Nyanyian Rindu Kampung Halaman

Sep 19, 2021 | Opini

Kampung halaman adalah tempat pulang. Tempat burung bangau kembali ke rumah asal setelah jauh berkelana keliling dunia. Rumah di kampung halaman adalah tempat tujuan semua. Beranak pinak cucu-cicit kembali mencari kehangatan ke rumah tua. Rumah tempat air mata ditumpahkan, kerinduan menemui peraduannya, yang jauh di mata kembali dekat di hati dan di depan mata. Tempat di mana sungkem hari raya ditahbiskan, tunduk sujud menangis di kaki ayah bunda. Tempat di mana para ayah bunda dan nenenda kembali dapat memuaskan mata memandang anak cucu tidur bareng bergelimpangan di lantai. Bersama mengukir kenangan demi kenangan.

Kampung Halaman adalah tujuan akhir peradaban dan budaya massal tahunan. Tempat para imigran kembali pulang. Berdesak desak, bertumpang tindih dalam sarana tranportasi segala matra. Berebut, menyikut, mencari duduk, mencari posisi agar dapat terangkut ke tanah asal. Pada musim liburan, hari raya dan hari besar umat dunia, kampung halaman adalah centrum paling dituju dari para pengelana rezeki dunia dan domestik.

Meski seiring kemajuan peradaban dan pergeseran pola hidup juga pola perekonomian, bergeser pula pola migrasi penduduk. Kampung halaman telah terancam runtuh atau diruntuhkan, diganti kawasan industri dan perumahan atau gedung-gedung bertingkat. Namun tradisi dan budaya pulang ke kampung halaman tetap menjadi tujuan budaya urban, balik asal musiman. Padahal, pulang ke kampung halaman telah membantu banyak roda dan pertumbuhan perekonomian daerah asal ketika para perantau comeback home. Tak terhitung banyaknya kontribusi dan perputaran uang ketika musim liburan. Pedagang di kampung, tempat hiburan, makanan dan minuman, ramai bersukaria. Pak lurah dan pak camat berbahagia karena mendapat upeti pajak tahunan dari para pelaku ekonomi kecil di kampung.
Demikian pula pada hitungan statistik pertumbuhan ekonomi lokal. Semua disumbang oleh budaya luhur tersebut.

Musim pandemi yang datang pun, tidak mampu membendung rindu pulang kampung halaman. Para perantau telah bertekad, buat apa setahun di rantau, jika bukan untuk mengumpulkan uang banyak agar bisa kembali pulang, sungkem pada hari raya. Maka, menyadari hal besar tersebut, sudah selayaknya para pemangku kebijakan, menyiasati dengan benar strategi kebudayaan agar budaya pulang kampung halaman tetap terselenggara dengan aman dan selamat. Bagi warga kampung halaman ataupun mereka yang mudik. Sampai pada saatnya kembali ke kota untuk kembali bertarung di kerasnya kehidupan urban.

Bila kelak angka migrasi penduduk desa ke kota semakin membesar, sesuai angka statistik kependudukan beberapa tahun terakhir, agaknya tidak akan bisa mengubah komposisi kependudukan. Sepertinya, yang bergeser hanya tempat mencari nafkah seiring besarnya kaum petani muda yang tidak lagi berminat menjadi petani di desa. Kaum tani kini disinyalir hanya diisi oleh mereka yang telah berusia 40 tahun ke atas. Anak-anak muda desa lebih tertarik ke kota untuk bekerja serabutan menjadi buruh atau pekerja sektor lemah perkotaan. Profesi petani dipandang tidak lagi bisa menjadi tumpuan penopang ekonomi keluarga. Pendapatan petani kita per bulan hanya ā€œmainā€ di seputaran Rp1 jutaan saja.

Tetapi meskipun demikian kuatnya daya tarik ekonomi kota, pandemi ataupun pola pergeseran ekonomi daerah tidaklah mampu mengubah budaya pulang ke kampung halaman.

Kampung halaman, tetaplah memancarkan bau harum tanahnya, wangi bunga padi dan lebatnya dedaunan pohon di kebun ataupun pinggiran kampung. Kampung halaman tetaplah mengingatkan para urban di kota yang tidur terlentang bergeletakan di sudut-sudut bangunan dan emperan toko. Mimpi mereka kerap hadir, tengah bercengkerama di sungai ataupun menghela ternak.

Bangau memang selalu beriringan pulang, membawa bekal bagi anak dan keluarganya ataupun tidak. Mereka hanya ingin memberi kehangatan atau mencari eratnya pelukan keluarga. Malam dengan bintang-bintang, memang lebih indah terlihat dari puncak bukit di pojok desa. Apaladi dengan kidung-kidung tua yang berdentingan. Demikianlah.

Dari Pojok Baturetno, 18 September 2021

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This