“Lihat matanya sipit”, “Lihat dia kulit hitam, tidak sepantasnya dia bersanding dengan kita.” Pandangan seperti ini masih terdengar di kuping kita. Stereotip yang terbangun dalam masyarakat memberikan gambaran buruk terhadap seseorang bahkan kelompok budaya, ras, maupun agama. Pandangan inilah yang membentuk konflik berkepanjangan di masa depan hingga mempengaruhi keturunan-keturunan ras atau konsepsi dasar yang salah dan disematkan pada suatu kebudayaan.
Hal ini adalah pandangan kuno yang merugikan dan sudah seharusnya tidak ada lagi. Manusia itu sangat beragam mulai dari ras, suku, budaya dan agama. Perbedaan ini yang membuat Indonesia kaya. Alangkah baiknya jika kita paham akan perbedaan ini, sebab Indonesia sendiri terbentuk karena adanya keragaman.
Mungkin lebih baik lagi jika kita membuka mata lebih lebar dan melihat dunia yang sangat luas. Di luar sana, banyak tersebar manusia yang unik dan beragam karakteristiknya. Bahkan jika merunut siapa yang paling duluan tiba di nusantara, mungkin kata pribumi akan terasa bias.
Tanah air nusantara merupakan tempat yang strategis bagi migrasi orang-orang prasejarah, tidak hanya banyaknya kekayaan yang melimpah, suhu dan cuacanya cukup damai dan tidak begitu ekstrem dibandingkan dengan benua lain yang memiliki empat musim. Inilah yang menjadi daya tarik Indonesia bak surga di atas bumi.
Kembali kepada pernyataan ragam manusia. Merasa lebih tinggi dari orang lain, suku lain, budaya lain, atau agama lain merupakan hal salah yang sudah dilakukan manusia sejak dahulu. Di masa kolonial, banyak peneliti yang menulis tentang keragaman dan keanehan suku yang ia temui atau ras manusia yang berbeda dari kelompoknya. Mereka memberikan label ras “yang rendah” kepada ras selain dirinya sebagai bentuk superioritas atas bentuk kebudayaannya. Padahal kebudayaan yang ada dalam suatu ras memiliki filosofi yang begitu kaya jika mau dirunut lebih jauh. Namun, pandangan penelitian yang buruk dan penuh subjektivitas ini sudah diberangus seiring perkembangan bentuk penelitian beserta kaidah yang menengahinya. Begitulah kemudian perkembangan penelitian tentang kebudayaan berubah menjadi lebih baik dan objektif dengan bentuk penelitian yang deskriptif mengenai suatu masyarakat budaya.
Kalau kita menilik permasalahan ras yang ada di dunia, kita mengetahui adanya persepsi lawas yang tersisa sebab tinggalan pemikiran kolonial yakni konstruksi tingkatan ras. Adanya konstruksi tersebut memunculkan turunan permasalahan seperti rasisme, prasangka pada suatu ras, stereotip, rasa benci, intoleransi hingga permasalahan genosida. Turunan permasalahan ras ini tidak akan pernah usai jika masih ada hierarki ras yang menyebabkan rasa superioritas suatu ras dengan anggapan dapat merendahkan ras lainnya.
Nah, bagaimana cara menyudahi pandangan yang kuno ini? Adapun cara yang paling mudah adalah membuka diri terhadap perbedaan. Perlu pula memahami ras secara mendasar sehingga tiap-tiap dari kita mampu menerima dan memahami kekayaan dunia yakni perbedaan ras dan budaya. Dasar dari permasalahan ini adalah bentuk ketidaktahuan seseorang terhadap sebuah ras sehingga muncul pikiran liar yang membentuk anggapan-anggapan yang tidak dapat dibuktikan.
Dalam hal ini, pandangan tentang perbedaan-perbedaan secara fisik maupun stereotip atas sifat seharusnya sudah hangus. Lebih-lebih kita perlu tahu perbedaan bukanlah sebuah hal yang salah tapi sebuah kekayaan yang dimiliki dan diilhami oleh-Nya. Pun juga, ada baiknya kita memahami makna semboyan yang tersemat di Garuda Pancasila yakni Bhinneka Tunggal Ika. Demikian, semboyan ini merupakan hal yang sangat dipahami oleh para pendiri negara bahwa tanah kita merupakan tanah yang dibentuk karena keragaman, sehingga seharusnya kita mampu berdiri bersama menyongsong keragaman yang indah dan berpikir maju meninggalkan konstruksi lama dan kuno.
0 Comments