Seorang nenek H penyalahguna narkoba yang sehari hari penjual pisang epek di Makassar divonis 5 tahun (kasus ini viral dalam 2 hari ini). Sementara mantan menteri Edhy Prabowo terdakwah korupsi 25 milyar juga dihukum 5 tahun penjara. Terasa sekali ada disparitas dalam hukuman di sini.
Beberapa waktu lalu, putusan untuk Habib Rizieq Sihab (HRS) dalam kasus tes usap palsu di Rumah Sakit Ummi Bogor 4 tahun, sementara mantan Jaksa Pinangki yang merupakan terdakwa dalam kasus dugaan penerimaan suap dari Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa MA diputus 4 tahun dari tuntutan semula 10 tahun. Menariknya, dalam kasus mantan jaksa Pinangki, jaksa penuntut umum menyatakan tidak melakukan kasasi. Bahkan tidak dilakukannya hukum kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang meringankan hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari ditengarai bukan semata pertimbangan dari jaksa penuntut umum, melainkan sikap Kejaksaan secara institusi (Kompas, 8/7/2021).
Jika dibandingkan dengan kasus yang kurang lebih mirip sama dengan kasus yang menimpa Jaksa Urip Tri Gunawan di kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (2008) yang diganjar hukuman 15 tahun penjara, jelas hukuman itu menggambarkan adanya disparitas dalam hukum pidana.
Khusus putusan Pinangki Sirna Malasari dirasa kurang tepat, aneh dan tidak adil. Bagi mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki putusan kepada mantan Jaksa Pinangki yang hanya 4 tahun, menggambarkan adanya kemunduran hukum, terutama terhadap komitmen pemberantasan korupsi (Sindo,27/6/2021). Bagaimana pun, sikap jaksa itu mengesankan adanya upaya untuk menutup-nutupi kasus tersebut. Sementara putusan untuk HRS dianggap oleh anggota DPR Mardani Ali Sera dan Fahri Hamzah sebagai putusan yang aneh dan beda perlakuan (Tribunnes, 24/6/2021). Bagi publik putusan untuk HRS lebih untuk memenuhi kepentingan pihak tertentu yang artinya hukum sudah dijadikan sebagai alat untuk memperoleh kepentingan praktis. Putusan itu hingga hari ini masih mengundang pertanyaan dan menggambarkan betapa hukum belum “ditegakkan sebagaimana mestinya” oleh para penegak hukum.
Ide Dasar Sistem Pidanaan Minimum Khusus
Pada tataran aplikasi, suatu putusan pidana yang dijatuhkan hakim dapat berdampak luas, tidak hanya bagi pelaku tindak pidana yang bersangkutan, tetapi juga bagi korban dan masyarakat. Ini karena dalam proses penjatuhan pidana, di samping bersentuhan dengan aspek yuridis, juga di dalamnya terkait aspek sosiologis dan aspek filosofis. Oleh karena itu, hakim yang bijaksana biasanya menggunakan metode yuridis komprehensif untuk memecahkan kasus yang ditanganinya.
Muncul pertanyaan dibenak para pemerhati hukum dan publik, bahwa untuk menjatuhkan sanksi pidana pada delik-delik tertentu, manakah yang harus lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu sisi, ataukah kepentingan keadilan di sisi lain. Demikian juga, manakah yang harus diprioritaskan antara kepentingan perlindungan masyarakat (negara) di satu pihak, dengan kepentingan individu (kelompok) pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan reaksi dan sikap kritis terhadap “beragamnya” strafmaat (putusan) yang sudah dijatuhkan oleh lembaga pengadilan terhadap tindak pidana seperti yang dicontohkan di awal tulisan ini. Yang jelas, putusan yang telah dijatuhkan terkesan “kontroversial” membuat masyarakat bertanya-tanya. Misalnya, untuk kasus HRS mengapa begitu berat, sementara kejadian yang sama seperti itu malah tidak diseret ke pengadilan.
