Meskipun ragam kuliner kekinian semakin hari semakin bermunculan laksana jamur di musim hujan, namun bagi saya kuliner tradisional yang mempunyai rasa autentik tetaplah juara. Apalagi di saat cuaca dingin seperti ini. Setelah tempo hari menikmati kuliner minuman tradisional Wedang Ronde yang menghangatkan tubuh, kini giliran menggoyang lidah dengan makanan tradisional Bakmi Jawa.
Alasan saya memilih kuliner yang berasal dari Yogyakarta ini, antara lain karena kekhasannya yang membedakan dengan bakmi lain. Baik dari cara pengolahan maupun tampilan, dan rasanya.
Kekhasan Bakmi Jawa adalah cara pengolahannya yang masih mempertahankan cara tradisional yaitu dimasak menggunakan tungku tanah liat atau anglo dan bahan bakar arang. Bakmi ini juga tdk dimasak secara masal atau bersamaan. Berapa pun pesanan akan dimasak seporsi demi seporsi menggunakan wajan kecil. Hal tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan kekhasan rasanya. Selain itu campuran orak-arik telur bebek dan toping berupa suwiran daging ayam kampung membuat rasanya semakin khas di lidah, lebih enak dan gurih.
Bakmi Jawa biasanya disajikan dalam empat jenis menu yang dapat kita pilih sesuai selera. Mi kuah, mi goreng, mi nyemek, dan mi goreng nyemek. Mi rebus minya dimasak dengan cara direbus atau dalam bahasa jawa digodhog . Bakmi goreng dengan cara digoreng. Ada pula mi nyemek. Dalam bahasa Jawa ‘nyemek’ artinya kondisi berair, tapi tidak terlalu banyak. Mi nyemek disajikan dengan ukuran air sekitar 20 persen dari ukuran standar kuah mi rebus. Sedangkan mi goreng nyemek adalah mi goreng tetapi diberi sedikit kuah juga.
Bakmi Jawa ini biasanya disajikan di atas piring seng putih bermotif bunga warna-warni dan ditemani secangkir wedang uwuh panas serta enaknya dinikmati sore atau malam terutama saat udara dingin. Hmmm, hanya membayangkannya saja membuat air liur menetes.
Ingin rasanya segera mencicipi salah satu kuliner Tradisional Yogyakarta ini. Namun, selain ingin mencicipinya jadi kepo juga untuk mengetahui seluk-beluk tentang kuliner mi bulat panjang ini.
Awal pembuatan Bakmi Jawa bermula dari desa Piyaman, Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Gunung Kidul adalah nama kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Warga beberapa desa di sini, terutama dari Kecamatan Wonosari, banyak mengandalkan penghidupannya dengan berjualan mi yang kemudian dikenal sebagai mi jawa atau Bakmi Jawa.
Bakmi Jawa atau mi jawa khas Gunung Kidul ini adalah mi yang dimasak dengan bumbu dasar bawang putih dan kemiri. Bahan-bahan tersebut ditumbuk menggunakan lumpang sehingga aroma harum kedua bumbu dasar itu keluar saat dimasak membangkitkan selera makan.
Biasanya penjual Bakmi Jawa memiliki kebiasaan menjajakan dagangannya mulai sore menggunakan gerobak tempat memasak bakmi di depan tempat mereka berjualan.
Di daerah asalnya yakni Yogyakarta banyak terdapat penjual bakmi yang sudah terkenal. Sebagai contoh Bakmi Pak Pele di Alun-Akun Utara, Bakmi Kadin, dan Bakmi Mbah Wito di Desa Piyaman, Wonosari-Gunung Kidul.
Dalam perkembangan berikutnya, kuliner berbahan mi tradisional ini berkembang ke seluruh Indonesia bahkan hingga ke luar negeri.
Sebagai warga Bandung saya pun tidak sulit untuk menemukan penjual Bakmi Jawa, sebab di Bandung juga sudah banyak yang menjualnya. Rasanya pun tidak kalah dengan di tempat asalnya. Salah satunya adalah kedai Bakmi Jawa yang terdapat di Jalan Dipati Ukur No. 67. Sesuai alamatnya kedai ini bernama “Bakmi Jowo DU 67”.
Kedai bakmi yang terletak tidak jauh dari kampus UNPAD lama ini memiliki bangunan unik berupa atap jerami pada bagian depannya. Selain itu, saat kita memasuki ruangan kaki kita akan menginjak lantai bermotif batik khas Yogya.
Tak seberapa lama kami duduk, pelayan berseragam batik pula datang menghampiri membawa lembaran daftar menu. Kami sekeluarga pun segera memesan menu.
Sambil menunggu menu selesai saya mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Selain sebagian lantai bermotif batik, tiang-tiang ruangnya pun terbuat dari bambu. Sementara dindingnya yang terbuat dari bilik dihiasi lukisan sederhana berupa tangkai-tangkai daun yang dipasang pada setiap sudut dindingnya. Tak ketinggalan juga lampu gantung yang kapnya terbuat dari anyaman bambu turut menghiasi dan menerangi seisi ruangan. Semuanya mengesankan kekhasan tradisional daerah Yogya.
Sebentar kemudian menu pesanan kami pun tersaji di atas meja. Empat macam jenis mi yang masih mengepul asapnya tanda masih panas. Namun kali ini tidak dihidangkan di atas piring seng tetapi piring keramik putih biasa. Harum aroma campuran bawang putih dan kemiri menyeruak menembus lubang hidung menggugah selera untuk segera mencicipinya.
Bakmi Jawa ini hampir mendekati bakmi aslinya dengan menambahkan suwiran daging ayam kampung yang terlebih dahulu direbus kemudian digoreng sesaat sebelum diramu dengan mi. Ada campuran orak-arik telur bebek juga yang gurih.
Ditambahkan pula irisan kol dan berbagai unsur bahan penambah rasa seperti tomat, irisan daun bawang, serta taburan bawang goreng. Untuk mi goreng dan mi goreng nyemek ditambahkan kecap. Setelah diicip-icip ternyata semuanya enak. Kami sekeluarga pun segera menikmatinya tak lupa ditemani segelas wedang uwuh panas dan sepoci teh hangat Tong Tji Tegal.
Rasa Bakmi Jawa yang menggoyang lidah dan seruput wedang uwuh serta teh “Tong Tji” Tegal yang hangat diiringi rinai hujan di luar kedai, semua berpadu satu menghadirkan harmoni unik di tengah kebersamaan keluarga kecil kami. Sungguh suatu kenikmatan tak terkira yang dikaruniakan Allah Swt., tidak dapat diuraikan dengan kata-kata.
0 Comments