“Anak Gugat Ibu Kandung Gara-Gara Rumah Warisan.” demikian headline berita di salah satu televisi swasta. Isi beritanya tentang seorang (wanita) Doktor yang bekerja (pegawai negeri) di Sekretariat Daerah Kabupaten (Setdakab) Aceh Tengah, tega mengusir dan menggugat ibu kandung (70 tahun) beserta empat adiknya sebesar Rp700 juta, karena dianggap telah mendiami rumah yang diklaim sebagai miliknya, selama dua tahun ini.
Berita tersebut menjadi viral mengingat penggugat adalah seorang wanita berpendidikan tinggi sekaligus juga pejabat.
Kejadian ini terjadi justru pada saat orang tua, guru, lembaga kemasyarakatan, bahkan Pemerintah tengah berupaya membentengi masyarakat, terutama kawula muda atau sering disebut kaum milenial dari berbagai dampak negatif teknologi di era digital yang melanda negeri ini.
Dari kejadian tersebut kita telah mempunyai contoh bahwa seseorang yang berpendidikan dan memiliki jabatan tinggi tidak menjamin akan berperilaku baik dan berakhlak tinggi juga.
Persoalan ini muncul hanya karena harta warisan. Ya hanya karena warisan, yang berapa pun jumlahnya jika dirupiahkan ‘tak akan sebanding dengan semua jerih payah orang tua. Terlebih ketika seorang ibu, mengandung, melahirkan, menyusui, dan bersama-sama seorang ayah membesarkannya dan membiayai sekolahnya hingga ke jenjang pendidikan yang tinggi.
Selain memprihatinkan dan menyakitkan, peristiwa itu juga menjadi sebuah catatan penting sekaligus pekerjaan rumah dan bahkan bahan instrospeksi bagi para orang tua juga guru. Bagaimana pola asuh yang orang tua terapkan selama ini terhadap anak-anaknya? Bagaimana pula cara mendidik orang tua terhadap anak-anaknya di rumah, mengingat pendidikan yang pertama diterima anak adalah dari orang tuanya. Sudahkah kita memberikan landasan akhlak yang baik dan kuat kepada anak-anak kita? Menanamkan budi pekerti yang luhur kepada mereka?
Perbedaan pola asuh antara seorang ayah dan ibu juga bisa menyebabkan perlakuan anak kepada ayah dan ibunya berbeda pula. Mungkin saja ada anak yang cenderung lebih dekat dengan ayah atau ibunya karena dia lebih sering mendapat pembelaan dari salah satu di antara keduanya. Pilih kasih atau lebih menyayangi salah satu anak dibandingkan lainnya juga menyebabkan salah seorang anak merasa lebih diistimewakan dan menimbulkan kecemburuan pada anak yang lainnya.
Satu hal yang ‘tak kalah penting lagi, yakni asupan yang diberikan pada anak. Mungkin sebagai orang tua seringkali lalai dengan asupan makanan anak-anak kita. Teringat pesan seorang guru ngaji, yaitu Ustadz Thalabudin (alm). Beliau dulu senantiasa mengingatkan kami para jamaah pengajian agar senantiasa berhati-hati dalam memberi makan anak-anak kita, jangan sampai makanan yang masuk perut mereka itu makanan haram. Baik haram benda atau materinya maupun cara mengusahakan atau mendapatkannya. Sebab, makanan haram itu akan menjadi darah dan daging yang pada akhirnya berpengaruh pula pada perilaku anak-anak kita. Jangan heran jika mereka menjadi anak yang suka melawan, susah diatur, dan berperangai buruk lainnya.
Bagaimana pula di sekolah? Sudahkan guru menjalankan fungsinya sebagai orang tua di sekolah untuk memperkokoh akhlak murid-muridnya? Mana yang lebih diutamakan di sekolah oleh guru kepada murid-muridnya, ahlak atau ilmu? Mengingat kisah tadi, seorang berilmu atau berpendidikan tinggi bahkan pejabat pula, tapi dia seperti tidak berakhlak. Menuntut ibu kandungnya sendiri bahkan hendak menjebloskannya ke penjara. Mungkin ibunya salah. Tapi, bukankah dalam agama juga diajarkan bahwa seorang anak tetap harus berbakti pada orang tuanya, bersikap baik, dan berkata lemah-lembut kepada kedua orang tuanya? Kecuali jika orang tuanya itu mengajak untuk mengingkari Allah.
Kini kita semakin menyadari bahwa pendidikan karakter itu sangat perlu, bukan hanya untuk mencegah kejadian seperti yang disampaikan di atas terus berulang. Tetapi juga mengingat bahwa masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah dampak negatif dari era teknologi digital yang bisa mempengaruhi karakter seseorang.
Dalam sebuah acara Studium yang berlangsung Februari tahun lalu, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Muhammad Iqbal., M.Si., Ph.d mengungkapkan generasi muda Indonesia perlahan mulai meninggalkan karakter bangsanya. Bahkan, ia menilai karakter generasi muda saat ini sangat bergantung pada trend yang beredar melalui digital termasuk media sosial.
“Tantangan negeri ini cukup berat. Dengan berbagai kasus yang menimpa perilaku masyarakatnya, memperlihatkan bahwa negeri ini terancam karakter kebangsaannya. Banyak kasus kekerasan, pornografi, kemiskinan, minimnya ketahanan keluarga, korupsi dan bahkan narkoba. Dan mengerikannya, saat ini pornografi pun dengan mudahnya diakses di era digital. Inilah ancaman sebenarnya yang bahkan sama berbahayanya dengan narkoba itu sendiri,” ujar beliau.
Dan menurut beliau, tantangan yang begitu banyak tersebut, merupakan PR besar bagi bangsa Indonesia agar tetap bisa membangun karakter bangsa ini pada setiap generasi calon pemimpin bangsa ke depannya. Terlebih, gadget yang dengan mudahnya didapatkan oleh siapa saja, memberikan akses yang tidak terbatas pada siapa pun, bahkan anak-anak. Ia menilai bahwa gadget inilah permulaan masuknya berbagai hal yang bisa mengubah perilaku manusia.
Permasalahannya, semakin maju teknologi memang membuat generasi muda menjadi cerdas secara kognitif namun lemah secara afektif. Hal ini tampak pada keseharian, di mana membully, menghina dengan terang-terangan di media sosial, perilaku kekerasan, hingga karakter seksual menyimpang tak lagi menjadi hal yang tabu atau bahkan malu untuk diperlihatkan. “Tanpa disadari, gadget dan media sosial membuat banyak generasi-generasi penggunanya menjadi manusia yang manipulatif, seolah-olah tidak sesuai dengan kenyataannya.” kata Muhammad Iqbal.
Di tengah berkecamuknya dampak-dampak tersebut, solusi pendidikan yang berkarakter kebangsaan dan dibentengi dengan keyakinan pada nilai-nilai norma ketuhanan dan sosial, menjadi solusi yang tidak mudah untuk ditegakkan. Terlebih era revolusi industri 4.0 memaksa manusia untuk berubah, seiring dengan perubahan penemuan teknologi baru yang semakin cepat.
Setuju dengan pendapat Muhammad Iqbal bahwa penguatan karakter kebangsaan dan akhlak yang baik sedari dini, sejak di lingkungan keluarga sangat perlu ditekankan. Jangan sampai dengan kemajuan teknologi ini, handphone-nya pintar tapi justru manusianya bodoh.
22 November 2021
0 Comments