Mimpi Gadis Kecil

Oct 16, 2021 | Cerpen

Langit mendung. Malam sunyi. Gelap menyelimuti. Tiada kemilau bintang. Rembulan redup. Sesekali angin berdesir. Pohon mendesah. Rerumputan menari. Malam menyanyikan lagu sunyi. Seorang laki-laki muda duduk bersandar pada tiang gerbang. Jalan hidupnya masih panjang, jika takdir Tuhan selalu sama dengan keinginannya. Sesuatu sedang bergejolak dalam pikirannya. Merenung, entah apa, tiada yang tahu. Mungkin, sedang menemui keberadaan diri. Samar terdengar suara langkah yang semakin mendekat.

“Mas!” seorang pemuda lainnya menyapa. Lamunannya pecah, pikirannya berpindah ruang secepat yang pernah manusia tahu.

“eh. Rahman, darimana?” sambutnya kaget.

“dari kos sebelah,”

“ngapain,”

“ada urusan mas,”

“duduk. Rokok?” Ia menawari. Terdengar suara korek api. Api menyala. Asap mengepul. Hilang di udara, terhempas. Angin bersiul.

“mas lagi ngapain,” Rahman memulai

“cuma duduk aja,”

“belum ngantuk?” Ia hanya mengangguk pelan

“Ada urusan apa di kos sebelah?”

“masalah dikit,”

“masalahmu? Masalah apa?”

“bukan. Temanku,”

Diam. Sunyi. Waktu merangkak, perlahan terus menelan malam. Suara hembusan bersama asap mengepul di udara. Terdengar suara motor menyala dari kos samping. Sesaat kemudian lewat di depan mereka. Seorang Laki-laki dan perempuan berboncengan.

“mas. Aku minta tolong,” ucap rahman

“gimana?”

“tolong antarkan aku. mau ngikut temanku itu,” Pintanya sembari menunjuk sepeda motor yang lewat.

“bentar. Aku keluarin motor dulu,” Motor diengkol. Menyala. Gigi satu masuk. Motor bergerak. Gigi dua, gigi tiga, motor berlari. Lampunya membelah malam suaranya memecah sunyi.

“sori yo mas, repotin,” Rahman basa-basi

“slow wae gak apa-apa,” Jawabnya singkat. Tapi muncul rasa ingin tahu. Tidak biasanya perempuan datang di kos samping. Apalagi perempuan muda. Seingatnya bahkan tidak pernah sama sekali. Kecuali pemiliknya yang sesekali datang. Itupun baru dua kali Ia melihat.

“itu pacarnya?” Ia penasaran

“istrinya, tapi,” suara Rahman terhenti. Menghisap rokok. “tapi katanya mau dicerai,”

“kok bisa?” Ia memburu

“ceritanya panjang Mas, aku cuma datang membantu aja,”

“hmm, gitu ya,” Penasarannya belum terjawab. Tetapi hati merasa enggan. Tidak mau dianggap terlalu ingin tahu masalah orang. Motor melaju dengan kecepatan stabil. Angin malam menembus selembar kaus yang Ia pakai. Pori-porinya menganga. Dingin. Menyesal Ia tak sempat mengambil jaket yang tergantung di balik pintu kamar kos. Rasa ingin tahu tak mampu Ia tepis. Otak seperti memburu lidah dan mulut untuk bertanya, tapi hatinya melarang. Ada moral pergaulan yang Ia anut. Pikiran dan perasaannya saling memburu, memegang kendali. Bertanya atau tidak.

“Man. Aku nanya boleh nggak?”

“nanya opo Mas?”

“tentang teman mu itu. Boleh gak?” Pikirannya tak tahan untuk bertanya. Tetapi perasaannya memegang teguh moral pergaulan yang Ia anut. Tapi coba Ia padukan.

“apanya Mas?”

“itu kenapa mau diceraiin?” Sambutnya cepat.

“Suaminya yang mau cerai. Ya teman ku itu. Merasa kehormatannya dinodai katanya,”

“tapi kenapa?” Ia memburu

“istrinya selingkuh Mas. Gak tau aku kok bisa selingkuh gitu,” Suara Rahman seperti merasa kesal. Seperti kesal pada istri temannya.

“mereka punya anak?”

“ada. baru satu,”

“laki-laki?”

