Membaca karya Edward Said, Orientalism, saya melihat ada kesamaan cara pandang dengan Bung Karno. Kolonialisme dan Imperialisme lebih penting dikaji seluk-beluk dan cara bagaimana wacana dibentuk lewat pola pikir dan kajian akademis dalam membentuk cara pandang yang membenarkan penjajahan, ketimbang dampak dari hegemoni kekuasaan sebagai produk imperialisme tersebut bagi rakyat.
Jadi mengkaji bagaimana wacana berubah menjadi kekuasaan, jauh lebih penting disorot ketimbang dampak kuasa imperialisme kepada rakyat sebagai korban. Memahami hulu penyebab leebih penting daripada efek atau akibat yang bersifat hilir.
Sehingga spirit Sukarno maupun Said lebih mementingkan bagaimana menginspirasi gerakan dekolonisasi seraya melucuti dan menelanjangi wacana dan pikiran yang digunakan sebagai topeng menyembunyikan sistem pemikiran yang memihak penjajajahan. Dengan begitu kita disiapkan untuk melawan dan mencegah agar sejarah tidak berulang.
Kedua, Edward Said maupun Bung Karno yang kita bisa kaji dalam dua karyanya, “Indonesia Menggugat” dan “Mencapai Indonesia Merdeka”, dengan mengkaji cara pandang dan pola pikir imperialisme itu terbentuk secara sosial dan budaya, maka kita pun akan menelisik kesejarahannya bagaimana berbagai bentuk perlawanan terhadap pola pikir dan cara pandang kolonialisme dan imperialisme pernah dilakukan.
Ketiga, Sukarno dan Said yang sama-sama pernah hidup di negara yang sedang dibelenggu penjajahan, bersepakat pada satu hal: Kolonialisme dan Imperialisme tidak selalu menang. Seringkali pernah kalah, dan bisa dikalahkan. Maka dari sinilah kita harus belajar.
Keempat, ada saat ketika situasi genting, masyarakat seakan dipaksakan pada dua pilihan: melawan imperialisme atau fasisme. Padahal sejatinya fasisme lahir dari rahim imperialisme dan kapitalisme.
Alhasil rakyat awam kerap dihadapkan fait accomply, milih anak haram atau milih ayah kandungnya, terutama ketika negara-negara adikuasa yang umumnya penjajah terbelah dua kubu seperti Perang Dunia II.
Atau seperti Saddam Hussein, yang dari awal mula merupakan produk imperialisme Barat, belakangan diingkari keberadaannnya sebagai anak haram dengan mencap Saddam sebagai rejim fasisme. Dan masyarakat dunia digiring untuk milih anti fasisme seraya mengabaikan imperialisme sebagai pencipta monster bernama Saddam Hussein.
Nah kalau membaca jalan pikiran Said maupun Sukarno, mereka berdua memahami betul latarbelakang kondisi semacam ini. Sehingga tidak mau terjebak pada pilihan antara imperialisme atau fasisme. Karena keduanya adalah produk yang sama.
Maka itu, dalam menyikapi penjajahan, kemauan dan tekad untuk melancarkan gerakan dekolonisasi jauh lebih utama. Setelah itu baru mendalami ilmunya yang pas untuk melawan skema kolonialisme yang bersifat soft power dan nirmiliter itu.
0 Comments