Purna yang Tak Pernah Sirna

Aug 18, 2021 | Cerpen

Kemerdekaan Indonesia selalu diperingati pada 17 Agustus oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai rasa cinta pada tanah air dan juga sebagai penghormatan kepada seluruh pejuang yang telah gugur demi memperjuangkan bangsa. Hari kemerdekaan identik dengan perayaan meriah yang diadakan di setiap lingkungan warga sekitar, seperti perlombaan, pentas seni, pertunjukan yang menarik, bagi-bagi hadiah dan masih banyak lagi. Hal ini memicu antusias masyarakat untuk menyambut dan memeriahkan hari kemerdekaan. Hari dimana banyak senyum dan tawa bahagia yang terlukis di wajah setiap insan yang tinggal di negara seribu pulau ini.

Namun berbeda halnya dengan kakek purnawirawan ini, seorang veteran atau pejuang yang pernah turut memerdekakan Indonesia, ia bernama Sukiman. Sosok yang tak pernah letih berjuang bahkan hingga usianya 110 tahun. Ia selalu terlihat gundah saat menyambut hari kemerdekaan. Entah perasaan apa yang ia sembunyikan, ia tetap tidak mau bercerita tentang apa yang dirasakan. Sukiman tinggal di Desa Sabiano, Sulawesi Tenggara. Ia tinggal di rumah sederhana bersama istrinya Tursinah dan anak bungsunya bernama Rina. Tursinah di diagnosis menderita diabetes sejak sembilan tahun yang lalu, hingga saat ini Sukiman masih tetap setia berada disamping sang istri untuk tetap merawatnya.

Hari kemerdekaan tinggal beberapa hari lagi, terlihat banyak warga yang sudah memasang bendera merah-putih beserta dekorasi lainnya untuk di pasang di depan rumah mereka masing-masing dan disetiap jalanan. Namun berbeda halnya dengan warga desa Sabiano tempat Pak Sukiman tinggal, sama sekali tidak terlihat antusias menyambut hari kemerdakaan Indonesia, hal itu terlihat dari tidak adanya bendera atau dekorasi kemerdekaan yang terpasang di depan rumah masing-masing warga dan sepanjang jalan desa tersebut. Seakan-akan mereka tidak turut memeriahkan hari bersejarah ini. Sukiman yang mengetahui hal tersebut langsung bergegas menyiapkan tas besar berisi bendera merah putih yang sangat banyak. Ia mulai mengayuh sepeda tua untuk menghampiri satu persatu rumah warga yang tinggal di desa tersebut untuk memberikan bendera yang dibawanya. Misinya berhasil dan Sukiman pun menuju arah pulang. Saat diperjalanan Sukiman nampak terheran-heran bahwasanya saat memutar arah jalan pulang ia melihat bendera dari hasil pemberiannya berkibar hanya dengan satu warna, dalam artian warga-warga tersebut merobek bendera merah dan hanya mengkibarkan bendera putih.

“Ada apa ini? Mengapa mereka semua begitu membenci negaranya sendiri?” gumam Sukiman.

Tanpa harus menunggu lama Sukiman meminta kepada ketua desa untuk mengumpulkan warga di balai desa Sabiano. Warga pun datang berbondong-bondong. Setelah semua warga berkumpul Sukiman bertanya, “Saya tidak akan meminta lama waktu kalian, saya hanya ingin bertanya mengapa kalian hanya mengibarkan bendera putih di masing-masing depan rumah kalian? Tidak hanya satu orang tapi seluruhnya melakukan hal yang sama. Ada apa?”

Hening menyelimuti pertemuan kala itu, tak ada yang berani menyuarakan maksud dari aksi tersebut. Seorang laki-laki dari bangku tengah berdiri lalu, ia menyuarakan argumennya dengan lantang “Sebelumnya saya pribadi meminta maaf atas apa yang terjadi, namun sebetulnya kita semua tidak akan pernah menjadi seperti ini jika tidak terusik. Kita semua tidak akan beraksi tanpa alasan, kita hanya orang kecil yang tak pernah sekalipun didengar bahkan sama sekali tak pernah dipandang. Jika sudah begini? Yang terlihat dari kami hanyalah sisi buruk yang sebenarnya orang lain belum tahu apa penyebabnya,” jawab sosok pria tersebut yang mengenakan baju rapih, terlihat dari penampilan dan cara bicaranya ia adalah orang yang berpendidikan tinggi dari yang lainnya.