“perempuan Mas, masih SD lagi,”

Ia menghirup rokoknya, dua kali berturut-turut. Lalu dibuang, puntungnya menggelinding dijalan, darinya terbang bunga api. Sembari mengendarai motor pikirannya penuh dengan kata yang sering didengar dari ucapan orang-orang dan berita sensasional televisi. Terlalu sering Ia mendengarnya. Malam itupun Ia dengar saat mengendarai motor. Kata-kata itu merebut ruang di alam pikirannya. Kehormatan. Selingkuh. Cerai. Dinodai. Harga diri. Kehormatan. Terus berulang, bercampur. Bergulir.

“belok kanan, mas,” Mereka masuk gang.

“masih jauh?”

“kira-kira setengahnya lagi,” Lampu motor memecah kegelapan. Suaranya membentur keheningan. Cerai. Anak perempuan. Asuh. Masa depan. Timbul tenggelam dalam pikirannya.

“tapi kenapa istrinya selingkuh ya?” Ia coba memenuhi hasrat ingin tahu. Persaannya sudah kalah menjaga moral pergaulan.

“kurang tau Mas. Tapi mungkin karena sudah lama ditinggal. Mungkin sih Mas,”

“maksudnya?”

“jadi temanku itu merantau ke kalimantan. Kerja disana,”

“sudah berapa tahun?”

“sekitar…” Rahman coba mengira-ngira. “pokoknya sejak bulan empat tahun kemarin Mas,”

“belum nyampe setahun ya,”

“iya, ya sejak corona mulai panas-panasnya waktu itu,”

“panas-panas? Kayak lava Merapi aja,” sambutnya. Mereka tertawa.

“Memang pernah rasain lava merapi Mas,” sambung Rahman sembari tertawa.

“ya belum sih, gak mau juga aku,” lanjutnya, mereka terkekeh.

“trus kenapa suaminya pulang,” mencoba menggali, memenuhi rasa ingin tahu.

“gara-gara dia tau istrinya selingkuh. Katanya ada kerabat yang ngasih tau. Padahal dia tetap ngirim uang buat istri dan anaknya,” jelas rahman.

“apa gak ada cara lain selain cerai?”

“katanya dia sudah sangat terhina mas,”

“terus selingkuhannya itu sudah punya istri juga?”

“kalo itu kurang tau Mas. Yang jelas aku benci cowok yang selingkuhin istri orang, gak jentelmen. Pecundang,” Nada Rahman tegas tidak seperti biasanya.

“ya kalo sama istri sendiri sih bukan selingkuh namanya bro,” Ia mencoba melawak. Motor menderu, membentur malam. Terdengar kokok ayam jantan, menandai waktu.

“pas jemput tadi laki-laki selingkuhannya ada?”

“ada mas,”

“diapain sama kalian,”

“gak diapa-apain. Cuma dikasi tau baik-baik aja,”

“kasi tau apa? Pake mulut apa pake tangan,” Ia melawak, Rahman tertawa.

“pake mulut dulu Mas. aku bilang sebaiknya dia pergi dulu dari situ. Seminggu apa sebulan. Kalo perlu pindah sekalian,” jawab Rahman

“emang kenapa?” ia memburu

“bukan apa-apa sih Mas. Aku sih masih bisa ngontrol emosi. Tapi kalo teman-teman yang lain tau, kemungkinan dagingnya bisa sobek atau beberapa tulangnya bisa patah nanti mas,”

“waduuh. Itu sih bukan kasi tau namanya, tapi ngancam,” ia menimpali

“itu mas, rumahnya,” sahut Rahman. Terlihat pohon rambutan. Rindang. Beberapa tanaman hias dalam pot. Pagar bambu yang dicat tipis. Rumah-rumah tetangga yang hanya menyalakan lampu depan. Setiap orang di dalamnya masing-masing sedang memeluk mimpinya. Jangkrik bersahutan mengisi sunyi. Langit masih tertutup awan.

“ayo duduk dulu bentar mas,” Ajak Rahman sambil jalan masuk melawati pintu pagar menuju teras rumah. Terlihat dua kursi di sisi utara dan selatan serta satu meja di tengahnya. “Udud sek,” sambungnya.

