulis rasanya gatal bila jika tak bawa kertas dan pulpen ketika bepergian walau sekedar ke tetangga, masjid, pos kamling. Maka dari itu, penulis terbiasa bawa alat tulis untuk antisipasi bila muncul ide-ide. Ketika ide muncul, alat sudah siap di tangan.
Jika tak lekas ditulis, bisa-bisa ide yang datang bisa hilang. Apalagi kalau tak bawa senjatanya, penulis harus ambil alat tulis di rumah yang meskipun jaraknya dekat. Lebih-lebih harus berpapasan dengan orang, bincang sebentar dan lain sebagainya, bisa hilang ide brilian yang datang.
Sampai-sampai ada pedagang kaki lima di depan Pos Polisi Kayu Awet atau depan LP Salemba Jakarta Pusat nyeletuk pas penulis lewat.
“Mandor bangunan lewat,” ujarnya sinis.
Watak lama penulis yang agak preman hampir tak tertahan. Hampir penulis tampar PKL sinis tersebut. Tapi, jurus ilmu ritual watak penulis terapal sehingga temperamental diri terkendali.
“Sabar sabar sabar ..orang sabar pasti nemu ketan hehehe..”
Itu rapalannya hehe… Syukur-syukur sambil nemu janda berlian nan sopan bin menawan hahaha…
Pada usia remaja penulis kerap liburan ke Bali. Ke Kuta, Legian, Denpasar dan wilayah-wilayah lain di Pulau Dewata tersebut. Sesuai kantong anak remaja, menginapnya di hotel kelas melati. Hotel Tambora Denpasar menjadi favorit murah meriah.
Di beberapa wilayah di Bali tersebut penulis kerap menemukan orang-orang yang hobi bawa buku untuk dibaca di pantai, kafe bahkan di warung-warung kampung. Tak ada mata yang menatap memancarkan aksioma “sok gaya lu”.
Menenteng buku bisa dibilang adalah sebuah ritual. Hobi yang bisa membentuk karakter. Tak ingin ada waktu yang tersia-sia sedikit pun. Waktu yang termanfaatkan secara efektif dan efisien buat belajar otodidak. Masalahnya ritual watak itu harus dimulai sejak usia dini sekali.
Jika masa kecilnya tak hobi baca dan menulis maka jangan harap ketika dewasa muncul selera hobi baca dan tulis bisa langsung terwujud. Pasti rasa malas masih sering menyergap. Karena tak dimulai dari kecil. Namun, masih ada harapan walau harus dengan memeras komitmen seserius-seriusnya dan sekeras-kerasnya.
Ketika kelas 3 SD penulis sampai detik ini ingat pesan Pak Nur, guru yang mewanti-wanti tentang adatnya makan. “Dihabiskan nasinya, nanti nangis lho nasinya jika tak dihabiskan. Kasihan juga pak taninya. Capek-capek nanam padi.” Sampai sekarang penulis kalau makan bersih sekali, jarang tersisa satu upo pun. Upo itu adalah sisa-sisa nasi nempel di bibir atau tersisa di piring.
Pak Nur salah satu guru yang lumayan “nyebelin”. Karena termasuk guru yang keras. Killer, istilah murid-murid sekarang. Maaf pak Nur, mudah-mudahan dalam kondisi sehat lancar rezeki. Bila baca tulisan ini, salam dari muridmu yang lagi berjuang di Jakarta untuk Indonesia jaya. Serius ini. Jangan ketawa hehe..
Artinya adalah ritual watak itu konsepnya harus tepat dan benar serta diajarkan sejak dini.
Walau wanti-wanti datangnya dari guru yang tak favorit tapi pesan bagusnya nancap total di otak murid bocahnya. Frasa “nasinya nangis” sangat menyentak murid kecil. Artinya, pemilihan diksinya memang harus punya daya hentak yang doktriner. Makanya para pendidik usia dini jangan sampai salah diksi ketika mendidik anak didik, terutama yang masih usia bocah. Karena diksi-diksi yang menyentak pikiran itu awet terbawa sampai dewasa.
Termasuk ajaran-ajaran mental kapitalistik dan transaksionis dengan unsur andalannya yakni persaingan. Tak tertutup kemungkinan disemai dari diksi-diksi yang salah kaprah (salah pilih tips yang dikira benar), yang sejatinya malah meluruhkan watak ikhlas dan empatik.
