“Hai, Cela! Apa kabar?” tanyanya pagi itu saat kami berjumpa kembali di kelas yang sama.
“Baru ketemu kemarin, udah tanyain kabar aja,” gerutuku sambil mengeluarkan buku catatan untuk mata kuliah hari ini.
Aprilio, nama lelaki yang duduk di bangku sebelahku. Wajahnya yang tampan membuat wanita mana pun menyukai dirinya. Aku pun sempat tertarik padanya, jika saja ia tidak menyebalkan dengan terus memberi perhatian setiap hari.
“Terus, harusnya tanya apa, dong?” goda Aprilio sambil menatapku dengan mata elangnya.
Meski bibirnya tersenyum, tetapi mata Aprilio seolah menembus ke dalam jantungku. Saat aku meliriknya tepat sesuai dugaan, jantung ini seolah berhenti sekian detik.
“Selamat pagi! Ayo, kita awali perkuliahan hari ini lebih awal!” Dosen yang satu ini memang beda. Jika yang lain menyapa setelah siap di depan kelas, tetapi tidak dengannya. Beliau menyapa sambil melangkah ke bangku tempatnya biasa duduk.
Aku merasa terselamatkan oleh kehadiran Pak Norman, dosen yang sangat cuek, tetapi memiliki karisma tersendiri. Seolah seluruh mahasiswa di kelas ini mudah takluk jika berhadapan dengannya.
Usia Pak Norman sekitar tiga puluh, mungkin lebih. Namun, ia masih sendiri dan membuat beberapa mahasiswa membicarakannya. Padahal wajah Pak Norman sangat tampan dengan tubuh atletis bagai binaragawan. Ditambah dengan penampilan kacamatanya yang trendi, menambah ketampanan dan karisma Pak Norman.
“Gue yakin, si Nonor itu gay! Coba liat cara doi jalan, persis kayak gay di pinggir jalan,” Aprilio berbisik di telingaku, membicarakan Pak Norman dengan julukannya.
“Hush! Nanti orangnya denger!” Aku pun mulai mengabaikan ucapan Aprilio berikutnya dan fokus pada penjelasan sang dosen berkarisma di depan.
Waktu pun berlalu, selesai mengikuti beberapa mata kuliah hari ini, aku bersiap untuk pulang. Namun, Aprilio menarik tanganku ke sebuah ruangan agak redup.
“Mau ngapain?”
“Diam, Cel! Loe harus liat ini!” Aku pun mengikuti arahan Aprilio yang mengendap-endap dan mengintip pada sebuah ruangan kecil di belakang kelas.
Suasana kampus mulai sepi kembali setelah beberapa mahasiswa pulang, tetapi ada juga yang masih melanjutkan perkuliahan tambahan.
Di dalam ruangan kecil itu, terlihat dua orang pria sedang berdiri membelakangi kami. Salah satunya mulai berbicara dengan suara berat dan tegas, sedangkan pria yang lain hanya mengangguk. Kemudian, kulihat Pak Norman menyentuh pundak pria di sebelahnya dan mereka saling bertatapan.
“Udahan, yuk! Geli gue liatnya. Hiiiyyy!” Aku segera meninggalkan Aprilio yang tetap di tempatnya mengintip tadi.
“Loe syok, ya? Gue sering liat doi begitu ke mahasiswa lain. Jadi, udah biasa, malah…,” ucap Aprilio tanpa kudengar kelanjutannya.
***
Dua hari setelah kejadian itu, aku tidak melihat Aprilio datang ke kampus. Ia absen di setiap perkuliahan. Aku mencoba menghubunginya, tetapi tak pernah tersambung. Seolah Aprilio menghilang tanpa jejak.
“Cel! Loe cariin si ganteng juga? Gue kira loe cuek aja,” Sonia, teman satu kelas kami melihatku dengan wajah meremehkan.
“Dia enggak ngabarin loe, Son?” tanyaku. Sonia hanya mengangkat bahu sambil berlalu.
“Aprilio ngilang ditelan bumi, Cel!” seru Nabil mendekatiku. Wajahnya tetap tenang walau mungkin Nabil menyimpan rasa panik sepertiku.
“Kok loe ngomong gitu, Bil? Emang dia enggak ada di mana-mana, ya?” selidikku sambil menatap Nabil.
“Dia kena jebakan maut!” bisik Nabil dengan hati-hati. Kepalanya menengok ke berbagai arah. Seolah khawatir ada yang mendengar ucapannya.
Aku terkejut dengan bisikan Nabil tersebut. Siapa kiranya yang menjebak Aprilio? Apa untungnya menjebak dia? Nabil memberi sebuah kertas lusuh ke genggaman tanganku. Mataku masih terus menatap Nabil, kali ini penuh tanya.
“Baca aja! Nanti kamu tau sendiri maksudku tadi,” ungkap Nabil kemudian berlalu.
Aku pun mengikuti perilaku Nabil yang penuh kehati-hatian tersebut. Kertas yang Nabil berikan sebelumnya, kusimpan di dalam saku celana. Aku segera kembali ke kelas untuk mengikuti jadwal kuliah terakhir hari ini.