Disparitas Pidana Sebagai Masalah
Putusan yang berbeda-beda terhadap kasus yang mirip sama, atau model putusan yang tiba-tiba lahir dengan argumen “asal-asalan” dalam wacana hukum pidana disebut “disparitas”. Lebih jelasnya, seperti dikemukakan Cheang (dalam Muladi, 1992:52-53), disparitas pidana (disparity of sentencing) yang dimaksudkan di sini adalah penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak pidana yang sama (the same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat dibandingkan (offence of comparable seriousness)_tanpa disertai dasar pertimbangan/penalaran yang sahih (valid reason). Jackson (2006) menambahkan, bahwa disparitas pidana juga dapat terjadi pada pemidanaan yang berbeda terhadap dua orang atau lebih terdakwah yang melakukan suatu tidak bersama-sama (complicity), namun tanpa mempertimbangkan sisi rasionalitasnya. Oleh karena itu, sebagaimana pendapat Sudarto (Muladi: 2002,106), bahwa masalahnya bukan pada menghilangkan disparitasnya secara mutlak, tetapi bagaimana disparitas tersebut harus reasonable.
Jika ditelusuri lebih jauh, masalah pemidanaan hanyalah merupakan salah satu subsistem dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana. Masalah disparitas pidana yang juga menjadi bagian dari masalah pemidanaan, juga bersifat multikausal. Namun secara sederhana__khususnya dalam peradilan diIndonesia, dapat dikatakan masalah disparitas belum diatur dengan jelas. Disparitas pidana seharusnya diturunkan dari perundang-undangan/hukum positif dengan begitu dia menjadi pedoman dalam penjatuhan pidana (statury guidelines for sentencing atau straftoemetingsleidraad). Sedangkan yang bersumber dari hakim, antara lain karena adanya pemahaman ideologis yang beragam terhadap the philosophy of punishment__setidaknya dalam mengikuti aliran hukum pidana (aliran klasik ataukah aliran modern) dan selanjutnya (berdampak pada) implementasi kebebasan hakim (judicial discreation) dalam memilih jenis pidana (stafsoort) dan menentukan berat ringannya pidana (strafmaart) yang akan dijatuhkan kepada terdakwah yang terbukti melakukan pidana.
Perlu Pedoman
Belajar dari putusan kasus-kasus yang terlalu ringan dan putusan yang kontroversial, nampaknya penting segera dibuat pedoman putusan dalam penjatuhan pidana (statury guidelines for sentencing atau straftoemetingsleidraad). Indonesia hingga saat ini belum memiliki “sistem pemidanaan yang bersifat nasional” yang didalamnya mencakup “pola pemidanaan” dan “pedoman pemidanaan”. Oleh karena itu, penting segera diwujudkan. Mengapa, karena itu menjadi kebutuhan mengingat adanya, pertama, fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya. Kedua, adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan publik yang menghendaki adanya standar minimal objektif untuk delik-delik tertentu yang sangat dicela dan merugikan/membahayakan masyarakat/negara. Dan ketiga, demi untuk lebih mengefektifkan pengaruh preverensi umum (general prevention) terhadap delik-delik tertentu yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat maka lembaga pembuat undang-undang (DPR dan Pemerintah) menentukan, delik-delik tertentu tersebut. Mana saja yang perlu dengan pidana maksimum khusus, dan sekaligus menentukan mana saja pidana mininum khusus, seperti yang telah lama dipraktekkan di berbagai negara seperti Amerika, Perancis, Thailand dan lain-lain.
Tugas Yuridis Para Hakim
Para hakim memiliki mandat hukum untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya untuk diselesaikan secara yuridis, sehingga putusan yang dihasilkan menjadi puncak kearifan bagi terlibat perkara masyarakat dan peradaban. Menurut Artidjo Alkostar (2011), para hakim, menduduki posisi profesional, bukan jabatan politik sehingga hasil kerja profesinya berkualitas adil, tidak bias politik (kepentingan), mengandung kebenaran obektif yang maksimal. Dengan knowledge ilmu hukum yang dimilikinya para hakim akan mempergunakan kacamata teori ilmu yang dipakai untuk meneropong suatu perkara (to be able to deal affectively with legal problem) dan fakta yuridis yang melingkupinya untuk sampai kepada pendapat atau opinion.
Dengan demikian, para Hakim pada saat yang sama telah dibekali standar kompetensi legal skill sehingga dapat menganalisis perkara yang ditanganinya berdasarkan fakta-fakta yang ada dan hukum yang tepat diterapkan terhadap perkara tersebut. Atas dasar itu, kendati “pola pemidanaan” dan “pedoman pemidanaan” dalam memutus perkara juga penting, namun setidaknya hakim harus menggunakan upaya rasional dan hati nuraninya untuk mencapai putusan yang benar dan adil yang disebut sebagai the Golden Rule. Apakah hal ini sudah terwujud dalam putusan para hakim itu? Rasanya kok belum.
Dr Sobirin Malian,SH, MH
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
0 Comments