Selama ini nama besar Popo Iskandar lebih dikenal sebagai seorang pelukis yang memiliki ciri khas berbagai lukisan ayam, kucing, dan macan. Banyak yang tidak sadar bahwa sebenarnya beliau juga seorang penulis mulai dari essay sampai karya sastra. Menjadi bukti bahwa menulis adalah dasar penting dari pendidikan di segala bidang. Menulis membantu siapa saja untuk bisa lebih mampu mendalami ilmu.
Pada Kamis, 2 September 2021 yang lalu, seorang kawan, Kang Hasan Ridwan, mengajak saya berkunjung ke Galeri Seni Popo Iskandar (GSPI) yang berada di daerah Ledeng, sebelah Kampus UPI Bandung. Saya tertarik apalagi di sana sedang ada pameran lukisan karya para “senior citizen” yang usianya tentu saja tidak lagi muda. Walau sudah ada yang berusia hampir 80 tahun, tapi semangat berkarya masih sangat luar biasa dan patut diacungi jempol.
Singkat cerita, akhirnya saya ke sana bersama Kang Hasan dan Ridho, mereka berdua kawan di tintaemas.co.id yang suka fotografi dan membuat video/film. Di GSPI, kami berjumpa dengan Kang Anton Sutanto, seorang seniman yang mengelola galeri tersebut, dan ternyata adalah cucu kandung Popo Iskandar.
Betapa senangnya mendapatkan bukti langsung bahwa Popo Iskandar bukan hanya seorang pelukis, tetapi beliau juga adalah seorang penulis! Ada lebih dari 200-an karya beliau yang dipublikasikan di berbagai media massa nasional, dan masih banyak lagi catatan harian dan jurnal yang belum dipublikasikan.
“Beliau memang senang menulis,” kata Kang Anton sambil menunjukkan sebuah buku yang berisi daftar tulisan mendiang almarhum kakeknya di masa lalu. “Bahkan beliau juga menulis sastra, kritik sastra, dan mengajar menulis. Kami biasanya rutin mengadakan kompetisi menulis bagi para guru secara nasional, sampai sebelum pandemi covid,” jelasnya.
Mata saya terbelalak sambil terus tersenyum. Ada rasa bahagia yang terasa, apalagi saya menulis, menggambar, dan melukis. Passion saya terhadap guru, anak-anak, dan pendidikan pun muncul dalam diri saya sejak kecil. Saat soft launching tintaemas.co.id, bahkan diadakan workshop menulis gratis bagi para guru. Bersyukur hingga kini, para guru yang mengikuti workshop tersebut terus bersama menjadi Sahabat Tinta Emas, yang terus berkarya dan mengajak anak didik mereka menulis.
Mas Anton lantas memberikan saya hadiah sebuah buku karya Popo Iskandar berjudul “Alam Pemikiran Seniman”, yang bersampul salah satu karya lukis beliau yang luar biasa “bernyawa”. Senangnya luar biasa, meski baru sekilas membaca, tertulis pemikiran-pemikiran para filsuf soal seni dan pendidikan, yang dibahas serius. Hal ini jarang diangkat bahkan oleh para seniman sendiri.
Seperti tesis Plato yang berbunyi: “Seni sebaiknya menjadi dasar pendidikan.” Begitu juga pemikiran Herbert Read, tokoh penggagas Art Education, yang berkata: “Bukan pendidikan mengenai seni, bukan pula kedudukan seni dalam pendidikan, melainkan pendidikan melalui seni”. Belum lagi pemikiran Popo Iskandar sendiri soal “Apresiasi Seni dalam Rangka Kepribadian Nasional”, “Seni Sebagai Pendidikan Dasar Bagi Masyarakat”, dan “Universalime dan Perikemanusiaan.” Kesemuanya menjadi bukti bahwa seni bukan sekedar seni, tetapi adalah soal pemikiran, pola dan cara berpikir, adab, etika, norma, dan jati diri yang sangat terkait erat dengan pendidikan.
Saya amat sangat bersyukur karena seorang pelukis besar Popo Iskandar ternyata juga menulis dan menuliskan semua pemikirannya dalam kata-kata, bukan hanya dalam lukisan. “Saya merasa sehati dan sepemikiran dengan beliau. Meski beda generasi, namun terbukti bahwa bukan hanya saya saja yang berpikir demikian,” saya bicara dalam hati.
Bagi saya, jelaslah bahwa Popo Iskandar bukan hanya seorang pelukis yang hebat, beliau adalah seorang penulis pemikir yang berilmu, rendah hati, dan berani berjuang dengan karya dan pemikiran originalnya sendiri. Beliau adalah seorang TINTA EMAS NEGERI yang patut dicontoh oleh generasi masa depan Indonesia.
Bandung, 5 September 2021
0 Comments