Kita mengenal istilah pekerja rumah tangga (disingkat PRT), asisten rumah tangga (disingkat ART) atau pembantu rumah tangga (sering disebut pembantu) yaitu orang yang bekerja di dalam lingkup rumah tangga majikannya.
Secara umum pengertian pembantu rumah tangga adalah seseorang yang bekerja di rumah orang lain, baik yang tinggal di rumah tersebut maupun yang tidak, bekerja berdasarkan perintah dari yang punya rumah (majikan) dengan jam kerja yang terkadang tidak terbatas (bisa sampai 24 jam) dengan menerima upah.
Kerap kita mendengar tentang perlakuan yang tidak manusiawi majikan terhadap pembantunya. Mereka disiksa, dianiaya bahkan dibunuh oleh majikan. Pembantu juga kerap dilecehkan secara seksual. Mereka menjadi pelampiasan nafsu binatang sang majikan.
Sungguh miris, namun hal itu benar-benar terjadi.
Selain perlakuan yang tidak manusiawi majikan terhadap pembantunya, persoalan lainnya adalah upah pembantu rumah tangga yang jauh dari standar kesejahteraan. Hari dan waktu libur, serta jaminan kesehatan pun tidak ada.
Walaupun demikian, ternyata masih banyak orang yang bersedia menjadi pembantu rumah tangga. Hal ini diakibatkan oleh berbagai faktor, terutama faktor ekonomi. Kondisi ekonomi yang sulit memaksa orang tidak lagi melihat resiko pekerjaan. Asal ada upah, menjadi pembantu rumah tangga pun tak jadi masalah.
Pekerja Rumah Tangga, apakah dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan?
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan Pemberi kerja adalah adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Apabila kita melihat isi dari pasal tersebut, ketentuan dan unsur dari pekerja sudah terpenuhi oleh pembantu rumah tangga, sehingga dengan demikian dapat dikatakan pembantu rumah tangga juga merupakan pekerja karena dipekerjakan oleh perseorangan. Begitu juga dengan majikan, juga dapat dikategorikan sebagai Pemberi Kerja.
Walaupun Pemerintah menetapkan bahwa majikan pembantu rumah tangga dapat diklasifikasikan sebagai pemberi kerja, namun tidak tergolong badan usaha dan pengusaha sebagaimana dimaksud undang-undang ketenagakerjaan. Oleh karena pekerja rumah tangga dianggap tidak dipekerjakan oleh pengusaha, maka Undang-undang Ketenagakerjaan tidak memberikan mereka perlindungan. Selain itu, pemerintah beranggapan pembantu rumah tangga merupakan pekerja sektor informal.
Dalam salah satu publikasi International Labour Organization (ILO/Kantor Perburuhan Internasional, Jakarta) yang berjudul Peraturan tentang Pekerja Rumah Tangga di Indonesia; _Perundangan yang Ada, Standar Internasional dan Praktik Terbaik (Jakarta, 2006) antara lain dijelaskan bahwa pekerja rumah tangga masuk ke dalam sektor ekonomi non-formal. Berbeda dengan para pekerja yang berada dalam sektor formal, seperti pekerja yang bekerja pada sektor-sektor industri yang dilindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Dalam publikasi ILO tersebut (hal. 10) dijelaskan bahwa:
“Pemerintah menyatakan, majikan pekerja rumah tangga bisa tergolong “pemberi kerja”, ia bukan badan usaha dan dengan demikian bukan “pengusaha” di dalam artian Undang-Undang ketenagakerjaan tersebut (Undang-undang ketenagakerjaan).
Dengan demikian pembantu rumah tangga dianggap tidak dipekerjakan oleh pengusaha, maka mereka tidak diberikan perlindungan sebagaimana yang diberikan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap pekerja lainnya. Pada dasarnya, hubungan antara pembantu rumah tangga dan majikannya hanya diatur berdasarkan kepercayaan saja, berbeda dengan mekanisme hubungan kerja di sektor formal yang menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa di pengadilan hubungan industrial.
Walaupun tidak dilindungi oleh Undang-undang Ketenagakerjaan, masih ada beberapa Undang-undang yang melindungi pembantu rumah tangga di bidang-bidang tertentu. Seperti KUHPidana dan UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jika Majikan mempekerjakan pembantu rumah tangga yang masih tergolong anak serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jika pembantu rumah tangga mengalami tindak pidana kejahatan Hak Asasi Manusia oleh majikan.
Diperlukan UU Khusus Perlindungan Hukum Terhadap Pembantu Rumah Tangga. Dengan tidak dilindunginya pembantu rumah tangga oleh UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka diperlukan suatu Undang- Undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap pembantu rumah tangga ini, sehingga diharapkan tidak ada lagi kejadian-kejadian miris yang menimpa pembantu rumah tangga.
Selain itu, Indonesia sebagai Negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, haruslah mengandung prinsip adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Setiap orang memerlukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar lebih sejahtera. Pekerjaan merupakan suatu tuntutan yang harus dipenuhi oleh setiap orang dalam mempertahankan kehidupannya.
Hingga saat ini, tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap pembantu rumah tangga. Sementara itu, perlindungan terhadap pembantu rumah tangga hanya akan terwujud apabila ada dasar hukum yang jelas yang diberlakukan khusus kepada pembantu rumah tangga.Oleh karena itu, demi terlindunginya kepentingan hukum para pembantu rumah tangga, perlu kiranya eksekutif dan legislatif segera membuat dan mengesahkan regulasi atau undang-undang perlindungan terhadap pembantu rumah tangga Hal ini demi terwujudnya rasa aman dan meningkatkan kesejahteraan seluruh pembantu rumah tangga. Ingatlah bahwa pembantu rumah tangga juga adalah MANUSIA!!
0 Comments