Pahlawan, Padamu Kami Mengadu!

Nov 10, 2021 | Essai

Kalimat di atas dibentangkan oleh lebih 1.500 (ada yang menyebut angka 6.000) mahasiswa di Jakarta pada 10 Nopember 1977, yang melakukan aksi longmarch dari kampus IKIP Rawamangun menuju kampus UI Salemba. Gabungan dari berbagai kampus di Jakarta, Bandung, Bogor itu dimotori oleh para aktivis mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang dipimpin oleh Lukman Hakim*, ketua Dewan Mahasiswa (Dema) UI.

Pawai longmarch itu sendiri, menandai serangkaian aksi protes para mahasiswa di kampus-kampus utama Indonesia era 1977-1978 karena menolak pencalonan kembali Suharto sebagai presiden. Aksi-aksi tersebut berujung pada serbuan militer di kampus-kampus awal Febuari 1978 atas perintah Pangkopkamtib. Ribuan mahasiswa dan pelajar pun ditangkap.

Kalimat dalam spanduk pawai mahasiswa di atas, satiris dan tepat mengambil momentum Hari Pahlawan 10 Nopember. Satire, karena saat itu mahasiswa sebagai kekuatan sipil yang kritis akhirnya hanya bisa mengadu kepada para pahlawan yang telah gugur, atas berbagai ketimpangan yang terjadi, ditambah penolakan terhadap figur yang dianggap tidak layak lagi memimpin Indonesia. Semua saluran untuk mengadu dianggap telah buntu, parlemen dikuasai para pendukung kekuasaan. Pers pun pada akhirnya dibungkam dengan dibreidelnya 7 surat kabar (termasuk SKH Kompas) akibat dianggap tidak bisa bekerjasama dengan pemerintah yang berkuasa.

“Kekuasaan adalah satu ‘lubang hitam’ yang menelan segala, dan karenanya memang harus dilawan, dijatuhkan dan diganti, tidak cukup sekadar dikoreksi dan dikritik”, begitu bunyi satu statement pembuka dalam blog Socio-Politica (06/04/2010), yang menceritakan kisah pendudukan kampus-kampus 1978 sebagai ‘Luka Ketiga’ dalam hubungan mahasiswa – tentara.

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Itu pernyataan legendaris dari Lord Acton, guru besar sejarah modern Cambridge University, UK.

Dari rangkaian adagium pada dua paragraph di atas maka benang merahnya adalah Kekuasaan merupakan pintu masuk bagi langkah abuse of power yang bermuara pada tindakan-tindakan koruptif manipulatif, demi keuntungan material individu kekuasaan dan klik yang menyertainya. Untuk memuluskan langkah-langkah tersebut maka kekuasaan dapat memulai strategi dengan mengkonsolidasikan seluruh elemen-elemen negara agar memuluskan rencananya. Yang paling memualkan jika kekuasaan tersebut justru berselingkuh dengan oligarki pemilik modal besar sehingga dapat saja mengatur hitam putihnya kehidupan berdemokrasi dan bernegara yang sehat, yang ditandai dengan aktifnya timbangan check and balances Eksekutif-Legislatif-Yudikatif dalam penyelenggaraan negara.

Kekuasaan rupanya berwajah sama, ketika telah mencium nikmatnya dapat menggenggam segala. JIka perlu, dan memang tidak sama sekali diragukan olehnya, demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah pun akan dikebiri, bahkan ‘dipapak’ hingga tinggal simbol-simbol belaka dalam Pemilu raya, asal masih dapat dinilai oleh masyarakat internasional bahwa demokrasi masih berlangsung di bawah kursinya. Padahal, hanya demokasi semu berbalut prosedural, bukan demokrasi substansial.

Maka, Pahlawan pun menjadi simbol pula. Tempat mengadu sebagai sindiran setajam silet, bahwa rakyat tidak lagi punya saluran yang diharapkan mendengar dan berupaya memperbaiki keadaan, sebagaimana berlaku di negara-negara demokratis yang sehat. Saluran pengaduan resminya via lembaga perwakilan, telah berbenalu dan keropos. Masuk angin terus menerus karena anggotanya berasal dari bahan baku yang telah basi.

Tapi bagaimanapun, momen Hari Pahlawan adalah momen sakral. Tempat kita menundukkan kepala mengenang pengorbanan para pejuang kemerdekaan dulu, yang rela korbankan hidup dan matinya untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan.

Para Pahlawan pasti tahu, polah laku segelintir penghamba kekuasaan dan materi hampa hanya riak gelombang yang tidak berarti apa-apa bagi sejarah perkembangan bangsa besar ini. Mereka asli, tidak berharga sama sekali. Lebih-lebih telah diketahui rakyat semua akal busuk berselimut kepalsuan yang selama ini dipamerkan.

Selamat memperingati Hari Pahlawan!

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This