Guru merupakan orang berjasa walaupun tanpa tanda jasa. Bergerak dengan hati agar bisa berbagi. Berbagi tidak melulu harus dengan harta, tapi bisa juga dengan ilmu. Harta dibagi bisa habis, tapi ilmu tidak akan pernah sirna. Ilmu selalu hidup dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Guru adalah seseorang yang membagikan ilmu walaupun bukan dalam lingkungan formal (sekolah). Seseorang disebut guru karena ia telah memberikan pelajaran dan ilmu baru pada orang lain.Tapi, pada umumnya seseorang dianggap sebagai guru karena ia mengajar di sekolah. Demikian pula dosen untuk sebutan guru di perguruan tinggi.
Nenek dan ibu saya adalah seorang guru. Walaupun di kampung, Nenek saya, Aisyah, yang lahir 1 Juni 1914, bisa melakukan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Yakni, dengan mengajar baca-tulis. Untuk itu mereka menganggap nenek saya sebagai guru.
Nenek meninggal 23 Desember 1996 lalu dan kabar duka itu pun diumumkan di Masjid. Maka terdengarlah pengumuman itu lewat pengeras suara masjid, “Innalillaahi wa innaillahi raji’un, telah berpulang ke rahmatullah orang tua kita Ibu Aisya….” Tiba-tiba pengumuman itu terhenti sesaat seperti ada kata tertinggal. Kemudian diulang kembali dengan kalimat lengkap, “Innalillaahi wa innaillahi raji’un, telah berpulang ke rahmatullah orang tua kita ibu Aisyah Guru.”
Rupanya kata yang tertinggal itu adalah “guru”. Mengingat banyak nama “Aisyah” di kampung, maka sebagai pembeda kata “guru” dilekatkanlah di belakang nama nenek sehingga warga kampung pun segera mengetahui “Aisyah” mana yang meninggal.
Jasa nenek semasa hidup dikenang banyak orang. Seorang di antaranya adalah paman saya. Saat melayat, paman sampaikan kepada teman-temannya, “Karena beliau, saya dan rata-rata warga kampung bisa menulis dan membaca.” Saya pun yang waktu itu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Umum merasa bangga mendengarnya.
Teringat pula ketika saya menemani ibu berjalan kaki belanja ke pasar tradisional yang berjarak 2 km dari rumah. Sepanjang perjalanan ada saja ditemui perempuan yang sepertinya sudah berumur manyapa Ibu. Karena penasaran, saya pun bertanya, “Siapa itu Bu, kok banyak yang menyapa Ibu. ”Dengan tersenyum Ibu menjawab, “Itu murid Ibu dulu.” Saya pun kaget, “Loh, tapi kok dari raut wajahnya kelihatan sudah berumur bahkan lebih tua dari Ibu?” tanya saya spontan. “Hehe, ya namanya hidup, masing-masing orang punya masalah sendiri-sendiri, dan kalau di kampung biasanya orang dulu cepat menikah.” ujar Ibu menjelaskan. Saya pun hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Ibu. Ternyata walaupun sudah beranak cucu, seorang murid tetap akan ingat pada gurunya.
Dari dua kisah tersebut saya berfikir bahwa zaman dahulu adab dan etika seorang murid pada guru sangatlah tinggi. Walaupun secara ekonomi mereka masih kekurangan tapi mereka bisa menjaga adab dan etika mereka terhadap guru. Hebatnya para guru dahulu, bisa menanamkan budi pekerti yang baik pada para muridnya. Bagaimanapun nakalnya seorang murid, mereka tetap menghormati gurunya. Hal itu saya buktikan sendiri. Pada suatu hari saat tinggal di Teluk Bayur, ada seorang preman sedang mabuk. Dia ribut dan mengganggu orang yang ada di sekitarnya. Bahkan hampir saja terjadi perkelahian. Kejadian tersebut terjadi di jalan aspal depan rumah. Karena mendengar ribut-ribut, Ibu keluar dan berdiri di depan rumah pinggir jalan, melihat siapa yang membuat keributan. Ketika si preman berjalan sambil ngoceh dan bicara kotor itu lewat depan Ibu, entah mengapa tiba-tiba saja dia terdiam. Dan si preman langsung mendatangi dan mencium tangan Ibu sambil minta maaf dengan sempoyongan. Ibu mengajaknya ke dalam rumah dan memberikan air minum serta menasehatinya. Si preman diam saja, tidak lama berselang dia pun pamit pulang dengan wajah tertunduk tanpa membuat keributan lagi. Ternyata si preman dulunya adalah murid Ibu .
Begitu hebatnya seorang guru dulu mendidik muridnya. Mereka mendidik, bukan sekedar mengajar. Semuanya dilakukannya dengan kasih sayang hingga tertanam di lubuk hati para murid selamanya.
Apakah sekarang sistem dan cara guru masih seperti itu? Saya juga kurang paham, dengan kecanggihan teknologi sekarang ini seharusnya sistem pembelajaran dan cara mendidik seorang guru lebih meningkat dari pendahulunya.
Sayang realita yang saya lihat di masyarakat berbeda, banyak anak didik bahkan guru malah terbawa suasana “santai” dalam proses belajar mengajar. Dan yang nampak lebih dominan lagi itu adalah belajar-mengajarnya, bukan didik – mendidiknya. Apalagi sekarang pada masa pandemi, sekolah tatap muka jarang yang ada cuma tugas dengan modal buku TEMA (untuk anak Sekolah Dasar di tempat saya) yang dibeli dari pihak ketiga sesuai anjuran guru. Karena guru memang mengajarkan sesuai dengan buku TEMA tersebut.
LKS hilang TEMA pun datang. Dalam menjawab tugas yang diberikan guru secara daring pun anak bisa langsung menyonteknya dari “Google”. Bahkan soal yang ada di buku TEMA tersebut persis sama dengan yang ada di “Google” tersebut. Tidak diketahui pula apakah Google yang lebih dulu membuat soal itu atau buku TEMA yang lebih dulu.
Dengan tidak bermaksud menyalahkan guru sekarang, namun bisa kita bayangkan dengan kurangnya didikan yang di terima murid di sekolah, sedikit banyaknya akan mempengaruhi perilaku dan watak dari anak didik. Sebab, pada umumnya anak lebih menurut pada guru daripada orang tuanya sendiri, terutama anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Oleh sebab itu peran orang tua sangat diperlukan sekarang ini. Dulu mungkin tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak bisa berbagi dengan guru di sekolah, tapi sekarang orang tua harus penuh mendidik dan membimbing anak mereka agar karakter serta budi pekerti anak bisa terbentuk dengan baik. Jangan sampai adab dan etika anak-anak kita hilang dikalahkan oleh teknologi yang katanya makin canggih, tapi bisa berakibat buruk untuk mereka.
Bungo, 16 Nopember 2021
0 Comments