Menjadi Orangtua Sahabat Anak dengan Jurus 4C

Oct 4, 2021 | Opini

Pendidikan identik dengan keberadaan sekolah, guru, murid, papan tulis, lapangan upacara, dan berbagai elemen lain yang menunjang proses pendidikan. Selain itu, pendidikan juga kerapkali dikaitkan dengan penguasaan materi dasar, seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kimia, Fisika, Biologi, Geografi, Sejarah, PKn, dan berbagai mata kuliah lainnya. Padahal lebih dari itu, pendidikan memiliki arti yang luas dan merangkum berbagai elemen kehidupan yang bersifat mendasar dalam tumbuh kembang seorang anak.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Sementara itu, menurut Garis Besar Haluan Negara, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Maka dari itu, pendidikan menjadi proses yang krusial bagi perkembangan anak yang kelak akan menjadi penerus masa depan bangsa Indonesia.

Kemajuan teknologi yang ditandai dengan fenomena nomophobia atau no mobile phone phobia juga menjadi sebuah tantangan dalam penyelenggaraan pendidikan di era kekinian. Pendidikan yang dulu cenderung bersifat satu arah antara guru dan murid, kini tidak lagi relevan dengan konsep pendidikan zaman now, di mana semua akses informasi antara guru dan murid menjadi tidak ada lagi batasan.

Maka dari itu, pendidikan zaman now harus mengalami transformasi dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Di samping itu, pendidikan juga harus menuntun anak yang lahir di generasi milenial untuk mengembangkan kepribadian, kemampuan afektif, kognitif, dan psikomotorik secara simultan guna beradaptasi dengan dunia yang semakin dinamis. Dalam Festival Karya Anak dan Remaja 2017, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menekankan pentingnya kemampuan 4C dalam perkembangan anak milenial, yakni critical thinking, creativity and innovation, collaboration, dan communication. Dalam hal ini, peran serta keluarga menjadi sebuah keniscayaan dalam mengembangkan 4C karena keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai peran sentral dalam pendidikan.

Berbekal fenomena tersebut, maka pendidikan zaman now haruslah mencakup implementasi 4C berbasis partisipasi keluarga. Keluarga tidak hanya menitipkan anak untuk diubah pengetahuan dan akhlaknya di sekolah, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam mengawal perkembangan anak menuju pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga mendewasakan.

Critical Thinking
Berpikir kritis akan membantu anak untuk menemukan berbagai kemungkinan jawaban dari pertanyaan dasar yang ia ajukan. Keluarga dapat melatih kemampuan ini dengan mengajak anak untuk bermain peran yang ia sukai, memberikan pertanyaan terbuka, memberi sudut pandang berbeda, memberikan hubungan sebab akibat, dan mencari referensi. Keluarga harus menjaga agar rasa ingin tahu anak ini dapat dialokasikan untuk sesuatu yang positif.

Ketika seorang anak bertanya suatu hal yang terkadang sangat sederhana, simpel, atau bahkan tidak memerlukan jawaban, maka keluarga berperan untuk menjadi fasilitator dalam mengembangkan curiousity atau rasa ingin tahu anak tersebut. Jawaban “pokoknya begitu”, “jangan banyak tanya”, dan pernyataan yang mematikan rasa ingin tahu anak haruslah dihindari karena akan membuat anak enggan untuk mengeksplorasi berbagai hal baru yang ingin ia diketahui. Secara tidak langsung, pertanyaan simpel dari anak juga akan memacu keluarga untuk terus belajar mencari informasi untuk menjawab keingintahuan anak tersebut. Apalagi anak mempunyai akses yang tidak terbatas pada informasi yang ada di gawai mereka dari google.

Creativity and Innovation
Kreativitas seorang anak dapat dilatih dengan memberi anak kebebasan untuk mengembangkan diri. Ketika mendapatkan tugas menggambar, biarkan anak untuk berimajinasi tentang konsep gambar tersebut. Jangan berikan panduan tertulis atau petunjuk yang akan mengarahkan anak pada sebuah bentuk tertentu. Bisa juga dengan mengajak anak bermain lego tanpa ada panduan khusus yang menuntut anak untuk menciptakan sebuah bentuk baru yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Keluarga dapat melatih anak untuk berpikir kreatif dan inovatif lewat kegiatan bermain, jalan-jalan, serta mengeksplorasi sebuah tempat baru setiap minggunya. Jika liburan anak cukup panjang, jalan-jalan ke daerah lain di Indonesia atau ke luar negeri dapat menjadi sebuah sarana untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi. Lewat pengamatan dan antusiasme yang dimiliki anak, maka anak akan mencerna pengalaman yang didapatnya menjadi sebuah kreasi yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.