Satu persatu warga mulai berani bersuara “Kita sudah lelah dengan semua pak, sabar dan diam kami tak berarti apa-apa. Semua kekayaan desa kita di ambil penguasa yang serakah. Tanpa peduli ke depannya kita harus makan apa,” kata seorang Petani yang menyuarakan isi hatinya.

“Bendera putih kita kibarkan pertanda bahwa kita sudah menyerah dengan keadaan. Kita hanya rakyat kecil dan orang biasa yang tak pernah merasa merdeka,” sosok Ibu pedagang yang turut menyuarakan suara hatinya.

Mendengar banyaknya rintihan, keluhan dan derita warga, Sukiman mulai untuk mencairkan suasana.

“Saya mengerti, banyak dari kita bahkan seluruhnya merasakan hal yang sama. Penuh ujian, merasa kekurangan dan pernah dikecewakan. Namun hal ini bukan berarti kita jadi membenci rumah kita sendiri, membenci tanah kelahiran sendiri, membenci tempat kita dibesarkan dengan penuh kasih. Indonesia sudah banyak berjuang untuk bisa menjadi seperti sekarang dan aku adalah saksi nyata. Aku pernah turut memperjuangkan bangsa dan sekarang lihat hidupku? Sangat jauh dari kata mampu. Namun apakah pernah aku mengeluh? Tidak! Pernahkah aku membenci negeri sendiri karena kondisi ku seperti ini? Tidak pernah! Semua sudah berjalan sesuai dengan garis takdir dari Tuhan. Kita tinggal ikhtiar saja”.

“Kau begitu karena masih bisa merasakan tunjangan hari tuamu, berbeda dengan kami,” celetuk sosok pria paruh baya yang duduk di bangku pojok kanan.

“Asal kau tahu wahai sobat, tunjangan masa tuaku tak seberapa dan aku pergunakan hanya untuk memenuhi biaya pengobatan istriku yang sedang sakit. Selebihnya aku hanya berharap keluargaku bisa makan untuk sehari-hari,” Sukiman mulai menghela nafas, tak terasa air mata menumpuk di kantung matanya dan hampir tumpah.

Sukiman lanjut bicara, “Dan…. perlu kalian tahu bahwa hidupku tidak seenak yang terlintas di benak kalian. Bahkan untuk makan sehari-haripun aku masih kekurangan. Lauk yang kubeli hanya cukup untuk 2 orang. Dan selalu kuberikan pada istri dan anakku terlebih dulu. Aku hanya makan nasi dan garam setiap harinya. Bahkan tak jarang aku tidak makan. Kubiarkan perutku kelaparan agar istriku kenyang dan bisa kembali sehat. Namun di kondisi kekurangan seperti ini aku masih tetap bersyukur masih bisa diberi umur panjang dapat menyaksikan perubahan Indonesia tahun demi tahun, ikut merayakan ulangtahunnya meski aku tak pernah diapresiasi. Sesungguhnya ini adalah keikhlasan sejati,”

Seketika pecahlah tangis orang-orang yang hadir saat itu. Tursinah dan Rina yang turut hadir di pertemuan itupun menangis sejadi-jadinya. Karena selama ini mereka tak pernah menyangka bahwa Sukiman rela melakukan hal demikian untuk keluarganya. Tursinah dan Rina sangat merasa bersalah dan juga sangat menyayangi Sukiman. Setelah melakukan musyawarah yang panjang, akhirnya Sukiman berhasil menyadarkan warga Sabiano akan pentingnya mencintai dan menghargai negeri sendiri. Semenjak itu warga Sabiano menjadi hidup rukun, tenteram, harmonis dan banyak belajar berbisnis demi memajukan perekonomian desa tempat mereka tinggal.

Hari-hari terus berlalu, desa ini rupanya sudah sangat maju dan mendapatkan perhatian dari pusat kota. Sukiman saat ini sudah terjamin hidupnya berkat kerja sama warga desa. Ia pun mendapatkan tunjangan lebih dari pusat kota dan membiayai seluruh pengobatan istrinya. Sungguh kesabaran yang membuahkan hasil bagi Sukiman. Hal-hal yang dilaluinya dengan ikhlas akhirnya turut membantunya di masa-masa sulit.

Berhenti untuk mengeluh, berhenti mengharapkan bantuan orang lain, mulai untuk bangkit dan mulai bergerak maju untuk melakukan perubahan demi terciptanya kehidupan yang sejahtera dan layak. MERDEKA!!!

Jakarta, 17 Agustus 2021

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This