Melupakan sejarah dan memutarbalikkan sejarah adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji, apalagi bila sampai melupakan jasa para pahlawan yang benar-benar sudah berjuang bagi bangsa dan negara. Tidak sedikit yang dilupakan atau seperti sengaja dilupakan, termasuk almarhum Tubagus Murdifi, seorang polisi di masa lalu yang merupakan salah satu lulusan Harvard pertama dari Indonesia. Meskipun pangkat terakhirnya tidak berbintang tinggi, tetapi jasa dan perjuangan beliau hendaknya jangan sampai hilang dan dilupakan, terutama oleh seluruh jajaran kepolisian Republik Indonesia saat ini.
Lahir di Serang Banten, 20 Februari 1923, LetKol Tubagus Murdifi (pangkat terakhir beliau), adalah putra dari Tubagus Soeriaatmadja, Bupati Lebak-Banten ke-14 yang namanya diabadikan sebagai salah satu jalan di Banten. Sejak kecil memang sangat cerdas, fasih lima bahasa, yaitu bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Perancis dan Rusia. Menjadi pengawal Presiden Soekarno pada waktu berpidato di Lapangan Ikada dan berkat bantuan beliau menyelesaikan masalah bagi Bapak Soekamto, Kapolri pada saat itu, beliau direkomendasikan untuk melanjutkan sekolah di Harvard University, Amerika Serikat, sekolah bergengsi dunia.
Tubagus Murdifi berangkat ke Harvard bersama dengan Menteri P&K Syarif Thayeb, Budayawan Umar Khayam dan seniman Sapto Hudoyo. Beliau menyelesaikan MA (Master Of Arts, Linguistic) di Harvard dalam waktu dua tahun dan merupakan orang Indonesia pertama yang mampu menyelesaikan program Master di Harvard dalam waktu singkat pada tahun 1958 dengan predikat cumma laude. Sebuah prestasi yang patut dibanggakan, apalagi mengingat barangkali hanya sedikit jajaran kepolisian saat ini yang mampu melebihi beliau dalam prestasi di pendidikan meskipun memiliki bintang dan jabatan lebih tinggi.
Kemampuan berbahasanya yang luar biasa, membuat beliau ditunjuk untuk menemani Laksamana Maeda sewaktu berkunjung ke Indonesia. Foto-foto Laksamana Maeda berkunjung ke rumah Dinas beliau barangkali masih tersimpan di Arsip Nasional mengingat pentingnya peristiwa tersebut, yang menunjukkan peran diplomasi polisi Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan.
Beliau dikenal sangat konsisten dan berpegang teguh pada prinsip. Beliau bahkan harus terkena TBC karena tidur di lantai, dan anak-anak beliau tidur di kasir lapuk dengan pakaian usang, hanya karena batal menjadi Atase Militer di Hongkong, karena dirobek-robek tiket keberangkatannya oleh salah seorang atasan beliau. Pada waktu itu beliau hanya mempertanyakan tugasnya di sana, dan sepertinya atasan beliau tidak suka.
Menolak sogokan dari para pengusaha Tionghoa yang datang dengan membawa segala hadiah, sudah biasa. Mobil mercedes Benz dan uang sekoper yang pernah ditawarkan pun ditolak mentah-mentah. Beliau juga memilih keluar dari Inkopol karena tidak mau tanda-tangan pembelian tank yang memiliki indikasi korupsi.
Meskipun sangat dekat dengan Jendral Hoegeng, yang merupakan tokoh legendaris pejuang jujur kepolisian Indonesia, bukan berarti kemudian beliau mendapatkan posisi dan jabatan enak. Menjadi jujur dan konsisten sungguh penuh dengan resiko. Menjelang pensiun, gelar MA (S2) beliau pun bahkan dikonverdi menjadi Drs. (Setara S1), dan lalu dipindahkan bertugas di LitBang (R&D) Polri Mabes Polri Trunojoyo. padahal banyak pemikiran dan kemampuan beliau yang hingga saat ini masih diterapkan, seperti pembentukan Polisi Militer. Diakui tidak diakui. Sementara kawan-kawan seangkatan beliau sudah menjadi Jenderal, hingga pensiun, pangkat beliau tetap Letnan Kolonel.
Sewaktu wafat, keluarga beliau menolak keras dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Putra-putri beliau menjawab,”Seharusnya kalian menghormati Bapak kami sewaktu beliau masih hidup dan bukan sesudah mati!” (Seperti yang diceritakan oleh Tubagus Yogi, putra Tubagus Murdifi).
Banyak yang barangkali tidak tahu tentang beliau, bahkan di jajaran Kepolisian. Bukan tugas saya sebenarnya mengangkat kisah tentang Tubagus Murdifi, justru semestinya pemerintah dan terutama Kepolisian RI yang menggali dan menceritakan lebih banyak dan mendalam lagi soal beliau, untuk menjadi contoh pengabdian seorang polisi jujur, lurus, dan cerdas yang penuh dedikasi kepada kesatuan, bangsa, dan negaranya. Kepolisian bukan tempat untuk mencari nafkah dan jabatan, tetapi tempat untuk mengabdi.
Bandung, 5 Juli 2021
Mariska Lubis, S.E., M.Int.S.
Mariska Institute (MI)
0 Comments