Inilah yang dinamakan ritual watak tersebut. Banyak sekali medianya. Intinya, setiap kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan dengan mental keikhlasan yang sempurna sekali adalah ritual watak .
Termasuk salat, harus khusuk. Bukan salat yang hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Jungkar-jungkir. Wes selesai. Sehingga merasa sudah tak terbebani kewajiban karena sudah jungkar-jungkir tadi. Merasa sudah gugur/selesai kewajibannya. Ritual salatnya cuma sekualitas itu. Tak heran masih banyak para perajin salat masih suka korupsi.
Bagi yang non Muslim ritual salatnya bisa dilakukan dengan media-media yang tersedia dalam ajaran-ajarannya. Dilakukan dengan konsep yang sama yakni konsentrasi happy dan ikhlas.
Sekali lagi perlu ditekankan di sini bahwa pembentukan watak ikhlas, pertarungannya di usia dini. Jika guru dan lingkungan mengajarkan tematik yang salah kaprah maka hasil didik bisa tak sesuai harapan. Watak kita hari ini adalah hasil bentukan pada masa tersebut. Tergantung warna apa yang melukis kita di masa itu itulah wajah kita hari ini.
Rajin, malas, hobi, lebay, tegar, keras, lembek, iri, dengki, humble/luwes, baik, prima, gengsian maupun tidak gengsian, transaksionis, kapitalistik, empati tinggi dan rendah dan lain sebagainya pahatan awalnya dari masa itu. Oleh karena itu mari kita inventarisasi konsep-konsep transaksionis apa saja yang masih lestari hingga hari ini, yang tak tertutup kemungkinan dari situlah embrio minor berasal.
Embrio-embrio yang tanpa sadar menghempaskan akhlak ikhlas kita. Mental pamrih yang berlebihan yang terpupuk tanpa sadar oleh konsep-konsep yang kurang tepat.
Jangan-jangan kita adalah korban dari embrio-embrio tersebut. Sehingga ketika kita marah, iri, dengki, malas, egois, kurang ikhlas dalam berjuang, gila panggung, oportunis dan lain sebagainya, sejatinya adalah sisa-sisa embrio minor yang masih menempel dan memang butuh latihan yang intensif untuk melunturkan seluntur-lunturnya.
Dan kita akan menjadi pribadi-pribadi yang penuh kasih terhadap sesama dan keikhlasan yang tebal dalam menapaki apa pun dalam dinamika kehidupan ini. Termasuk pilihan perjuangan sebagai kritikus yang rawan disalah-pahami dan dicap sebagai pendengki.
Padahal tujuannya adalah mengemban amanah dan doktrin bagus yakni perjuangan harus terorganisir. Salah satu wujud untuk itu adalah harus ada saluran yang bertugas mengingatkan bila ada hal-hal dan kejadian yang tak efektif bagi progres perjuangan.
Poin ritual watak yang terkupas di artikel ini:
1. Ritual nenteng literasi
2. Ritual makan bersih tanpa sisa
3. Ritual dakwah idealisme (pak Nur pada muridnya)
4. Ritual bersabar. Tak jadi nampar PKL. Tepat dalam menggunakan mental beraninya untuk momentum-momentum yang pas dan heroik.
5. Ritual belajar ikhlas
6. Ritual salat khusuk/konsentrasi/ikhlas
7. Sport/merawat jasmani maupun rohani
8. Ritual mengerem laju ego makna-makna pribadi yang tak membawa efektivitas bagi perjuangan.
9. Ritual berani jadi Provos Aktivis dengan tagline andalannya: Jangan Gemar Berebut Makna-Makna Pribadi Dan Golongan.
Jadi, media ritual watak tersedia setiap saat. Jika kita rajin mengelolanya maka karakter ikhlas, heroik, militan, empatik dan simpatik dengan sendirinya akan terbentuk. Ikhlas bukan berarti diam bila ada kezaliman berkecamuk.
Yang tak kalah pentingnya juga adalah dalam berdakwah tentang idealisme jangan takut menepuk air di dulang. Karena sejatinya frasa-frasa kebaikan dikumandangkan juga untuk membasuh muka kita juga agar bersih alias sebagai media introspeksi buat kita semua.
*) artikel ini menerima saran dan kritik serta sharing yang bermutu untuk penyempurnaannya
imr
19/9/2023
Yudha Geminz FA21
0 Comments