Bila ada kiasan “kura-kura mati dalam perahu, pura-pura tidak tahu”, jangan salahkan Bunda mengandung bila ada pemikiran bahwa “mereka yang pura-pura oposisi, mengira rakyat tidak tahu”. Barangkali dipikir mereka sendiri yang pintar dan rakyat adalah objek yang bodoh, sehingga mudah ditipu dan tertipu. Alangkah sayang seribu sayang, di atas langit masih ada langit. Mereka yang merasa paling pintar memang tidak akan pernah sadar bahwa tidak semua rakyat itu lebih bodoh.
Politik memang lucu, banyak yang terlalu yakin dan percaya diri bahwa bila sudah terjun ke politik maka sudah merasa “pintar” dan “hebat”. Baru sanggup berbincang dan diskusi soal politik di warung kopi pun sudah banyak yang merasa tahu segalanya dan selalu benar. Memang pemahaman soal politik itu butuh wawasan, pengalaman, dan kecerdasan, apalagi bila soal politik negara dan luar negeri, berhubung banyak yang “takut dianggap bodoh”, maka tidak heran bila banyak yang akhirnya memilih “sok tahu” daripada benar-benar belajar dan memahami soal politik. Apalagi jika berambisi dan tidak bisa kontrol diri, ada dendam dan marah yang tidak mampu dibendung, semakin menjadilah kebodohan itu walau merasa kebalikannya.
Sudah cukup sebenarnya contoh baik dari masa silam hingga saat ini, namun tetap saja belajar tidak semudah diucapkan. “Ingin dan mau belajar” mudah diucapkan, tetapi untuk konsisten dengan segala kedisiplinan dan kerendahan hati bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Terjebak oleh mereka yang “pura-pura oposisi” menjadi bukti betapa mudahnya rakyat dibodohi dan terus semakin bodoh karena tidak juga mau belajar. Politik bukan sekedar objek pembicaraan tetapi semestinya merupakan pemikiran berisi strategi dan langkah untuk menyelesaikan masalah dengan langkah-langkah tepat, akurat, dan mendahului “musuh” bila ingin menang. Bukan kemudian asyik kusuk masyuk dengan segala isyu yang dilontarkan.
Berhubung memang lebih banyak “manusia penonton” yang senang menonton, dijadikan tontotan, dan meyakini apa yang ditonton, mereka yang “pura-pura oposisi” pun tidak ada bedanya. Berpikir bahwa tidak ada yang mampu menandingi, terutama mereka yang sudah memiliki posisi dan merasa memiliki kekuasaan. Tidak sadar otak orang paling pintar pun ada batasnya, dan selalu ada yang lebih pintar lagi. Tidak semua orang mau menjadi “manusia penonton” walau memilih diam. Diam merupakan strategi paling baik dalam keadaan tertentu, diam bukan berarti tidak melakukan sesuatu, untuk apa banyak bicara bila hanya tong kosong yang nyaring bunyinya?!
Untuk membunuh dan mematikan musuh atau lawan, menghindar dan menjauh hanya dilakukan oleh para pion, sementara bagi para “pembunuh”, justru masuk ke dalam “rumah” musuh harus dilakukan. Bagaimana bisa membunuh dengan mudah bila menghindar dan jauh?! Jangan heran juga bila banyak yang “pura-pura oposisi” ternyata hanyalah pura-pura saja. Membuat yang lain terkecoh dan tidak sadar dibunuh perlahan namun pasti. Musuh dalam selimut sangatlah berbahaya.
Saat ini sudah banyak yang terbukti demikian, bahkan yang mengaku pejuang pun ternyata hanya pembual yang mencari makan, hidup, kekayaan, dan jabatan lewat jualan janji plus
segala bualan. Berlagak saja sok oposisi dan membela oposisi, dikira tidak akan ada yang tahu dan tidak akan terkuak. Biar bagaimanapun, dusta dan kemunafikan tetap tidak bisa mengalahkan kebenaran. Semua ada masa dan waktunya, tidak lama lagi.
Ungaran, 24 Juni 2021
Mariska Lubis
0 Comments