Ngomong-ngomong soal kuliner kita sering kali menimbang antara kualitas kuliner dengan kenyamanan tempatnya. Saya tidak tahu di mana salahnya tapi pasti ada yang salah dari dua faktor tersebut. Terkadang kalau makanannya enak, tempatnya tidak enak. Pun sebaliknya tempat enak, tapi menu makanannya terasa kurang berselera.
Tentu saja McDonald, Pizza Hut, Steak 21 bisa kita kesampingkan, karena yang tiga ini adalah contoh kualitas menu dan kenyamanan yang selaras untuk bersantai atau kongkow-kongkow.
Solo, tempat asal saya, mungkin salah satu role model kota di mana saya tak perlu pusing cari tempat yang selaras antara kualitas menu dan kenyamanan tempatnya. Sebut saja misalnya RM āAdem Ayemā Slamet Riadi dan Bistik khas Solo āKusumasariā kalau tujuannya mau merangkap antara makan enak sekaligus jagongan atau ngobrol-ngobrol sama kerabat atau teman.
Soto āTri Winduā Jalan Teuku Umar juga oke, hanya saja nuansa tempatnya mengesankan kenyamanan suasana ngewarung ketimbang ngeresto seperti di Adem Ayem atau Kusumasari.
Ada juga Soto Ngading kesukaan keluarga besar saya dan selalu promo habis-habisan sama orang Jakarta kalau ke Solo. Tapi saya pribadi enggak cocok pas sudah dewasa. Entah kenapa.
Kalau kita sudah mulai kesulitan mencari tempat nyaman buat nongkrong sebetulnya itu adalah tanda lampu kuning buat peradaban kita. Karena kreativitas dan inovasi kerap lahir dari tradisi nongkrong atau kongkow-kongkow.
Di kalangan para mahasiswa Bandung terkenal nama Jalan Tablong tempat kumpul para mahasiswa seperti Rahman Tolleng, Sarwono Kusumaatmaja, serta para eksponen mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Bandung. Produk yang lahir hasil tongkrongan itu adalah Koran Mahasiswa Indonesia.
Di Jakarta dulu ada namanya Kelompok Seniman Senen, banyak lahir para seniman dan budayawan besar dari tempat nongkrong ini. Di film ada nama besar seperti Soekarno M Noer, Misbach Yusa Biran, sampai ke Harmoko yang kelak jadi pemilik harian Pos Kota. Belum lagi seniman di bidang lukis dan sastra.
Sekarang ada gejala makan ke resto atau warung pun sepertinya kayak diatur untuk serba cepat. Bukan saja cepat saji tapi juga cepat makan dan cepat kelar.
Tradisi makan di luar rumah sejatinya bukan cuma buat makan secepatnya dan kelar lantas kembali aktivitas rutin melainkan untuk mengistirahatkan pikiran. Namun pada saat yang sama mengaktifkan daya rasa, insting, dan intuisi.
Sekadar ilustrasi bahwa sastrawan Franz Kafka dan Paolo Coelho banyak mendapat bahan-bahan mentah cerita yang bagus hanya karena berjam-jam nongkrong di resto, kafe atau bar.
Sepupu saya yang mengelola usaha batik di Solo sering terpantik daya ciptanya dalam membuat kreasi-kreasi baru karena kerap berjam-jam nongkrong di rumah makan, warung-warung makan tradisional khas Solo lainnya.
Maka langkanya tempat tongkrongan yang nyaman selaras dengan kualitas dan cita rasa menu khas sajian menu makanannya membuat saya kuatir karena kualitas makanan dan kenyamanan tempat merupakan kelindan yang saling berhubungan satu sama lain.
Para penjual dan pengelola kuliner kehilangan kreativitas dan inovasi karena sekadar berhenti pada kegiatan rutin, sehingga para pelanggan kehilangan gairah untuk nongkrong dan berkumpul karena berkurangnya tempat nongkrong yang berkualitas. Alhasil peradaban kita pun lesu darah dan stagnan. Macet, membeku.
0 Comments