Sepanjang perkuliahan, pikiranku terpaku pada kertas lusuh tersebut. Apa isinya? Di mana Aprilio sebenarnya? Kenapa harus serba misterius seperti ini?
“Cela! Coba jelaskan apa yang tadi temanmu paparkan bersama timnya!” Pak Norman menatapku tajam.
Ah, aku lupa. Saat ini aku sedang di kelas Pak Norman yang cukup tegas jika ada mahasiswanya kurang fokus memperhatikan. Entah bagaimana, mendadak sebuah dering alarm di kepalaku seolah berbunyi. Bagai memberi isyarat atas ketidakhadiran Aprilio.
Kujelaskan beberapa poin penting yang sempat dicatat dengan sedikit gugup. Mataku terkunci di tatapan Pak Norman, dosen yang Aprilio curigai memiliki kecenderungan terhadap sesama jenis. Selesai dari penjelasanku, tatapan Pak Norman masih terasa intens. Hingga akhirnya sebuah ketukan di pintu kelas membuyarkan suasana tegang di antara kami.
Seorang Office Boy membisikkan sesuatu pada Pak Norman yang segera pamit pada kami, para mahasiswanya. Seketika tubuhku merasa rileks kembali. Saat beberapa teman keluar kelas mendahului, aku membuka kertas lusuh tersebut di kolong meja.
*Jangan pernah berurusan dengan N*n*r! Bahaya!*
Begitu isi tulisan dalam kertas lusuh tersebut yang semakin membuatku penasaran. Ada apa sebenarnya dengan Pak Norman dan Aprilio? Bukankah terakhir kali kami mengintip Pak Norman, Aprilio pulang bersamaku?
Tiba-tiba ingatanku kembali pada waktu kami berada di sebuah ruangan kecil, di belakang kelas. Aku segera berlari keluar kelas menuju ruangan tersebut untuk mengecek keberadaan Aprilio. Ada kemungkinan, dia disekap oleh seseorang di sana. Entah Pak Norman atau orang lain yang bersamanya saat itu.
“Bil! Temenin, yuk!” panggilku ke Nabil yang kebetulan lewat depan kelas.
Nabil tidak menjawab, hanya menuruti permintaanku tanpa suara. Dia pun tidak bertanya, hanya terus mengikuti. Hingga kami tiba di depan ruangan kecil, tempat yang pernah kulihat bersama Aprilio.
Tiba-tiba Nabil memegang tanganku, seolah mencegah untuk membuka pintunya. Aku pun jelaskan pikiran yang sempat terlintas.
“Justru itu semakin bahaya, Cel. Lebih baik kita liat dari jauh dulu,” saran Nabil.
Namun, tekadku tidak mudah goyah. Sambil mengatai Nabil ‘cemen’, kubuka pintu ruangan tersebut dengan suara berderit sangat kencang.
“Surprise!” teriak beberapa orang di dalam ruangan tersebut.
“Apa-apaan ini!” pekikku sambil melihat semua wajah di sana, termasuk Aprilio, Pak Norman, dan OB tadi.
Aprilio menghampiriku dan berlutut. Tangannya mengulur ke hadapanku dengan sebuah cincin yang tersimpan manis di tempat berbentuk hati.
“Maafin aku, Cel. Aku cuma bisa mikirin cara ini. Barangkali kamu bakal kangen dan cariin aku. Ternyata, caraku berhasil, walau harus libatin Pak Norman juga,” tutur Aprilio.
Aku masih melongo dan tidak mampu memahami maksud perkataan Aprilio.
“Jadi, walau kamu udah nolak aku ribuan kali, hati ini masih tertuju pada satu nama, yaitu Cela. Dan siapa yang sangka kamu bakal kangen dan cariin aku juga. Padahal aku udah mau nyerah, kalau bukan saran dari Pak Norman, dan Nabil. Rupanya mereka berdua lebih mengenalmu daripada aku. Kata mereka, kamu orangnya nekat kalau udah yakin sama perasaan sendiri.”
Riuh suara teriakan ‘terima’ terdengar dari dalam dan luar ruangan, setelah Aprilio menjelaskan. Beberapa teman dan mahasiswa lain yang mungkin tanpa sengaja melihat, turut mengipasi Aprilio.
“Aku juga udah janji. Aku akan nyatakan perasaan ini dan kalau kamu oke, kita bisa jadi sepasang kekasih, Cel.”
Mendadak air mataku turun tanpa diminta. Aku terharu. Tak menyangka Aprilio menyiapkan semua meski harus membuatku merasa khawatir. Memang betul apa yang Aprilio katakan, bahwa aku merasa sedikit kehilangan. Akan tetapi, rasaku ini bukan untuknya.
“Maaf, Lio. Kamu terpaksa harus kecewa, karena aku punya rasa pada sosok lain,” ungkapku sambil menatap sosok berkacamata penuh karisma yang selama ini terus membayangi hari-hari dan menambah semangat.
Nida Basyariyyah
0 Comments