Minangkabau yang Terkulai

May 21, 2023 | Essai

Lamahlah tungkai, Sedih rasanya melihat nasib bangsa ini. Tepatnya mungkin etnis Minangkabau, etnis awak.

Kini, setelah 23 tahun reformasi, nasib suku bangsa ini dijajah budaya Barat. Melalui rekayasa kebudayaan peradaban Barat sukses mencerabut kearifan lokal negeri ini.

Apa sih bedanya orang Minang kini dengan suku lain? Dengan kening sedikit berkerut, susah juga menjawabnya.

Bila ditanya sama orang-orang pintar di kampus, budayawan atau tetua adat, paling-paling jawaban yang didapat sekadar teori dan nostalgia kejayaan Minangkabau tempoe doeloe.

Supaya meyakinkan bahwa budaya Minang itu hebat dan luhur, orang-orang pintar itu menyelipkan petatah-petitih.

“Orang Minang itu siak (kuat agamanya), beradat, tahu jo ampek (sopan santun dan ramah), egaliter, pekerja keras, rasa kekeluargaan tinggi. Kalau dulu begini, begitu, dan seterusnya…” Begitu kira-kira teorinya.

Sekarang? Orang Minang itu paota. beda-beda tipis gadang ota.

Lalu, apa bedanya berlama-lama di lapau dengan budaya malas? Katanya carito lapau untuk bersosialisasi dan berbagi informasi.

Nyatanya, bagunjiang, bahampok. Tidak percaya? Lihat saja sendiri.

Kadang-kadang, mamak dan kemanakan duduk semeja. Ndak di awak dan di orang, sama saja semuanya.

Bikin urut dada lagi, acara baralek dimeriahkan tampilan artis organ tunggal bergaya seronok.

Tua-muda, bujang-gadih, bahkan anak-anak hanyut dalam hentakan house music. Biar lebih meriah, ada juga pesta miras hingga bahampok.

Pernah suatu kali teman saya dari luar, terheran-heran menghadiri acara baralek seorang teman di Piaman.

Sekitar empat tahun lalu, pernah ada rencana pemerintah nagari melarang suguhan artis erotis, pesta miras dan bahampok di baralek atau alek kampung, sekarang pak wali nagari kita mungkin mengidap penyakit lupa. Tidak istiqomah.

Soal pergaulan bebas anak muda, jangan ditanya. Jumlah penderita HIV/AIDS, kasus narkoba, ‘negeri buya’ ini menempati rangking 10 besar nasional. Peredaran narkoba nomor tiga nasional

Soal berpakaian? Anak gadih Minang termasuk fashionable. Di bagian atas Alhamdulillah sudah berhijab jilbab, tapi di bawahnya ketat sempit jauh dari tuntunan agama

Kisah lainnya, akhir-akhir ini di ‘negeri buya’ krisis buya. Di pelosok-pelosok nagari, masjid dan surau kesulitan mencari ustaz.

Jangankan untuk wirid, mencari khatib Jumat saja susah. Ustaznya itu ke itu juga. Bisa ditebak, pengajiannya pun berputar di situ-situ juga.

Sementara kepala daerahnya bangga dengan kehadiran dai-dai kondang dari Jakarta, apalagi persiapan Pilkada, tapi lupa dengan dai kampungnya. Anggaran MUI pun dinolkan, kompak dengan anggota dewan yang terhormatnya

Risaukah tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin?

Ah, itu kan pikiran sinis dan sentimen sebagian orang saja. Itu hanya nila setitik rusak susu sebelanga. Jangan digeneralisirlah. Dibandingkan daerah lain, orang Sumbar masih teguh memegang budayanya.

Orang-orang pintar di daerah ini sibuk mencari alasan pembenar. Setelah Orde Baru, kebudayaan bangsa ini dibajak budaya Barat.

Orde Baru sukses mempropaganda budaya Pancasila sesuai kehendaknya melalui TVRI, RRI dan media massa, pada era reformasi, Barat berhasil menanamkan budayanya melalui tayangan-tayangan sinetron dan informasi dengan mengkapitalisasi media.

Orang-orang Minang, dan suku lainnya di Tanah Air, kini semakin pragmatis, individual, hedonis dan konsumtif. Paham inilah penyebab kehancuran kita. Seperti sudah menjadi identitas dan budaya Indonesia, termasuk etnis Minangkabau.

Bangga berlagak Orang Barat, minder mengenakan identitas leluhur.

Padahal, bapak pendiri Republik ini yang juga banyak urang awak, menekankan kekuatan budaya bangsa sebagai unsur tangguh dalam pembangunan bangsa dan karakter, nation and character building.

Kini yang terjadi, character assassination (pembunuhan karakter). Potret moral, budaya instan dengan jalan pintas, pragmatis, dan individualistis terlihat di jalan raya. Terjadi budaya premanisme.

Budaya menyesatkan itu, tak jarang ditiru rakyat dari perangai tungku tigo sajarangan. Ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai sering tungkek mambaok rabah.

Memamerkan budaya pragmatis-konsumtif kepada kemanakan.

Ke mana-mana bercerita pendidikan karakter, tapi tindak tanduknya tidak berkarakter.

Gelar titel, haji dan datuak di depan dan belakang nama sapanjang tali baruak, tidak merubah perilaku

Karena itu, pendidikan karakter yang gencar disosialisasikan diyakini tidak bakal mumpuni jika hanya seruan, imbauan dan teori di sekolah, Melainkan, harus dengan contoh dan teladan dari tungku tigo sajarangan.

Zulhamdi Malin Mudo

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This