Dalam buku “DNA Inovator: Menguasai Lima Keahlian Para Inovator Disruptif” karya Jeff Dyer dan tim disebutkan bahwa seorang inovator harus memiliki keahlian associating, questioning, observing, networking, dan experimenting. Maka dari itu, memberikan anak kesempatan untuk melatih kelima kemampuan dasar seorang inovator ini akan sangat bermanfaat untuk membentuk sikap yang kreatif dan inovatif pada anak, yakni dalam bentuk eksplorasi diri ke sebuah tempat baru yang menuntut mereka untuk berpikir kreatif dan inovatif.

Collaboration
Salah satu tantangan terbesar yang dihasilkan dari kemajuan teknologi adalah sikap individualisme yang ditimbulkan oleh gadget. Akses informasi yang mudah, cepat, dan berada dalam satu genggaman tangan membuat orang menjadi tidak bergantung pada orang lain atau mempunyai sikap individualistis. Tak heran muncul argumen bahwa teknologi mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Hal ini terlihat dalam interaksi antara keluarga di sebuah rumah makan, di mana setiap anggota keluarga sibuk memegang gadget tatkala menikmati santapan keluarga.

Sang ayah sibuk melihat WhatsApp untuk urusan pekerjaan, sementara ibu sibuk memantau aplikasi Instagram dan mengabadikan kebersamaan keluarga melalui fitur Instastory. Kemudian anak-anak sibuk bermain Mobile Legend, PUBG, dan berbagai games lainnya di ponsel pintar mereka masing-masing. Alhasil arti kebersamaan keluarga menjadi sebuah ilusi di era kekinian yang semakin canggih.

Melihat fenomena ini, maka keluarga harus menjadi patron dalam mengembangkan kolaborasi di era yang sudah semakin mudah dan cepat dalam mengakses informasi. Kolaborasi dapat dikembangkan dengan pertemanan dengan tetangga, teman sekolah, hingga bergabung dalam komunitas yang mempunyai hobi atau kegemaran yang sama dengan anak. Bisa juga anak diikutsertakan dalam sebuah les non akademik yang memberi anak kesenangan untuk mengembangkan bakatnya.

Communication
Komunikasi adalah salah satu kemampuan dasar yang sangat penting untuk dikembangkan dewasa ini. Maraknya berita bohong, radikalisme, provokasi, dan minimnya etika komunikasi menjadi tantangan yang harus diatasi keluarga dalam mengembangkan kemampuan komunikasi. Komunikasi bukan hanya bagaimana cara berbicara dengan orang lain, tetapi bagaimana cara kita menyampaikan pesan secara tepat dan efektif kepada berbagai pihak yang ada di sekeliling kita.

Dalam hal ini, keluarga berperan sentral dalam proses perkembangan komunikasi anak untuk menggunakan sapaan sebelum menyampaikan inti dari pesan, kemudian bagaimana mengatur bahasa tubuh, pemakaian kosakata, serta menanggapi kritik. Ketika seorang anak mendapat pengaruh komunikasi yang negatif dari lingkungan, seperti kata kasar atau ungkapan kebun binatang yang diucapkan temannya, maka keluarga bersifat sebagai fasilitator untuk memperbaiki anak dalam berkomunikasi.

Komunikasi adalah sebuah elemen yang sangat penting untuk dikuasai karena banyaknya konflik, perdebatan, dan hal destruktif yang terjadi dewasa ini lahir dari kurangnya kemampuan berkomunikasi yang baik. Anak harus diajarkan bagaimana mengucapkan terima kasih ketika memperoleh sesuatu atau mendapatkan bantuan, bagaimana mengungkapkan kritik dan pendapat secara tepat, serta bagaimana menempatkan diri dalam sebuah situasi secara efektif.

Selain itu, faktor keteladanan juga menjadi sebuah kunci yang dipahami dalam mengembangkan proses komunikasi karena secara tidak langsung anak akan mencontoh bahasa, pemakaian kosakata, serta meniru cara komunikasi yang dilakukan oleh keluarga mereka sendiri. Dengan mendidik anak untuk berkomunikasi secara santun, maka peran keluarga dalam mengembangkan kemampuan komunikasi menjadi krusial dan berperan sentral untuk perkembangan anak ke tahap selanjutnya.

Yogyakarta, 03 Oktobe 2021

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This