Jakarta,tintaemas.co.id-Konflik agraria di Indonesia dapat dipetakan dalam dua masalah yakni dari sudut Sosioogi Politik dan Sosiologi Hukum. Konflik agraria juga sebetulnya tidak dapat didekati hanya pada dimensi politik dan hukum semata, tetapi harus juga melibatkan dimensi sosial dan dimensi budaya.
Demikian pendapat menarik disampaikan oleh Dr Umar Sholahuddin, Sosiolog Konflik Agraria dari UWK Surabaya, pada diskusi LP3ES menyambut Hari Tani bertema “Kemunduran Demokrasi dan Gagalnya Reforma Agraria” Kamis, (23/09/2021).
Selanjutnya dikatakan, dari kacamata sosiologi politik, ada 3 aktor penting yang selama ini terlibat dalam konflik agraria di Indonesia yakni Aktor Negara, Aktor Korporasi dan Masyarakat itu sendiri. Tetapi sejak reformasi 1998 terjadi pergeseran peran di mana telah muncul kesetaraan antara Aktor Negara dan Aktor Korporasi.
“Bahkan pada titik tertentu aktor negara menjadi subordinasi dari aktor korporasi,” imbuh Umar Sholahuddin.
“Hal itu terjadi karena adanya intervensi aktor korporasi kepada negara terkait ketentuan dan regulasi agraria dalam penanganan konflik agraria. Contoh yang paling baru adalah munculnya UU Omnibus law Cipta Kerja yang sarat kepentingan korporasi,” tambahnya lagi.
Meski dampak buruk UU Ciptaker yang diduga akan semakin memperkeruh konflik lahan, dibantah oleh Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR), Kementerian ATR/BPN Budi Situmorang, yang mengatakan alih fungsi lahan telah banyak terjadi sebelum adanya UU Ciptaker, dan menyatakan ada 3 langkah strategis untuk mencegah alih fungsi lahan sawah (https://www.limapagi.id/focus/o20390k/uu-cipta-kerja-semakin-gerus-sawah-petani-benarkah), namun kekhawatiran pengaruh buruk dari UU Ciptaker terhadap semakin memanasnya konflik lahan terlanjur mengemuka.
“Kajian pada pasal-pasal UU Omnibus Law menunjukkan banyak mengandung kepentingan-kepentingan korporasi, sebagai salah satu indikasi. Terjadi simbiosis mutualisme antara state dan korporasi. Relasi itu sangat merugikan masyarakat,” tegas Umar Sholahuddin.
Begitu pula dari tinjauan Sosiologi Hukum, pakar agraria tersebut menyatakan Pertama, Hadirnya hukum negara dalam konflik agraria diterapkan dengan sangat legalistik dan formalistik. Tentunya sangat sulit bagi masyarakat untuk mengikuti apa yang jadi kehendak negara.
Kedua, Pemerintah masih menduplikasi pendekatan lama dalam penanganan konflik agrarian yakni security approach, dengan pendekatan hukum legalistik.
“Seandainya persoalan ini didekati dengan sosio kultural historis, maka diharapkan dinamika masyarakat akan lebih komprehensif. Hal itu yang nampaknya absen dalam pendekatan peyelesaian konflik agrarian.” pungkas Umar. (017)
0 Comments