Seorang laki-laki keluar dari dalam rumah. Perawakannya terlihat pekerja keras. Tangan-tangannya berotot, padat bersisi. Walau kurang tinggi, tetapi posturnya tegap. Tangannya membawa nampan. Satu teko dan tiga gelas di atasnya. Asap tipis keluar dari dalam teko. “mampir dulu bentar Mas,” sapa si lelaki mengajak, ramah. “Ayolah Mas, ngeteh bentar,” sambung Rahman.
Ia sadar dengan apa yang sedang dialami laki-laki beranak satu itu. Terlihat air mukanya tertekan, tetapi dipaksakannya seperti tidak ada masalah. Sifat alami laki-laki, terlihat kuat walau tertindih segunung masalah. Teko diangkat. Gelas terisi. Asap-asap halus berlomba menari, melukis di udara.

“silakan Mas, biar agak anget,” si lelaki mempersilakan sambil tersenyum. Caranya menyembunyikan luka. Hatinya mungkin sedang remuk. Rumah tangga yang dia bina sedang diterpa badai. Kemudinya telah patah, seperti hatinya yang remuk. Laiknya rumah, tiang-tiangnya telah lapuk termakan rayap. Patah dan mungkin akan rubuh. Siapa yang ingin gagal dalam membina rumah tangganya?

Waktu seperti merangkak. Dirasanya pagi takkan kunjung tiba. Manusia terus menghitung waktu. Dihitungnya jam demi jam menjadi hari. Dijumlahkannya menjadi minggu. Bulan tiba tahun berganti. Dan malam, seperti biasanya masih meyembunyikan luka. Menelan duka. Saat di mana manusia merahasiakan kesedihan. Menyepi dari riuhnya hidup. Sapi tetangga melenguh. Suara sholawat dan zikir terdengar dari menara masjid. Suaranya serak, tapi tenang. Mungkin pertanda fajar segera tiba.

“aku pamit dulu ya Man. Mas pamit dulu,” Ia mohon diri.

“jangan buru-buru Mas,” jawab Rahman.

“kita mau pulang bareng lagi?” tanyanya.

“yo gak juga. Tapi kok buru-buru Mas,”

“uda mau pagi kok Man,” jawabnya. “Mas aku pamit dulu. Terima kasih tehnya,” lanjutnya pada tuan rumah.

“oh iya, makasih ya sudah mengantar Rahman,” sambutnya.

“makasih yo mas,” lanjut Rahman.

“pinjam jaket mu Man. Dingin banget ini,”

Jaket dipakai. Setelah bersalaman, motor diengkol dan berlari pelan. Makin cepat menerobos malam. Sejumlah nyamuk tersorot lampu juga burung malam yang terbang memotong jalan. Gerbang kos dibuka dan motor masuk menyongsong waktu fajar tiba. Sebatang rokok dihisap. Mengepul. Melayang. Seperti pikirannya yang tak tentu. Sampai pada setumpuk tanya. Bagaimana nasib gadis kecil yang orang tuanya bercerai itu. Apa yang menghiasi mimpi gadis kecil itu malam ini. Adakah ibu peri dalam dongeng-dongeng itu mengajaknya ke negeri dongeng indah. Ataukah tidurnya disesakkan oleh makhluk buruk rupa yang hampir menerkam dan memangsanya. Adakah mimpinya sedang terbang bersama ibu peri impiannya. Atau terbang dengan tangan dan kaki terikat bersama monster yang akan memangsanya.

Asap mengepul, melayang, melukis malam. Pikirannya bertanya dan menjawab. Mengira-ngira. “Ah, nasib orang ada dalam keputusan-Nya.”

Tetapi bagaimana nanti dia hidup ditengah masyarakat. Bagaimana pergaulannya. Apa kata teman-temanya. Apa ucapan mulut-mulut yang usil. Bagaimana pendidikannya. Darimana sumber kasih sayang Ia dapatkan.

Asap masih mengepul. Batang kedua dibakar. Merenung. Kehormatan. Penghianatan. Pernikahan. Ikatan suci. Perceraian. Berebut ruang menunggu jawaban. Apakah nilai penting dari suatu pernikahan diukur dari ijab-kabul yang sering disebut dengan ikatan suci itu. Atau dengan hiburan-hiburan setelahnya. Ataukah tentang bagaimana mendidik anak manusia untuk pertama kalinya di dalam masyarakat. Ia bersandar.

“andai wabah covid tidak menyerang,” Ia melirih. Mungkin Si lelaki tidak akan merantau. Andai wabah segera bisa diatasi. Mungkin perceraian itu tidak akan terjadi. Andai kebijakan tidak bertele-tele. Mungkin si anak kecil tidak merasakan pahitnya perceraian orang tuanya.

“andaikan. Mungkin saja,” Lirihnya.

Andaikan.

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This