Penaku patah di pusaran aksara-aksara mati
tinta berserak di antara belulang mimpi
paru-paru waktu berhenti dan tak berdetak lagi
Kecipak rindu sedari dulu senantiasa memberi arti tentang indahnya kebersamaan serta pedihnya kehilangan
kini t’lah pupus di tangan
Sedu sedan adalah instrumental pengantar lelap di saat netra enggan terpejam
padamu puan berhati pualam
entah berapa banyak lagi harus kudulang kata
agar kau memahami
bahwa aku tak mampu membahasakan rasa yang begitu dalam
hingga tenggelam degup nafasku di riak gelombang
Kuyup sudah impian
mengering sudah bunga di genggaman
seribu sajak dan puisi tak mampu menggantikan
aach..
Puan berhati pualam
masih kuhidu aroma rambutmu di senja nan legam.
(Sang Boeloeh Perindoe)
Billabong. Bogor
0 Comments