Oei Tambah (1828-1857) di Tiang Gantungan Pun Masih Menyuap

Dec 1, 2021 | Essai

Nama lengkapnya Oei Tambahsia. Ayahnya, Tauke Oei, datang dari “wilayah daratan” dengan modal besar. Tauke Oei memilih niaga di Pekalongan.

Tauke Oei meninggal pada saat Oei Tambah berusia 17 tahun. Semua bodel (warisan) jatuh ke Oei Tambah. Ia anak tunggal.

Oei memutuskan pindah dari Pekalongan dan berdiam di Pasar Baru, Tangerang.
Tak lama ia kawin dengan pesta besar, tujuh hari tujuh malam.
Tampilnya orang kaya baru sampai ke telinga Gouverneur Generaal. Oei seperti nantang-nantang Tuan Gouveneur Generaal. Ebro (bendi) merek apa pun yang dikendarai Tuan Gouveneur Generaal, Oei langsung membeli ebro merek serupa.

Oei “putar” uangnya dengan membeli banyak toko di Toko Tiga, Kota.
Oei membangun vila di Ancol. Lokasi pertigaan Jalan Yos Sudarso dengan Gunung Sari, menyeberangi kali, lalu belok ke arah barat beberapa puluh meter, di situ pernah ada vila Oei yang beken sebagai vila Bintang Mas. Bahkan nama kampung sekitar (sudah punah) dan yang di seberangnya (masih eksis) bernama kampung Bintang Mas.

Oei punya penyakit gila perempuan. Stafnya, Pi’un dan Sura, tukang “cari” kalau Oei lagi berkehendak.
Suatu hari Pi’un dan Sura apes. Gadis yang dipaksa menggembirakan Oei adalah perawan jago silat dari Kampung Sawah Paseban. Terjadi pertarungan seru di Jembatan Ancol. Akhirnya, gadis yang kelak diketahui bernama Aria tewas kena bacokan.

Ketika polisi olah TKP kasus pembunuhan Aria, masuk pengaduan di kantor polisi dari pria asal Pekalongan. Ia mengaku istrinya disekap Oei di Bintang Mas. Polisi memburu dan mendapatkan wanita istri pelapor di lokasi dalam keadaan over fatigue akibat “lembur” mengolah Oei. Oei ditangkap, Pi’un dan Sura juga.
Tahun 1920-an terbit Syair Oei Tambahsia yang laku keras dan mencapai cetakan keempat pada tahun 1929. Dalam syair diceritakan putusan hakim:

Sesuda(h)nya menimbang lantas brenti
Pesakitan (TSK) kedua ketiga dikasi ngarti
Terang sala(h)nya mendapat bukti
Terhukum gantunglah sampe mati.

Eksekusi di depan Stadhuis persisnya di halaman Mesium Seni Rupa. Penonton sudah penuh. Muncul Oei digandeng Algojo. Kata Oei pada Algojo,”entar lu jangan kenceng-kenceng iket leher gua. Gua punya kepala juga jangan lu tekuk-tekuk. Kalu gua uda mati, lu rogo kantong gua, ada duit emas sebiji. Lumayan buat anak bini lu.”

Ampun, masih sempat-sempatnya (menyuap).

RSaidi

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This