Kita menyebut diri sebagai negara demokrasi terbesar nomor empat di dunia, padahal kehidupan demokrasi di negeri ini sebetulnya sedang dalam titik nadir kebangkrutan. Tak hanya demokrasi politik, tapi juga demokrasi ekonominya.
Kepentingan demos, rakyat, dan atau kedaulatan rakyat sebetulnya sudah nihil dari kehidupan keseharian dan ruang politik kebijakan bernegara kita.
Kenapa demokrasi kita telah bangkrut? Karena kita sejatinya telah kehilangan nilai penting dari demokrasi itu sendiri, yaitu nilai kebebasan, persamaan dan keadilan.
Pendapat yang bebas dan berbeda di negeri ini sudah nyaris lenyap. Setiap perbedaan diberangus. Aspirasi dikooptasi oleh kekuasaan.
Peristiwa kolosal itu setidaknya tergambar dari suara rakyat yang diwakili oleh suara koor di parlemen dengan nyanyian lagu setuju loloskan UU Ciptakerja yang ternyata baru prosesnya saja sudah inkonstitusional. Belum lagi substansinya yang potensial dan telah banyak rugikan rakyat.
Dari ruang hidup sehari-hari, kebebasan itu juga hanya jadi omong kosong pembicaraan kelas kedai kopi. Rakyat dimungkinkan untuk bicara sepuasnya, tapi ancaman kriminalisasi terus menghantui. Mural sebagai bentuk ekspresi seni saja dilenyapkan.
Masyarakat benar memiliki persamaan hak di depan pengadilan, tapi putusan pengadilan banyak mencederai rasa keadilan itu sendiri. Hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Dalam konteks keadilan ekonomi misalnya, hari ini kesenjangan ekonomi semakin menganga lebar. Rasio Gini Kekayaan kita 0,77 dan nyaris sempurna berada di dalam kuasa segelintir orang. Dari 82 persen orang dewasa kita, hanya punya kekayaan di bawah 150 juta. Sementara rata-rata dunia 58 persen dan mereka yang kekayaanya di atas 1,5 miliar hanya 1,1 persen. Sementara rata-rata dunia adalah 10,6 persen (Suissie Credit, 2020). Organisasi Oxfarm melaporkan secara dramatis, hanya 4 anggota keluarga ternyata kekayaanya sama dengan 100 juta rakyat dari yang termiskin.
Rakyat kebanyakan hanya mengais remah-remah ekonomi yang diperebutkan dan dipersaingkan hingga berdarah darah di bawah. Gambaran paling sadis adalah 99,6 persen atau 64 juta rakyat kita atau hampir sama dengan jumlah kepala keluarga itu hidup di wilayah ekonomi mikro gurem hidup segan mati sungkan.
Rakyat minoritas marjinal dibiarkan hidup dalam rasa takut atas ancaman mayoritas citizen. Mereka berada dalam ancaman bullying.
Pemerintahan menjadi sangat autokratif. Budaya patriarkhi dan feodalisme mengeras bersama birokrasi dan berubah menjadi patrimoni. Di mana sifat kekuasaan politik mengalir dari atas ke bawah. Mengoposisi kepentingan rakyat banyak dan kooptatif terhadap kekuatan masyarakat sipil.
Suara masyarakat ditentukan oleh kepentingan elit, bukan aspirasi murni dari bawah. Kepentingan politiknya pragmatik top down.
Kentut pejabat dan elit politik di republik ini baunya sama sampai di bawah.
Apa solusinya?
Kita tentu tak ingin demokrasi di negeri ini mengalami kebangkrutan. Untuk itu perlu adanya kekuatan elit pembaharu atau intelektuil organik ala Gramcian.
Kelompok epistemik ini perlu bekerja membangun wacana tanding. Pembangunanisme ala “Infrastruktur Fisik” harus dilawan. Lalu kerja-kerja desiminasi dari karya-karya genuine rakyat demokratis di bawah perlu diakselerasi dan dipromosikan. “Nabi-nabi” baru harus dilahirkan. Siapa? Salah satunya adalah anda.
Jakarta, 17 Desember 2021
Rakyat Jelata
0 Comments